Sabtu, 01 Juli 2017

PA Peradilan Agama

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dari waktu  ke waktu lembaga peradilan Indonesia mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman itu sendiri, baik dalam kelembagaannya maupun dalam sistem penegakan hukumnya, yang dalam kurun waktu tertentu di tandai dengan ciri-ciri tertentu pula. Hal ini dilakukan dalam upaya mencari dan menerapkan sistem yang cocok untuk bangsa Indonesia. Proses mencari bentuk yang tepat ini menurut Satjipto Raharjo harus melalui proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial, dan kultur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam selalui  berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum Islam itu sendiri. Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif, yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga.
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam.
Peradilan yang telah lama ini mengakibatkan banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya sederhana lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga dalam makalah ini kami akan membahas tentang peradilan islam serta sejarahnya pada masa colonial Belanda.
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas Maka penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya:
1.             Apa pengertian peradilan agama?
2.             Apa saja unsur peradilan dan syarat menjadi hakim?
3.             Bagaimana sejarah peradilan agama pada masa kolonial?

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA. Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan demikian keberadaan Peradilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
B.            Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim
Dalam literatur Fiqih Islam untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, diperlukan adanya enam unsur, yakni:
1.             Hakim atau Qadhi
Yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
2.             HukumYaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Hukum ini adakalanya dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang. Ada yang berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah menetapkan sesuatu dengan dasar yang menyakinkan seperti berhaknya seseorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha istiqaq ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad, seperti seorang tetangga mengajukan hak syuf’ah.
3.             Mahkum Bihi
Di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang diharuskan oleh qadhi si tergugat harus memenuhinya. Dan didalam qadha tarki ialah menolak gugatan. Karena demikian maka dapat disimpulkan bahwa mahkum bihi itu adalah suatu hak.
4.             Mahkum Alaih (si terhukum)
Yaitu orang yang dijatuhkan hukuman atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang diharapkan kepadanya. Baik tergugat ataupun bukan, seorang ataupun banyak.
5.             Mahkum Lahu
Yaitu orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
6.             Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan)
Dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu, sesuatu yang bukan merupakan peristiwa tapi masuk dalam bidang ibadah tidak masuk dalam bidang peradilan.
Dalam hal pengangkatan seorang hakim dalam literature-literatur fiqih, para ahli memberikan syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi hakim, walau ada perbedaan dalam syarat-syarat yang mereka berikan, namun ada pula yang disepakati.
Syarat yang dimaksudkan ada enam yaitu:
1.             Laki-laki yang merdeka
2.             Berakal (mempunyai kecerdasan)
3.             Beragama Islam
4.             Adil
5.             Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya
6.             Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu.[1]

C.           Sejarah Peradilan Agama pada Masa Kolonial
1.             Pra Pemerintahan Hindia Belanda
 Pada pra pemerintahan hindia belanda di kenal dengan 3 (tiga) periode.
 Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat, misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
Kedua, periode ahlul hilli wal aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama Islam dimana mereka dapat bertindak sebagai qadhi dapat menyelesaikan setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi bertindak sebagai hakim.
Ketiga, dikenal periode thauliyah. Secara filosofis dilihat pada periode ketiga ini telah mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieau Prancis dan teori-teori sebelumnya seperti J.J. Rouseau, Thomas Hobbes, John Lock, dan lain-lain.
Periode thauliyah dapat di identifikasikan sebagai delegation of authority, yaitu penyerahan kekuasaan (wewenang) mengadili, kepada suatu bahan judicative, tetapi tidak mutlak. Seperti di Minangkabau ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi dalam masalah keagamaan. Kenyataan periodesasi ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, Bone, dan Gowa (Makassar) serta Papakem Cirebon.[2]
.Kemudian, pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarkan intruksi agar di daerah yang di kuasai konpeni (VOC) harus diberlakukan Hukum Sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Intruksi tersebut tidak dapat dilksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Berlakunya Hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der idndische Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam, atau compendium Freijer; untuk dipergunakan pada pengadilan VOC.[3]
2.             Lembaga Peradilan Islam Pada Masa Kolonial Belanda
Peradilan agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri, telah melaksanakan hukum Islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya.
Secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan keputusan Raja Belanda (Konninkklijk Besluit), yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 No. 24 yang di muat dalam staatsblad 1882 No. 152. Dimana di tetapkan suatu peraturan tentang peradilan agama dengan nama “piesteraden” untuk Jawa dan Madura. Badan peradilan ini yang kemudian lazim disebut dengan Raad Agama dan terahir dengan pengadilan Agama. Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan mulai berlaku 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No. 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran badan peradilan Agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.[4]
Pada tahun 1854 pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang di tuangkan dalam “Reglement op het beleid der rengeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi Regeering Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat didalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No, 2. Dalam pasal 75, 78, dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855: 2 ditegaskan berlakunya undang-undang  (Hukum) Islam bagi orang Islam di Indonesia.
Tokoh yang mendukung kebijakan ini adalah Salomon Keyzer, LWC. Van den berg dan C. Frederik Winter., LWC. Van den berg mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam sebab ia telah memeluk Agama Islam, walaupun dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan. pendapat atau teori ini disebut Receotio in complexu.[5]
3.             Lembaga peradilan Islam Pada Masa Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang ini Lembaga Peradilan Agama yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan yang dilakukan terhadap lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau merubah nama saja, yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Meninjau secara ringkas tentang keadaan Peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan Jepang di bagi-bagi dalam kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah daerah  Angkatan Darat yang berpusat di shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkata Laut yang berpusat di Makasar.[6]
Pada masa pendudukan Jepang ini, kedudukan Pengadilan Agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka maksud  Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas Masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan Agama  dalam Negara Indonesia kelak. Pada tanngal 14 April 1945 dewan memberikan jawaban sebagai berikut: “11 (F) urusan Pengadilan Agama.
“ Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan Peradilan Agama sebagai Pengadilan Istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli Agama”.
Dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan dewan Pertimbangan Agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan Peradilan Agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.
Dari uraian bab ini dapat disimpulkan bahwa dengan keluarnya Stbl. 1937 No. 116 tentang perubahan dan penambahan Staatsblad 1882 No. 152 tentang wewenang peradilan Agama di Jawa dan Madura. Kompetensi Peradilan Agama menjadi sempit yakni hanya dalam bidang-bidang tertentu saja. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, Kedudukan Peradilan Agama pernah terancam dengan konsep dimanaakan diserahkannya tugas peradilan Agama pada pengadilan biasa. Tetapi syukur aturan itu didahului oleh proklamasi Kemerdekaan. Ini yang disebut dengan mati sebelum lahir.[7]




D.           Undang-Undang Peradilan Agama
Peradilan Agama telah ada sejak agama Islam datang ke Indonesia, itulah yang kemudian diakui dan dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura tahun 1882, di Kalimantan Selatan tahun 1937 dan di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan pada tahun 1957, dan namanya sekarang Pengadilan Agama. Penyatuan nama ini dilakukan dengan keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 (ketika Menteri H. Alamsah Ratu Perwira Negara). Semuanya berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI dalam menyelenggarakan peradilan dan pembinaannya.[8]
Semula ada beberapa masalah yang melekat pada peradilan agama sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya melakukan kekuasaan kehakiman secara mandiri seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang NO. 14 tahun 1970 waktu itu yang menjadi induknya (yang kini tidak berlaku lagi), tapi kini dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama berarti telah hilanglah masalah susunan, masalah kekuasaan dan masalah acara peradilan agama yang selama ini dianggap menjadi masalah.[9] Waktu itu ketika Undang-Undang Peradilan lainnya telah selesai dibentuk sedangkan Undang-Undang Peradilan Agama belum, maka dalam rangka melaksanakan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (yang sekarang tidak berlaku lagi), maka Menteri Agama atas nama pemerintahan menyampaikan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama kepada DPR untuk disetujui.
Setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) itu disetujui dan disahkan oleh presiden tanggal 29 Desember 1989 dengan demikian tercapailah:
1.              Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, terutama yang disebut dalam Pasal 10 ayat 1 dan pasal 12.
2.              Terjadi pembaruan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan pembagunan hukum nasional di bidang Peradilan Agama.
3.              Peradilan Agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman akan mampu melaksanakan sendiri keputusan-keputusannya karena sudah mempunyai kelengkapan hukum acara dan perangkat hukum lainnya. Kini kedudukannya benar-benar sejajar dan sederajat dengan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, militer, dan tata usaha Negara.
4.              Kini pengadilan agama telah mempunyai kewenangan yang sama di seluruh Indonesia kecuali peradilan Islam lainnya.
5.              Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama yang telah digunakan sebagai pegangan oleh semua pihak. Baik hakim maupun para pihak. Dengan demikian, berarti telah memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintika keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
6.              Lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum melalui yurisprudensi dalam hubungan ini termasuk asas-asas dan kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembangunan hukum nasional.
Undang-udang Peradilan Agama terdiri dari tujuh bab yakni 108 Pasal dengan meliputi: Bab I memuat tentang ketentuan-ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab II mengatur tentang susunan peradilan agama dan pengadilan tinggi agama, Bab III mengatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab IV menyebut soal biaya perkara yang diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Bab VI mengenai ketentuan-ketentuan peralihan, Bab VII tentang ketentuan penutup. Di sini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur dan di bagian lain wilayah RI dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sejak Islam masuk ke Indonesia, Peradilan Agama telah ada. Tahun 1882 itu adalah tahun pengakuan Belanda sebagai penjajah terhadap peradilan agama. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, berarti peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya telah mandiri dalam melakukan kekuasaan kehakiman.


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam.
Ada enam unsur peradilan agar dapat berjalan  dengan baik dan normal, yaitu:
1.             Hakim atau Qadhi
2.             Hukum
3.             Mahkum Bihi
4.             Mahkum Alaih (si terhukum)
5.             Mahkum Lahu
6.             Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan)
Adapun syarat hakim itu ada enam, yaitu:
1.             Laki-laki yang merdeka
2.             Berakal (mempunyai kecerdasan)
3.             Beragama Islam
4.             Adil
5.             Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya
6.             Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu
Pada pra pemerintahan hindia belanda di kenal dengan 3 (tiga) periode, yaitu:
Pertama, periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat, misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
Kedua, periode ahlul hilli wal aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama islam dimana mereka yang dapat bertindak sebagai qadhi dapat menyelesaikan setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi brtindak sebagai hakim.
Ketiga, dikenal periode thauliyah. Secara filosofis dilihat pada periode ketiga ini telah mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari Montesquieau Prancis dan teori-teori sebelumnya seperti J.J. Rouseau, Thomas Hobbes, John Lock, dan lain-lain.
Semula ada beberapa masalah yang melekat pada peradilan agama sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya melakukan kekuasaan kehakiman secara mandiri seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang NO. 14 tahun 1970 waktu itu yang menjadi induknya (yang kini tidak berlaku lagi), tapi kini dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama berarti telah hilanglah masalah susunan, masalah kekuasaan dan masalah acara peradilan agama yang selama ini dianggap menjadi masalah.






















DAFTAR PUSTAKA

Djalil A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
Lubis Sulaikin dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005).
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah,  SInar Grafika, Jakarta, 2010.
Ramulyo Mohd. Idris, Asas-Asas Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama Di Indonesia, UIN Malang Press, Malang, 2009.





  [1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Cet. II, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hal 13.

[2] Mohd. Idris Ramulyo,  Asas-Asas Hukum Islam, Ed. Revisi (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. 1. Hlm 39.

[3] Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet I. Hal. 25-26.
[4] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet I. Hal 47-48.
[5] Ibid,. hal 26-27.
[6] Ibid., hal 30.
[7] Ibid., hal. 59.

[8] Ibid., hal 23.
[9]  Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah,  Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal 14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar