Sabtu, 01 Juli 2017

Tarikh Tasyri pada masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas dalam tataran dunia Islam internasional, bahkan disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Meskipun demikian Islam dengan serangkaian varian hukumnya belum bisa diterapkan sepenuhnya dinegara kita ini.
Dengan mempelajari sejarah perkembangan hukum Islam -dinegara yang dikatakan penduduknya mayoritas beragama Islam- dari berbagai periode sampai masa sekarang ini, dengan harapan dapat kita jadikan acuan dalam memperjuangkan hukum Allah dibumi kita tercinta ini. Karena kita tahu -diakui ataupun tidak- hukum Allah lah sebaik-baiknya hukum yang ada.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam di Tanah bumi Indonesia mulai pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan.

B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimana Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pra Kemerdekaan ?
2.             Bagaimana Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pasca Kemerdekaa












BAB II
PEMBAHASAN
A.           Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau Pada abad kedelapan Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir Utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasei, Aceh Utara.[1]
Pada akhir abad ke enam belas (1596) organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Tujuan awalnya untuk berdagang, namun berubah haluan untuk menguasai kepulauan Indonesia.
VOC membentuk badan-badan peradilan di Indonesia dengan hukum Belanda, namun tidak berjalan dengan lancar. VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan seperti keadaan sebelumnya. VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut dapat diterima oleh VOC dan digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah yang dikuasai VOC.
Posisi Hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama kurang dua abad lamanya (1602-1800). Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan colonial Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah, namun perubahan itu dilaksanakan secara perlahan, berangsur-angsur dan sistematis.[2]


Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Meski di dominasi oleh fiqh Syafi’iyyah. Hal ini, kata Rachmat Djatnika, fiqh Syafi’iyyah lebih banyak dan dekat kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat laun, pengaruh madzhab Hanafiy, mulai diterima. Penerimaan dan pelaksanaan hukum Islam ini, dapat dilihat pada masa-masa kerjaan Islam awal. Pada zaman kesultanan Islam, menurut Djatnika, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara. Di Aceh atau pada pemerintahan Sultan Agung hukum Islam telah diberlakukan walau masih tampak sederhana.
Hukum adat setempat sering menyesuaikn diri dengan hukum Islam. Di Wajo misalnya hukum waris menggunakan hukum Islam dan hukum adat, keduanya menyatu dan hukum adat itu menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Sosialisasi hukum Islam pada zaman Sultan Agung sangat hebat, sampai ia menyebut dirinya sebagai “Abdul Rahman Kholifatulloh Sayyidin Panatagama”. Demikian juga di Banten pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa hukum adat dan hukum adat tidak ada bedanya. Juga di Sulawesi. Kenyataan semacam ini diakui oleh Belanda ketika datang ke Indonesia. Dibawah ini akan dikemukakan teori-teori hukum Islam di Indonesia.[3]
1.  Teori Receptio in Complexu[4]
2.    Teori Receptie
3.    Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario











B.            Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pasca Kemerdekaan
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, upaya untuk melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial mulai dicanangkan, walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan hukum, hukum warisan kolonial itu masih tetap diberlakukan (sesuai bunyi aturan peralihan pasal 2 dari UUD 1945: “semua Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”).[5] Namun menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, seharusnya teori receptie itu harus “exit” (keluar) dari tata hukum Indonesia merdeka. Karena menurutnya, teori ini bertentangan dengan Jiwa UUD 1945 dan juga bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam.
Lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitulmal. Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial belanda. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki.
Pada dasarnya term kompilasi merupakan adopsi dari bahasa inggris compilation atau dalam bahasa Belanda berarti compilatie yang diambil dari kata compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama, misalkan mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Lalu istilah inilah (kompilasi) yang digunakan di Indonesia sebagai terjemahan langsung dari kata tersebut. [6]
Namun apabila penggunaan term kompilasi dalam konteks hukum Islam Indonesia, maka biasanya dipahami sebagai fiqh dalam bahasa perundang-undangan yang terdiri dari bab-bab, pasal serta ayat-ayat yang tercakup di dalamnya. Padahal tidak seperti halnya dengan perundang-undangan lainnya yang telah dikodifikasi. Karena kompilasi sedikit berbeda dengan pengkodifikasian. 
Secara faktual Peradilan Agama telah lahir sejak tahun 1882, namun dalam mengambil putusan untuk sesuatu perkara tampak jelas para hakim Pengadilan Agama belum mempunyai dasar pijak yang seragam. Hal itu terutama karena hukum Islam yang berlaku belum menjadi hukum tertulis dan masih tersebar di berbagai kitab kuning sehingga kadang-kadang untuk kasus yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan.
Dan dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum dalam memutus suatu perkara, Departemen Agama Biro Peradilan Agama melalui surat edaran Nomor B/1/735 pada 18 Februari 1958, yang ditujukan kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia untuk dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fiqh yang sebagian besar merupakan kitab yang berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i. Dan menyadari akan hal itu, maka para pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang lebih komprehensif  agar hukum Islam tetap eksis dan dapat digunakan untuk menyelasaikan segala masalah dalam era globalisasi ini. Dalam kaitan ini prinsip  yang harus dilakksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan.[7] Dalam rangka inilah, Busthanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam.
Ide untuk mengadakan Kompilasi Hukum di Indonesia ini memang baru muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini adalah merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak. Menurut Prof. Ismail Suny, pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKS (Surat Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam. Yang berarti sudah sedari dini kegiatan ini mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara.[8] Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi Hukum di Indonesia adalah intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 kepada Menteri Agama RI yang mana Kompilasi hukum Islam tersebut terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. [9]
Kelahiran UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebenarnya dapat dinyatakan sebagai upaya kompilasi, meskipun pada saat itu namanya tetap undang-undang. Karena bagaimanapun juga UU memiliki daya ikat dan paksa pada sobyek serta objek hukumnya, berbeda dengan kompilasi yang sesuai dengan karakternya. Yang mana hanyalah menjadi pedoman saja, relatif tidak mengikat.
Menurut Ahmad Rofiq bahwa ada 4 produk pemikiran hukum Islam yang telah berkembang di indonesia yaitu ; fiqh, fatwa ulama (hakim), keputusan pengadilan, dan perundang-undangan.[10] Sebagai ijma’ ulama indonesia, Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para hakim dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya secara substansial kompilasi tersebut dalam sepanjang sejarahnya, telah menjadi hukum positif yang berlaku dan diakui keberadaannya. Karena sebenarnya yang semula yang dimaksud dengan Hukum Islam itu hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang terdapat banyak perbedaaan pendapat di dalamnya, sehingga telah dicoba diunifikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Jadi dalam konteks ini, sebenarnya terjadi perbahan bentuk saja yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi terkodifikasi dan terunifikasi dalam KHI yang substansinya juga tidak banyak berubah selagi hukumnya masih bisa dipakai dalam kondisi lingkungannya sekarang.





BAB III
KESIMPULAN
Hukum Islam ada di Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara ini, sekitar abad kedelapan Masehi. Pada akhir abad ke enam belas (1596) organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di Indonesia untuk berdagang, namun berubah haluan untuk menguasai kepulauan Indonesia.
VOC membentuk badan-badan peradilan di Indonesia dengan hukum Belanda, namun tidak berjalan dengan lancar. VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan seperti keadaan sebelumnya.
Posisi Hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama kurang dua abad lamanya (1602-1800). Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan colonial Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah, namun perubahan itu dilaksanakan secara perlahan, berangsur-angsur dan sistematis. Pada masa belanda di Indonesia telah di keluarkanya teori- teori mengenai hukum islam ini yaitu:
1.      Teori Receptio in Complexu
2.      Teori Receptie
3.      Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, upaya untuk melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial mulai dicanangkan, walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan hukum, hukum warisan kolonial itu masih tetap diberlakukan. Namun menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, seharusnya teori receptie itu harus “exit” (keluar) dari tata hukum Indonesia merdeka. Karena menurutnya, teori ini bertentangan dengan Jiwa UUD 1945 dan juga bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam.





DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Gema Insani Press, 1996.                      
Ali Mohammad Daud, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Manan Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
…………Dedi Supriyadi,
Syaukani Imam,  Konstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.




[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 ), hal 209.
[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), hal 213-214.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal.12-13.
[4] Dedi Supriyadi,
[5] Imam Syaukani,  Konstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal 81.
[6] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hal11.
[7] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal 178.
[8] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal 33.
[9] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal 12.                       
[10] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal 25.

Pegadaian Syariah

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Pengaruh perkembangan zaman yang membuat masyarakat semakin hedonis, konsumtif, namun tidak produktif. Kebutuhan yang semakin hari semakin banyak, namun pendapatan yang tetap sama. Sehingga terjadilah pembekakan pada pengeluaran bulanan. Akhirnya banyak masyarakat yang menutupi kebutuhan bulanannya dengan menghutang pada bank, rentenir, atau lembaga lainnya.
Namun dengan menghutang masalah yang mereka hadapi malah semakin membesar, setiap bulan harus membayar angsuran beserta bunganya, belum lagi harus memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Alternatif yang dipilih masyarakat untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan menggadaikan barang-barang berharga. Tidak jarang karena masyarakat lebih banyak melakukan hal itu, gadai barang menjadi salah satu modus rentenir dalam menjalankan operasinya.
Oleh karena itu, penulis akan memaparkan hal-hal yang terkait tentang pegadaian syariah, agar pembaca dapat mengetahui secara jelas tentang pegadaian syariah, dan dapat memilih pegadaian yang tepat.
B.            Rumusan Masalah
1.             Apa itu pegadaian syariah?
2.             Apa landasan hukum pegadaian syariah?
3.             Apa rukun dan syarat gadai syariah?
4.             Bagaimana akad pegadaian syariah?
5.             Bagaimana operasional pegadaian syariah?
6.             Apa tujuan dan manfaat pegadaian syariah?
7.             Apa perbedaan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional?


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Pegadaian Syariah
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang memberi utang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Perusahaan Umum Pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 di atas. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.[1]
Gadai dalam fikih disebut rahn. Sedangkan maksud rahn yaitu menjadikan barang yang boleh dijual sebagai kepercayaan hutang di mana akan dibayar dari padanya jika terpaksa tidak bisa melunasi hutang tersebut.[2]
Ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama fikih mengenai rahn. Ulama mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”. Ulama mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya.” Sementara itu, ulama mzhab Syafi’I dan mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya itu. ”[3]
B.            Landasan Hukum
Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, landasan hukum pegadaian syariah juga mengacu pada syariah Islam yang bersumber dari Al-Quran, hadits Nabi SAW, dan hukum positif. Adapun landasan yang dipakai adalah sebagai berikut:
1.             Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 283:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
 اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[4]
2.             Hadits
a.            وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم –
 - اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا,
 وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ - رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ (
Dari Abi Hurairah, Ia berkata: Telah bersabda Rasululllah SAW: “Tunggangan yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” Diriwayatkan oleh Bukhori.
b.           وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: - لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ
 اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ - رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ.
إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَالُهُ
Dari Abu Hurairah, Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” Diriwayatkan oleh Daruqutni dan Hakim.[5]
3.             Hukum Positif
Dalam Pasal 19 ayat (1) huruf q Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa kegiatan Usaha Bank Umum Syariah antara lain melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang social sepanjang tidak bertentangan denga Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan inilah yang menurut hemat penulis menjadi dasar hukum bagi bank syariah untuk memberikan produk berdasarkan akad rahn.[6]

C.           Rukun dan Syarat Gadai Syariah[7]
Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:
1.             Ar-Rahin (yang menggadaikan), syaratnya yaitu: orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, cakap bertindak hukum dan memiliki barang yang akan digadaikan.
2.             Al-Murtahin (yang menerima gadai), yaitu: orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang.
3.             Al-Marhun/ Rahn (barang yang digadaikan), yaitu: barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan uang. Marhun itu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a.              Harus diperjualbelikan.
b.              Harus berupa harta yang bernilai.
c.              Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah
d.             Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung.
e.              Harus dimiliki oleh rahin setidaknya harus seizing pemiliknya.
4.             Al-Marhun bih (utang), sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun. Al-Marhun bih itu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a.              Harus merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada pemiliknya.
b.             Memungkinkan pemanfaatan.
c.              Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
5.             Sighat (Ijab dan Qabul), yaitu: kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan waktu-waktu pada masa depan.

D.           Akad Perjanjian Gadai[8]
Dalam transaksi gadai terdapat empat akad untuk mempermudah mekanisme perjanjiannya, yaitu sebagai berikut:
1.             Qard al-Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif. Oleh karena itu, nasabah dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadain kepada pegadaian. Ketentuan transaksi pada akad qard al-hasan, yaitu:
a.              Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual;
b.             Karena bersifat sosial, tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.
2.             Mudharabah
Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin meperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuan transaksi pada akad mudharabah ialah:
a.              Barang gadai dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak, seperti: emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, bangunan, dan lain-lain;
b.             Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
3.             Ba’i Muqayyadah
Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif, seperti pembelian alat kantor dan modal kerja. Dalam hal ini, murtahin juga dapat menggunakan akad jual-beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dapat dimanfaatkan oleh rahin dan murtahin.
4.             Ijarah
Objek dari akad ini adalah pertukaran manfaat tertentu. Bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.
E.            Operasional Pegadaian Syariah
Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:[9]
1.             Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
2.             Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai berbagai hal, seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan, pelunasan dan sebagainya.
3.             Pegadaian syariah menerima biaya administrasi dibayar diawal transaksi, sedangkan untuk jasa simpan disaat pelunasan utang.
4.             Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh, ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian.
Perbedaan utama antara biaya gadai dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda sementara biaya gadai hanya sekali dan ditetapkan di muka.
Adapun teknis pegadaian syariah dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:
Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan  dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut di tangan nasabah bukan karena hasil praktik riba, masyir, dan gharar. Barang-barang tersebut antara lain, seperti:
1.             Barang perhiasan, seperti: perhiasan yang terbuat dari intan, mutiara, emas, perak, platina, dan sebagainya;
2.             Barang rumah tangga, seperti: perlengkapan dapur, perlengkapan makan atau minum, perlengkapan kesehatan, perlengkapan taman, dan sebagainya;
3.             Barang elektronik seperti: radio, tape recorder, video player, televisi, computer, dan sebagainya;
4.             Kendaraan seperti: sepeda onthel, sepeda motor, mobil, dan sebagainya;
5.             Barang-barang lain yang dianggap bernilai, seperti: kain batik tulis.
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir mirip dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana. Masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, dan uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Begitu pun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn dengan waktu proses yang juga singkat.
Akan tetapi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensional.[10]
F.            Tujuan dan Manfaat Pegadaian Syariah[11]
Sifat usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik. Oleh karena itu pegadaian bertujuan sebagai berikut:
1.             Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/ pinjaman atas dasar hukum gadai.
2.             Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
3.             Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jaring pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/ pembiayaan berbasis bunga.
4.             Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.
Adapun manfaat pegadaian, antara lain sebagai berikut:
1.             Bagi nasabah
Tersedianya dana dengan prosedur yang relative lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/ kredit perbankan. Di samping itu, nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai barang bergerak secara professional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
2.             Bagi perusahaan pegadaian
a.              Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana;
b.             Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah mendapat keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas;
c.              Pelaksanaan misi pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang relatif sederhana;
d.             Berdasarkan PP No. 10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk:
1)             Dana pembangunan semesta (55 %);
2)             Cadangan umum (20%);
3)             Cadangan tujuan (5%);
4)             Dana sosial (20%).


G.           Perbedaan Pegadaian Syariah Dan Pegadaian Konvensional [12]
No.
Pegadaian Syariah
Pegadaian Konvensional
1.
Biaya administrasi menurut ketetapan  berdasarkan golongan barang.
Biaya administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang.
2.
1 hari dihitung 5 hari.
1 hari dihitung 15 hari.
3.
Jasa simpanan berdasarkan taksiran.
Sewa modal berdasarkan uang pinjaman.
4.
Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan akan dijual kepada masyarakat.
Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan dilelang kepada masyarakat.
5.
Uang pinjaman (UP) gol A 90 % dari taksiran.
Uang pinjaman (UP) gol BCD 90 % dari taksiran.
Uang pinjaman (UP) gol A 92 % dari taksiran.
Uang pinjaman (UP) gol BCD 88%- 86 %
6.
Penggolongan nasabah D-K-M-I-L.
Penggolongan nasabah P-N-I-D-L.
7.
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta x taksiran.
Sewa modal dihitung dengan prosentase x uang pinjaman.
8.
Maksimal jangka waktu 3 bulan.
Maksimal jangka waktu 4 bulan.
9.
Uang kelebihan (UK) = hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan + biaya penjualan)
Uang kelebihan (UK) = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya lelang)
10.
Bila dalam satu tahun uang kelebihan tidak diambil diserahkan kepada Lembaga ZIS.
Bila dalam satu tahun uang kelebihan tidak diambil maka uang kelebihan tersebut menjadi milik pegadaian.






BAB III
KESIMPULAN
Pegadaian Syariah adalah badan usaha yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150.
Landasan hukum pegadaian syariah juga mengacu pada syariah Islam yang bersumber dari Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 283, hadits Nabi SAW, dan hukum positif yaitu Pasal 19 ayat (1) huruf q Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Adapun rukun gadai syariah yaitu: ar-rahin, al-murtahin, al-marhun/ rahn, al-marhun bih, dan sighat.
Sedangkan akad untuk mempermudah mekanisme perjanjiannya, yaitu: Qard al-Hasan, Mudharabah, Ba’i Muqayyadah dan Ijarah.
Kemudian perasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1.             Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
2.             Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai
3.             Pegadaian syariah menerima biaya administrasi dibayar diawal transaksi, sedangkan untuk jasa simpan disaat pelunasan utang.
4.             Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh, ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian.





DAFTAR PUSTAKA
Al Arif, M. Nur Rianto. 2012. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Anshori, Abdul Ghofur. 2009. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
As’ad, Aliy. 1980. Fathul Muin. Kudus: Menara Kudus.
Hassan, A. 2006. Tarjamah Bulughul Maram. Bandung: Diponegoro.
Umam, Khaerul. 2013. Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.
Sjahdeini, Sutan Remi. 2014. Perbankan Syariah: Produk-Produk Dan Aspek-Aspek hukumnya. Kencana Prenadamedia Group.
Sudarsono, Heri. 2012. Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi.Yogyakarta: Ekonista.





[1] Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta: Ekonista, 2012), hal 171.
[2] Aliy As’ad, Fathul Muin (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal 215.
[3] Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk Dan Aspek-Aspek hukumnya (Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal 364.
[4] Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hal 358.
[5] A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram (Bandung: Diponegoro, 2006), hal 379.
[6] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009), hal 171.
[7] Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, hal 175.
[8] M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hal 286-287.
[9] Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, hal 185.
[10] M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis, hal 292.
[11] Ibid., hal 282-283.
[12] Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, hal 197.