BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mahar
termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita
dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang
besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena
pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa
mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun
secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat
dalam aqad pernikahan.
Mahar
merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah,
dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar
lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang di atas serta untuk terarahnya
makalah ini. Maka masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian dari mahar, hak dan kewajiban
suami istri ?
2. Apa saja Syarat-syarat Mahar ?
3. Berapa kadar (jumlah) Mahar yang harus di
berikan ?
4. Bagaimana hukumya memberi Mahar dengan kontan danutang ?
5. Apa saja Macam-macam Mahar dan hak antara
suami istri ?
6. Bagaimana menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
UU Perkawinan mengenai mahar, hak dan kewajiban suami istri ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Hukum Mahar
Dalam
istilah ahli fiqh, disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan : “shadaq”,
nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan
perkataan maskawin.[1]
Mahar,
secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami
untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau
suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik
dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).[2]
Imam Syafi’i
mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya[3].
Jika istri
telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka
boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi
maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt.
Berfirman:
وَإِنْ اَرَدْتُمْ اِسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجِ
وَءَاتَيْتُمْ اِحْدَهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْئُا
اَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَنًا وَاِثْمًا مُبِيْنًا
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu
dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan seseorang diantara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang
sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S AL-NISA[4]: 20).
B. Syarat-syarat
Mahar
Mahar yang
diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
Harga
berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah
disebut mahar. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat.
Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu
haram dan tidak berharga.
Barangnya
bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain
tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab
tidak sah, tetapi akadnya tetap sah. Bukan barang yang tidak jelas
keadaannya.Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas
keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[4]
C. Kadar
(Jumlah) Mahar
Agama tidak
menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia
dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin
yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin
ada yang hampir tidak mampu memberinya.[5] Oleh karena itu, pemberian mahar
diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan
persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya.
Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar
maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu
perkawinan,”.
Imam
Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in
berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat
menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian
fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik
dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang
sebanding berat emas perak tersebut.
D. Memberi
Mahar Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar
sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
عن ابن عباس عن النبى صلى الله عليه وسلم منع عليا ان
يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ , فقال : ماعندى شيء,
فقال : فاين درك الحطمية : فأعطاه اياه ( رواه
ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه )
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang
Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya
tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu
diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan
yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian
terlebih dahulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan
pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar
itu tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya
mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar
membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara
fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang
membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya.
Demikian pendapat Imam Malik.
E. Macam-macam
Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua
macam, yaitu:
1. Mahar Musamma
Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah
disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.Atau, mahar yang
dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[6]
Ulama fikih sepakat bahwa,dalam
pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
a.
Telah bercampur (bersenggama).
b. Salah satu dari suami istri meninggal.
Dengan demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah
bercampurdengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu,
seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda,
atau hamil dari bekas suami lama.[7]Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum
bercampur, hanya wajib dibayar setengah.
2. Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak
disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan.
Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh
keluarga terdekat, agakjauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan
status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[8]Mahar Mitsli juga terjadi dalam keadaan
sebagai berikut:
a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan
besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan
istri, atau meninggal sebelum bercampur.
b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan
suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah
tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.
F.
Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) permasalahan mahar terdapat dalam
BAB V PASAL 30 sampai dengan Pasal 38. Adapun materi dari pasal-pasal tersebut
sebagai berikut:
Pasal 30 : calon pembelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya di sepakati oleh kedua belah
pihak.
Pasal 31 : penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam.
Pasal 32 : mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita
dan sejak itu menjadi pribadinya.
Pasal 33 : (1) penyerahan mahar dilakukan dengan tunai, (2) apabila
calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau untuk sebagian mahar yang belum ditunaikan penyerahan nya
menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34 : (1) kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun
dan syarat dalam perkawinan (2) kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada
waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya
dengan keadaan mahar masih berhutang tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35 : (1) suami mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib
membayar maharbsetengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah, (2)
apabila suami meninggal dunia qabla al-dukhul seluruh mahar yang ditetapkan
menjadi hak penuh istrinya, (3) apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi
besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36 : apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat
diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang
lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar
yang hilang.
Pasal 37 : apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan
nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38 : (1) apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau
kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat,
penyerahan mahar dianggap lunas, (2) apabila istri menolak untuk menerima mahar
karena cacat, suami menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama
penggantinya belum diserahkan, maka dianggap masih belum dibayar.
Dari pasal-pasal yang terdapat dalam
KHI di atas, dapat di pahami bahwa mahar merupakan kewajiban yang harus di
bayar oleh calon suami kepada calon istrinya, baik secara kontan atau tidak
kontan dengan cara melalui persetujuan pihak calon istri. Jika calon istri
tidak menyetujuinya dan meminta maharnya dibayar secara kontan, pihak calon
suami harus membayarnya. Hal itu menjadi pertanda bahwa mahar adalah hak
prerogatif calon istri dalam menentukan jumlah dan jenisnya. Meskipun demikian,
KHI menetapkan bahwa mahar di bayar atas dasar asas kesederhanaan yang
sekiranya calon suami mampu melaksanakannya.[9]
G. Pengertian Hak dan Kewajiban
Dalam bahasa
latin untuk menyebut hak yaitu dengan ius, sementara dalam istilah Belanda
digunakan istilah recht. Bahasa Perancis menggunakan istilah droit untuk
menunjuk makna hak. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah law untuk menunjuk
makna hak.
Secara
istilah pengertian hak adalah kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan
atau berbuat sesuatu. Sementara menurut C.S.T Cansil hak adalah izin atau
kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Menurut van Apeldoorn hak
adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum
tertentu, dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan. Dalam pengertian
ini, C.S.T. Cansil membagi hak ke dalam hak mutlak (hak absolut) dan hak
relative (hak nisbi).
1. Hak Mutlak (hak absolut)
Hak mutlak adalah hak yang memberikan wewenang kepada
seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, hak mana bisa dipertahankan kepada
siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang harus menghormati hak tersebut.
Sementara itu macam-macam hak mutlak dibagi ke dalam
tiga golongan:
a. Hak Asasi Manusia
b. Hak Publik Mutlak
c. Hak Keperdataan
Sedangkan macam-macam hak keperdataan yaitu
antara lain sebagai berikut:
a. Hak Marital
b. Hak/Kekuasaan Orang Tua
c. Hak Perwalian
d. Hak Pengampuan
2. Hak Relatif (hak nisbi)
Hak relatif adalah hak yang memberikan wewenang kepada
seseorang tertentu atau beberapa orang tertentu untuk menuntut agar supaya
seseorang atau beberapa orang lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti keharusan untuk
berbuat sesuatu. Jadi pengertian kewajiban yaitu sesuatu yang harus dilakukan
oleh seseorang oleh karena kedudukannya. Kewajiban timbul karena hak yang
melekat pada subyek hukum.[10]
H. Macam-macam
Hak Antara Suami dan Istri
Hak-hak
dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak isteri
yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.
1.
Hak-hak Bersama
Hak –hak bersama antara suami dan isteri
adalah sebagai berikut :
a. Halal bergaul antara suami-isteri dan
masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
b. Terjadi hubungan mahram semenda; isteri
menjadi mahram ayah suami, kakeknya, dan seterusnya ke atas, demikian pula
suami menjadi mahram ibu isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
c. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami
dan isteri sejak akad nikah dilaksanakan. Isteri berhak menerima waris atas
peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas peninggalan isteri,
meskipun mereka belum pernah melakukan pergaualan suami-isteri.
d. Anak yang lahir dari isteri bernasab pada
suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan setelah nikah).
e. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri
sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan damai. Dalam hubungan ini Q.S.
An-Nisa:19 memerintahkan,
...
وَعَاشِرُ هُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ... (النسا :19 )
“Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik……”
Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-Undang Perkawinan
menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami isteri wajib
cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang
satu kepada yang lain.”
2. Hak-hak Isteri
Hak-hak
isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu
mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil
di antara para isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan
isteri dan sebagainya.
a.
Hak-hak Kebendaan
Ø Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin kepada
perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka
dengan senang hati memberikan sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah dia
sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa
maskawin itu adlah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan
merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami
hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri dengan
sukarela.
Ø Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan isteri,
meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan
pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu
tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-isteri untuk
menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam
keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga bersalin … “ Ayat
berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang yang mampu hendaklah memberi
nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yng kurang mampu pun supaya memberi
nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya; Allah tidak akan membebani
kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya ….”
Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’. Antara
lain sebagai berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban
terhadap isteri-isteri; itu tidak menerima tamu orang yang tidak engkau
senangi; kalau mereka melakukannya, boleh kamu beri pelajaran dengan
pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai; kamu berkewajiban mencukupkan
kebutuhan isteri mengenai makanan dan pakaian dengan makruf.”
b. Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib
ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa:
19 agar para suami menggauli isteri-isterinya dengan makruf dan bersabar
terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.
Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:
i.
Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan
yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak,
dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari
Abu Hurairah r.a. mengajarkan, “Orang-orang mukmin yang paling baik budi
perangainya, dan orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling
baik perlakuannya terhadap isteri-isterinya.”
Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak
isteri ialah, hendaknya suami selalu berusaha agar isteri mengalami peningkatan
hidup keagamaannya, budi pekertinya, dan bertambah pula ilmu pengtahuannya.
Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi hak isteri, misalnya melaui
pengajian-pengajian, kursus-kursus, kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku,
majalah, dan sebagainya.
ii.
Melindungi dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri serta
menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutupi-nutupi
kesalahan yang memang terdapat pada isteri. Namun, adalah menjadi kewajiban
suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain.
Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak benar, suami setelah melakukan
penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban memberikan keterangan-keterangan
kepada pihak-pihak yang melontarkan tuduhan agar nama baik isteri jangan
menjadi cemar.
iii.
Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan
hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak isteri dalam hal ini.
Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor
hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan
keretakan dalam hidup perkawinan; bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan
isteri disebabkan adanya perasaan kecewa dalam hal ini.
3. Hak-hak Suami
Hak-hak
suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang
menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara
yang baik dan layak dengan kedudukan suami isteri.
a.
Hak Ditaati
Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki
(suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan (isteri) karena laki-laki
mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadiannya), dan
adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan keluarganya.
Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami
mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami
mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami
mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta
taufik-Nya kepada isteri-isteri itu.
b. Hak Memberi Pelajaran
Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan,
apabila terjadi kekhwatiran suami bahwa isterinya bersikap membangkang
(nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan nasihat, pihak
isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur dengan isteri.
Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member pelajaran dengan
jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).
Hadits Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari
Abdullah bin Zam’ah mengatakan, “Apakah salah seorang di antara kamu suka
memukul isterinya seperti ia memukul budak pada siang hari, kemudian pada malam
hari mengumpulinya.”
I. Hak dan kewajiban suami istri dalam
UU perkawinan dan kompilasi hukum Islam (KHI)
Hak dan kewajiban suami istri dalam UU Nomor 1 tahun 1974 terdapat
dalam Bab VI PASAL 30-34. Dalam Pasal 30 disebutkan, "suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendiri dasarb dari
susunan masyarakat".
dalam pasal 31 dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban suami
istri, yaitu:
1.
Hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2.
Masing-masing
pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
3.
Suami
adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32 menyatakan bahwa:
1.
Suami
istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2.
Rumah
tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami
istri bersama.
Pasal 33
menyatakan bahwa, "suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain".
Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:
1. Suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga
sesuai dengan kemampuannya.
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami
istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri dijelaskan secara rinci
sebagai berikut
Bagian satu,
Umum adalah Pasal 77 yang berisi pasal-pasal yang sama materinya dengan
pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 1/1974 pasal 30-34.
Bagian kesua, kedudukan suami istri Pasal 78 yang menyebutkan:
1.
Suami
adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga.
2.
Hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3.
Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian
ketiga, kewajiban suami pada Pasal 80 menyebutkan :
1.
Suami
adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai
hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri.
2.
Suami
wajib melindungi istrinya dan memeberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
3.
Suami
wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
4.
Sesuai
dengan penghasilan suami menggung:
a.
Nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b.
Biaya
rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi istri dan anak.
c.
Biaya
pendidikan bagi anak
1.
Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut
pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dan isterinya.
2.
Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
3.
Kewajiban suami
sebagaimana di maksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyud.
Pasal 83
a.
Kewajiban utama
bagi seorang isteri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
b.
Isrti
menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan
sebaik-baiknya.
PENUTUP
Kesimpulan
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara
terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Adapun syarat-syarat mahar yaitu: harta/bendanya
berharga, barangnya suci dan bisa diambil manfaat, barangnya bukan barang gasab,
dan bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah
maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia
dalam memberikannya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan
atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagiamana dan utang sebagian. Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua
macam, yaitu: mahar musamma dan mahar mitsli.
Hak adalah kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau
berbuat sesuatu. Sedangkan pengertian kewajiban yaitu sesuatu yang
harus dilakukan oleh seseorang oleh karena kedudukannya. Hak-hak dalam
perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak isteri yang
menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4.
Mujid, Abdul. dkk, Kamus Istilah
Fikih,Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Muhktar,Kamal,Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Hasan,
Mustofa. Pengantar Hukum Keluarga, Bandung : CV Pustaka Setia, 2011.
Al-Fauzan, Saleh.Fiqh
Sehari-hari, Depok: GemaInsani,
Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.
Daradjat , Zakiyah, dkk, Ilmu Fiqh, Jakarta: Depag RI, 1985.
Ghazali, Abdurrahman.Fiqih MunakahatJakarta, Prenada Media, 2003.
[1] Kamal Muhktar, Asas-asas
Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 81.
[2] Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu
Fiqh (Jakarta: Depag RI, 1985) Jilid 3, 83. Lihat pula H. Abdurrahman
Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), 84.
[3] Lihat Abdurrahman
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, 94.
[4] Lihat Abdurrahman
Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103.
[8]M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit.,
hlm. 185; H. Abd.Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93.
[9]Mustofa Hasan, M. Ag, Pengantar Hukum Keluarga,
(Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), 146-147
[10]Saleh Al-Fauzan, Fiqh
Sehari-hari, (Depok: GemaInsani), 674.
MANTAPP
BalasHapus