Sabtu, 01 Juli 2017

MAHAR

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas serta untuk terarahnya makalah ini. Maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian dari mahar, hak dan kewajiban suami istri ?
2.      Apa saja Syarat-syarat Mahar ?
3.      Berapa kadar (jumlah) Mahar yang harus di berikan ?
4.      Bagaimana hukumya memberi Mahar dengan kontan danutang ?
5.      Apa saja Macam-macam Mahar dan hak antara suami istri ?
6.      Bagaimana menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan mengenai mahar, hak dan kewajiban suami istri ?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan : “shadaq”, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.[1]
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).[2]
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya[3].
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman:
وَإِنْ اَرَدْتُمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجِ وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْئُا اَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَنًا وَاِثْمًا مُبِيْنًا
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S AL-NISA[4]: 20).
B.     Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[4]
C.       Kadar (Jumlah) Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.[5] Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,”.
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.



D.    Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
عن ابن عباس عن النبى صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ , فقال : ماعندى شيء,
 فقال : فاين درك الحطمية : فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه )
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar  (diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik.
E.     Macam-macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:
1.      Mahar Musamma
 Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[6]
Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
a.       Telah bercampur (bersenggama).
b.      Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampurdengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.[7]Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah.
2.       Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[8]Mahar Mitsli juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
a.       Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
b.      Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.
F.     Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) permasalahan mahar terdapat dalam BAB V PASAL 30 sampai dengan Pasal 38. Adapun materi dari pasal-pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 30 : calon pembelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya di sepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31 : penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam.
Pasal 32 : mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi pribadinya.
Pasal 33 : (1) penyerahan mahar dilakukan dengan tunai, (2) apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian mahar yang belum ditunaikan penyerahan nya menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34 : (1) kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam perkawinan (2) kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dengan keadaan mahar masih berhutang tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35 : (1) suami mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar maharbsetengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah, (2) apabila suami meninggal dunia qabla al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya, (3) apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36 : apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37 : apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38 : (1) apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas, (2) apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, maka dianggap masih belum dibayar.
Dari pasal-pasal yang terdapat dalam KHI di atas, dapat di pahami bahwa mahar merupakan kewajiban yang harus di bayar oleh calon suami kepada calon istrinya, baik secara kontan atau tidak kontan dengan cara melalui persetujuan pihak calon istri. Jika calon istri tidak menyetujuinya dan meminta maharnya dibayar secara kontan, pihak calon suami harus membayarnya. Hal itu menjadi pertanda bahwa mahar adalah hak prerogatif calon istri dalam menentukan jumlah dan jenisnya. Meskipun demikian, KHI menetapkan bahwa mahar di bayar atas dasar asas kesederhanaan yang sekiranya calon suami mampu melaksanakannya.[9]
G.    Pengertian Hak dan Kewajiban
Dalam bahasa latin untuk menyebut hak yaitu dengan ius, sementara dalam istilah Belanda digunakan istilah recht. Bahasa Perancis menggunakan istilah droit untuk menunjuk makna hak. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah law untuk menunjuk makna hak.
Secara istilah pengertian hak adalah kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu. Sementara menurut C.S.T Cansil hak adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Menurut van Apeldoorn hak adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu, dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan. Dalam pengertian ini, C.S.T. Cansil membagi hak ke dalam hak mutlak (hak absolut) dan hak relative (hak nisbi).
1.      Hak Mutlak (hak absolut)
Hak mutlak adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, hak mana bisa dipertahankan kepada siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang harus menghormati hak tersebut.
Sementara itu macam-macam hak mutlak dibagi ke dalam tiga golongan:
a.       Hak Asasi Manusia
b.      Hak Publik Mutlak
c.       Hak Keperdataan
Sedangkan macam-macam hak keperdataan yaitu antara lain sebagai berikut:
a.       Hak Marital
b.      Hak/Kekuasaan Orang Tua
c.       Hak Perwalian
d.      Hak Pengampuan
2.      Hak Relatif (hak nisbi)
Hak relatif adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang tertentu atau beberapa orang tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti keharusan untuk berbuat sesuatu. Jadi pengertian kewajiban yaitu sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang oleh karena kedudukannya. Kewajiban timbul karena hak yang melekat pada subyek hukum.[10]
H.    Macam-macam Hak Antara Suami dan Istri
Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.
1.      Hak-hak Bersama
      Hak –hak bersama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut :
a.    Halal bergaul antara suami-isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
b.   Terjadi hubungan mahram semenda; isteri menjadi mahram ayah suami, kakeknya, dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
c.    Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah dilaksanakan. Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah melakukan pergaualan suami-isteri.
d.   Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan setelah nikah).
e.    Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan damai. Dalam hubungan ini Q.S. An-Nisa:19 memerintahkan,
... وَعَاشِرُ هُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ... (النسا :19 )                   
Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik……
Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-Undang Perkawinan menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”
2.      Hak-hak Isteri
Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil di antara para isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan isteri dan sebagainya.
a.       Hak-hak Kebendaan
Ø  Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin kepada perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati memberikan sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa maskawin itu adlah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri dengan sukarela.
Ø  Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan isteri, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-isteri untuk menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga bersalin … “ Ayat berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yng kurang mampu pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya; Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya ….”
Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’. Antara lain sebagai berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap isteri-isteri; itu tidak menerima tamu orang yang tidak engkau senangi; kalau mereka melakukannya, boleh kamu beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai; kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai makanan dan pakaian dengan makruf.”
b.      Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak  bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 agar para suami menggauli isteri-isterinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.
Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:
                                            i.            Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan, “Orang-orang mukmin yang paling baik budi perangainya, dan orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isteri-isterinya.”
Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah, hendaknya suami selalu berusaha agar isteri mengalami peningkatan hidup keagamaannya, budi pekertinya, dan bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi hak isteri, misalnya melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus, kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, dan sebagainya. 
                                          ii.            Melindungi  dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isteri. Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak benar, suami setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban memberikan keterangan-keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan tuduhan agar nama baik isteri jangan menjadi cemar.
                                        iii.            Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup perkawinan; bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa dalam hal ini.
3.      Hak-hak Suami
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami isteri.
a.       Hak Ditaati
Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan  (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada isteri-isteri itu.
b.      Hak Memberi  Pelajaran
Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami bahwa isterinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur dengan isteri. Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).
Hadits Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Zam’ah mengatakan, “Apakah salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti ia memukul budak pada siang hari, kemudian pada malam hari mengumpulinya.”

I.       Hak dan kewajiban suami istri dalam UU perkawinan dan kompilasi hukum Islam (KHI)
Hak dan kewajiban suami istri dalam UU Nomor 1 tahun 1974 terdapat dalam Bab VI PASAL 30-34. Dalam Pasal 30 disebutkan, "suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendiri dasarb dari susunan masyarakat".
dalam pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban suami istri, yaitu:
1.      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2.      Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
3.      Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32 menyatakan bahwa:
1.      Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2.      Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33 menyatakan bahwa, "suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain".
Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri dijelaskan secara rinci sebagai berikut
Bagian satu, Umum adalah Pasal 77 yang berisi pasal-pasal yang sama materinya dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 1/1974 pasal 30-34.
Bagian kesua, kedudukan suami istri Pasal 78 yang menyebutkan:
1.      Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga.
2.      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3.      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian ketiga, kewajiban suami pada Pasal 80 menyebutkan :
1.      Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri.
2.      Suami wajib melindungi istrinya dan memeberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3.      Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
4.      Sesuai dengan penghasilan suami menggung:
a.       Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b.      Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi istri dan anak.
c.       Biaya pendidikan bagi anak
1.      Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dan isterinya.
2.      Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
3.      Kewajiban suami sebagaimana di maksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyud.
Pasal 83
a.       Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
b.      Isrti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.


PENUTUP
Kesimpulan
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Adapun syarat-syarat mahar yaitu: harta/bendanya berharga, barangnya suci dan bisa diambil manfaat, barangnya bukan barang gasab, dan bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagiamana dan utang sebagian. Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu: mahar musamma dan mahar mitsli.
Hak adalah kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu. Sedangkan pengertian kewajiban yaitu sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang oleh karena kedudukannya. Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban  isteri.







DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah,  juz 4.
Mujid, Abdul. dkk, Kamus Istilah Fikih,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Muhktar,Kamal,Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Hasan, Mustofa. Pengantar Hukum Keluarga, Bandung : CV Pustaka Setia, 2011.
Al-Fauzan, Saleh.Fiqh Sehari-hari, Depok: GemaInsani,
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.
Daradjat , Zakiyah, dkk, Ilmu Fiqh, Jakarta: Depag RI, 1985.
Ghazali, Abdurrahman.Fiqih MunakahatJakarta, Prenada Media, 2003.



[1] Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 81.
[2] Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh (Jakarta: Depag RI, 1985) Jilid 3, 83. Lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), 84.
[3] Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, 94.

[4] Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103.
[5]Kamal Muhktar, Op.Cit., hlm. 82.
[6].M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185.
[7]Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93.
[8]M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm. 185; H. Abd.Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93.

[9]Mustofa Hasan, M. Ag, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), 146-147
[10]Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Depok: GemaInsani), 674.

1 komentar: