BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari waktu ke waktu lembaga
peradilan Indonesia mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan
dan perubahan zaman itu sendiri, baik dalam kelembagaannya maupun dalam sistem
penegakan hukumnya, yang dalam kurun waktu tertentu di tandai dengan ciri-ciri
tertentu pula. Hal ini dilakukan dalam upaya mencari dan menerapkan sistem yang cocok untuk bangsa Indonesia.
Proses mencari bentuk yang tepat ini menurut Satjipto Raharjo harus melalui
proses panjang karena
menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial, dan kultur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
antara Islam dan hukum Islam selalui berjalan beiringan tidak dapat
dipisah-pisahkan. Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh
pertumbuhan hukum Islam itu sendiri. Jabatan hakim dalam Islam merupakan
kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri
merupakan kewajiban kolektif, yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan
dalam keadaan bagaimanapun juga.
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal
dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena
ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul
bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh
bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam.
Peradilan yang telah lama ini
mengakibatkan banyak mengalami pasang surut hingga sekarang, pada mulanya
sederhana lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum yang berkembang dalam
masyarakat. Sehingga dalam makalah ini kami akan membahas tentang peradilan
islam serta sejarahnya pada masa colonial Belanda.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas Maka
penulis perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
diantaranya:
1.
Apa pengertian peradilan agama?
2.
Apa saja
unsur peradilan dan syarat menjadi hakim?
3.
Bagaimana sejarah peradilan agama pada masa kolonial?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama merupakan salah satu
kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA. Peradilan Agama adalah salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan
demikian keberadaan Peradilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
B.
Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim
Dalam literatur Fiqih Islam untuk
berjalannya peradilan dengan baik dan normal, diperlukan adanya enam unsur,
yakni:
1.
Hakim atau Qadhi
Yaitu orang yang
diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat
menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas
peradilan.
2.
HukumYaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara.
Hukum ini adakalanya dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim berkata saya
menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang. Ada yang berpendapat bahwa
putusan ilzam ini ialah menetapkan sesuatu dengan dasar yang menyakinkan
seperti berhaknya seseorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah,
sedang qadha istiqaq ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari
ijtihad, seperti seorang tetangga mengajukan hak syuf’ah.
3.
Mahkum Bihi
Di dalam qadha ilzam
dan qadha istiqaq yang diharuskan oleh qadhi si tergugat harus memenuhinya. Dan
didalam qadha tarki ialah menolak gugatan. Karena demikian maka dapat
disimpulkan bahwa mahkum bihi itu adalah suatu hak.
4.
Mahkum Alaih (si terhukum)
Yaitu orang yang
dijatuhkan hukuman atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ adalah yang
diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang diharapkan kepadanya. Baik tergugat
ataupun bukan, seorang ataupun banyak.
5.
Mahkum Lahu
Yaitu orang yang
menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya atau terdapat dua hak
tetapi haknya lebih kuat.
6.
Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan)
Dari pernyataan
tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang
diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya dengan mengemukakan
gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu, sesuatu yang bukan
merupakan peristiwa tapi masuk dalam bidang ibadah tidak masuk dalam bidang
peradilan.
Dalam hal pengangkatan seorang
hakim dalam literature-literatur fiqih, para ahli memberikan syarat-syarat
untuk mengangkat seseorang menjadi hakim, walau ada perbedaan dalam
syarat-syarat yang mereka berikan, namun ada pula yang disepakati.
Syarat yang dimaksudkan ada enam
yaitu:
1.
Laki-laki yang merdeka
2.
Berakal (mempunyai kecerdasan)
3.
Beragama Islam
4.
Adil
5.
Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya
6.
Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu.[1]
C.
Sejarah Peradilan Agama pada Masa Kolonial
1.
Pra
Pemerintahan Hindia Belanda
Pada
pra pemerintahan hindia belanda di kenal
dengan 3 (tiga) periode.
Pertama,
periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara
hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim
kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat,
misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang
berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
Kedua, periode ahlul hilli wal
aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama Islam dimana
mereka dapat bertindak sebagai qadhi dapat
menyelesaikan setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi bertindak
sebagai hakim.
Ketiga, dikenal periode thauliyah.
Secara filosofis dilihat pada periode ketiga ini telah mulai tampak pengaruh
ajaran Trias Politica dari Montesquieau Prancis dan
teori-teori sebelumnya seperti J.J. Rouseau, Thomas Hobbes, John Lock, dan
lain-lain.
Periode thauliyah dapat
di identifikasikan sebagai delegation of authority, yaitu
penyerahan kekuasaan (wewenang) mengadili, kepada suatu bahan judicative, tetapi tidak mutlak. Seperti di
Minangkabau ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi dalam
masalah keagamaan. Kenyataan periodesasi ini dibuktikan dengan kumpulan hukum
perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, Bone, dan Gowa (Makassar)
serta Papakem Cirebon.[2]
.Kemudian, pada tanggal 4 Maret 1620
dikeluarkan intruksi agar di daerah yang di kuasai konpeni (VOC) harus
diberlakukan Hukum Sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Intruksi
tersebut tidak dapat dilksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan
dari pihak Islam. Berlakunya Hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie
der idndische Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu
kumpulan aturan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam, atau compendium
Freijer; untuk dipergunakan pada pengadilan VOC.[3]
2.
Lembaga
Peradilan Islam Pada Masa Kolonial Belanda
Peradilan agama sebagai lembaga hukum yang
berdiri sendiri dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat.
Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri, telah melaksanakan hukum Islam dan
melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan
keseluruhan sistem pemerintahan di wilayah kekuasaannya.
Secara yuridis formal, peradilan agama
sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di
Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini
berdasarkan keputusan Raja Belanda (Konninkklijk Besluit), yakni Raja Willem
III tanggal 19 Januari 1882 No. 24 yang di muat dalam staatsblad 1882 No. 152.
Dimana di tetapkan suatu peraturan tentang peradilan agama dengan nama “piesteraden”
untuk Jawa dan Madura. Badan peradilan ini yang kemudian lazim disebut dengan
Raad Agama dan terahir dengan pengadilan Agama. Keputusan Raja Belanda ini
dinyatakan mulai berlaku 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No.
153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran badan
peradilan Agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.[4]
Pada tahun 1854 pemerintah Belanda mengeluarkan
pernyataan politik yang di tuangkan dalam “Reglement op het beleid der
rengeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi Regeering Reglement
(RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat
didalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No, 2. Dalam pasal 75, 78, dan 109
Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855: 2 ditegaskan berlakunya
undang-undang (Hukum) Islam bagi orang Islam di Indonesia.
Tokoh yang mendukung kebijakan ini adalah
Salomon Keyzer, LWC. Van den berg dan C. Frederik Winter., LWC. Van den berg
mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam sebab ia telah
memeluk Agama Islam, walaupun dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan. pendapat
atau teori ini disebut Receotio in complexu.[5]
3.
Lembaga
peradilan Islam Pada Masa Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang ini Lembaga
Peradilan Agama yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan
dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan yang dilakukan terhadap lembaga ini
hanyalah dengan memberikan atau merubah nama saja, yaitu Sooryoo
Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah
Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Meninjau secara ringkas tentang keadaan
Peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh
karena daerah-daerah Indonesia pada zaman pendudukan Jepang di bagi-bagi dalam
kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatra adalah daerah Angkatan Darat
yang berpusat di shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah
Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa
Tenggara adalah daerah Angkata Laut yang berpusat di Makasar.[6]
Pada masa pendudukan Jepang ini, kedudukan
Pengadilan Agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945
pemerintah bala tentara Jepang (Guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan
Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka
maksud Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia
yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas
Masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan Agama dalam Negara
Indonesia kelak. Pada tanngal 14 April 1945 dewan memberikan jawaban sebagai
berikut: “11 (F) urusan Pengadilan Agama.
“ Dalam negara baru yang
memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan Peradilan
Agama sebagai Pengadilan Istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut
paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa
yang dapat minta pertimbangan seorang ahli Agama”.
Dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pertimbangan dewan
Pertimbangan Agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan Peradilan Agama
tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain.
Dari uraian bab ini dapat disimpulkan
bahwa dengan keluarnya Stbl. 1937 No. 116 tentang perubahan dan penambahan
Staatsblad 1882 No. 152 tentang wewenang peradilan Agama di Jawa dan Madura.
Kompetensi Peradilan Agama menjadi sempit yakni hanya dalam bidang-bidang
tertentu saja. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, Kedudukan Peradilan Agama
pernah terancam dengan konsep dimanaakan diserahkannya tugas peradilan Agama
pada pengadilan biasa. Tetapi syukur aturan itu didahului oleh proklamasi
Kemerdekaan. Ini yang disebut dengan mati sebelum lahir.[7]
D.
Undang-Undang Peradilan Agama
Peradilan Agama telah ada sejak
agama Islam datang ke Indonesia, itulah yang kemudian diakui dan dimantapkan
kedudukannya di Jawa dan Madura tahun 1882, di Kalimantan Selatan tahun 1937
dan di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan pada tahun 1957, dan namanya
sekarang Pengadilan Agama. Penyatuan nama ini dilakukan dengan keputusan
Menteri Agama No. 6 tahun 1980 (ketika Menteri H. Alamsah Ratu Perwira Negara).
Semuanya berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI dalam menyelenggarakan
peradilan dan pembinaannya.[8]
Semula ada beberapa masalah yang
melekat pada peradilan agama sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya
melakukan kekuasaan kehakiman secara mandiri seperti yang dikehendaki oleh
Undang-Undang NO. 14 tahun 1970 waktu itu yang menjadi induknya (yang kini
tidak berlaku lagi), tapi kini dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama berarti telah hilanglah masalah susunan, masalah
kekuasaan dan masalah acara peradilan agama yang selama ini dianggap menjadi
masalah.[9] Waktu
itu ketika Undang-Undang Peradilan lainnya telah selesai dibentuk sedangkan
Undang-Undang Peradilan Agama belum, maka dalam rangka melaksanakan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman (yang sekarang tidak berlaku lagi), maka Menteri Agama atas nama pemerintahan
menyampaikan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama kepada DPR
untuk disetujui.
Setelah Rancangan Undang-Undang
(RUU) itu disetujui dan disahkan oleh presiden tanggal 29 Desember 1989 dengan
demikian tercapailah:
1.
Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, terutama yang
disebut dalam Pasal 10 ayat 1 dan pasal 12.
2.
Terjadi pembaruan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan
pembagunan hukum nasional di bidang Peradilan Agama.
3.
Peradilan Agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman akan mampu
melaksanakan sendiri keputusan-keputusannya karena sudah mempunyai kelengkapan
hukum acara dan perangkat hukum lainnya. Kini kedudukannya benar-benar sejajar
dan sederajat dengan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
militer, dan tata usaha Negara.
4.
Kini pengadilan agama telah mempunyai kewenangan yang sama di seluruh
Indonesia kecuali peradilan Islam lainnya.
5.
Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama yang telah digunakan
sebagai pegangan oleh semua pihak. Baik hakim maupun para pihak. Dengan
demikian, berarti telah memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum
yang berintika keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
6.
Lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum melalui
yurisprudensi dalam hubungan ini termasuk asas-asas dan kaidah hukum Islam
sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembangunan hukum nasional.
Undang-udang Peradilan Agama
terdiri dari tujuh bab yakni 108 Pasal dengan meliputi: Bab I memuat tentang
ketentuan-ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, tempat kedudukan dan
pembinaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab II mengatur tentang
susunan peradilan agama dan pengadilan tinggi agama, Bab III mengatur tentang
kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab IV menyebut soal
biaya perkara yang diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung
berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bab V menyebut
ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para
hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Bab VI mengenai
ketentuan-ketentuan peralihan, Bab VII tentang ketentuan penutup. Di sini
ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama di
Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur dan
di bagian lain wilayah RI dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari uraian pasal ini dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya sejak Islam masuk ke Indonesia, Peradilan Agama
telah ada. Tahun 1882 itu adalah tahun pengakuan Belanda sebagai penjajah
terhadap peradilan agama. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989
tentang peradilan agama, berarti peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya
telah mandiri dalam melakukan kekuasaan kehakiman.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi
orang yang beragama Islam.
Ada enam unsur peradilan agar dapat berjalan dengan baik dan normal, yaitu:
1.
Hakim atau Qadhi
2.
Hukum
3.
Mahkum Bihi
4.
Mahkum Alaih (si terhukum)
5.
Mahkum Lahu
6.
Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan)
Adapun
syarat hakim itu ada enam, yaitu:
1.
Laki-laki yang merdeka
2.
Berakal (mempunyai kecerdasan)
3.
Beragama Islam
4.
Adil
5.
Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya
6.
Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu
Pada pra pemerintahan
hindia belanda di kenal dengan 3 (tiga) periode, yaitu:
Pertama,
periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara
hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tingkah laku mereka. Mereka bertahkim
kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat,
misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang
berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
Kedua,
periode ahlul hilli wal aqdi. Mereka telah membai’at dan mengangkat
seorang ulama islam dimana mereka yang dapat bertindak sebagai qadhi dapat
menyelesaikan setiap perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi, qadhi brtindak
sebagai hakim.
Ketiga,
dikenal periode thauliyah. Secara filosofis dilihat pada periode
ketiga ini telah mulai tampak pengaruh ajaran Trias Politica dari
Montesquieau Prancis dan teori-teori sebelumnya seperti J.J. Rouseau,
Thomas Hobbes, John Lock, dan lain-lain.
Semula ada beberapa masalah yang
melekat pada peradilan agama sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya
melakukan kekuasaan kehakiman secara mandiri seperti yang dikehendaki oleh
Undang-Undang NO. 14 tahun 1970 waktu itu yang menjadi induknya (yang kini
tidak berlaku lagi), tapi kini dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama berarti telah hilanglah masalah susunan, masalah
kekuasaan dan masalah acara peradilan agama yang selama ini dianggap menjadi
masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Djalil A. Basiq, Peradilan Agama
Di Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
Lubis Sulaikin dkk, Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta,
2005).
Ramulyo Mohd. Idris, Asas-Asas Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama Di Indonesia, UIN Malang Press, Malang, 2009.
[1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan
Agama Di Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Cet. II, (Malang:
UIN Malang Press, 2009), hal 13.
[2] Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Ed. Revisi (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), cet. 1. Hlm 39.
[3] Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama Di Indonesia (Jakarta:
Prenada Media, 2005), Cet I. Hal. 25-26.
[4] A. Basiq Djalil, Peradilan
Agama Di Indonesia (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet I. Hal 47-48.
[9] Mardani, Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Cet. II,
(Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hal 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar