Sabtu, 01 Juli 2017

Tarikh Tasyri pada masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas dalam tataran dunia Islam internasional, bahkan disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Meskipun demikian Islam dengan serangkaian varian hukumnya belum bisa diterapkan sepenuhnya dinegara kita ini.
Dengan mempelajari sejarah perkembangan hukum Islam -dinegara yang dikatakan penduduknya mayoritas beragama Islam- dari berbagai periode sampai masa sekarang ini, dengan harapan dapat kita jadikan acuan dalam memperjuangkan hukum Allah dibumi kita tercinta ini. Karena kita tahu -diakui ataupun tidak- hukum Allah lah sebaik-baiknya hukum yang ada.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam di Tanah bumi Indonesia mulai pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan.

B.            Rumusan Masalah
1.             Bagaimana Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pra Kemerdekaan ?
2.             Bagaimana Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pasca Kemerdekaa












BAB II
PEMBAHASAN
A.           Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau Pada abad kedelapan Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir Utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasei, Aceh Utara.[1]
Pada akhir abad ke enam belas (1596) organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Tujuan awalnya untuk berdagang, namun berubah haluan untuk menguasai kepulauan Indonesia.
VOC membentuk badan-badan peradilan di Indonesia dengan hukum Belanda, namun tidak berjalan dengan lancar. VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan seperti keadaan sebelumnya. VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut dapat diterima oleh VOC dan digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah yang dikuasai VOC.
Posisi Hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama kurang dua abad lamanya (1602-1800). Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan colonial Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah, namun perubahan itu dilaksanakan secara perlahan, berangsur-angsur dan sistematis.[2]


Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Meski di dominasi oleh fiqh Syafi’iyyah. Hal ini, kata Rachmat Djatnika, fiqh Syafi’iyyah lebih banyak dan dekat kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat laun, pengaruh madzhab Hanafiy, mulai diterima. Penerimaan dan pelaksanaan hukum Islam ini, dapat dilihat pada masa-masa kerjaan Islam awal. Pada zaman kesultanan Islam, menurut Djatnika, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara. Di Aceh atau pada pemerintahan Sultan Agung hukum Islam telah diberlakukan walau masih tampak sederhana.
Hukum adat setempat sering menyesuaikn diri dengan hukum Islam. Di Wajo misalnya hukum waris menggunakan hukum Islam dan hukum adat, keduanya menyatu dan hukum adat itu menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Sosialisasi hukum Islam pada zaman Sultan Agung sangat hebat, sampai ia menyebut dirinya sebagai “Abdul Rahman Kholifatulloh Sayyidin Panatagama”. Demikian juga di Banten pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa hukum adat dan hukum adat tidak ada bedanya. Juga di Sulawesi. Kenyataan semacam ini diakui oleh Belanda ketika datang ke Indonesia. Dibawah ini akan dikemukakan teori-teori hukum Islam di Indonesia.[3]
1.  Teori Receptio in Complexu[4]
2.    Teori Receptie
3.    Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario











B.            Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pasca Kemerdekaan
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, upaya untuk melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial mulai dicanangkan, walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan hukum, hukum warisan kolonial itu masih tetap diberlakukan (sesuai bunyi aturan peralihan pasal 2 dari UUD 1945: “semua Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”).[5] Namun menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, seharusnya teori receptie itu harus “exit” (keluar) dari tata hukum Indonesia merdeka. Karena menurutnya, teori ini bertentangan dengan Jiwa UUD 1945 dan juga bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam.
Lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan baitulmal. Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial belanda. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki.
Pada dasarnya term kompilasi merupakan adopsi dari bahasa inggris compilation atau dalam bahasa Belanda berarti compilatie yang diambil dari kata compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama, misalkan mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Lalu istilah inilah (kompilasi) yang digunakan di Indonesia sebagai terjemahan langsung dari kata tersebut. [6]
Namun apabila penggunaan term kompilasi dalam konteks hukum Islam Indonesia, maka biasanya dipahami sebagai fiqh dalam bahasa perundang-undangan yang terdiri dari bab-bab, pasal serta ayat-ayat yang tercakup di dalamnya. Padahal tidak seperti halnya dengan perundang-undangan lainnya yang telah dikodifikasi. Karena kompilasi sedikit berbeda dengan pengkodifikasian. 
Secara faktual Peradilan Agama telah lahir sejak tahun 1882, namun dalam mengambil putusan untuk sesuatu perkara tampak jelas para hakim Pengadilan Agama belum mempunyai dasar pijak yang seragam. Hal itu terutama karena hukum Islam yang berlaku belum menjadi hukum tertulis dan masih tersebar di berbagai kitab kuning sehingga kadang-kadang untuk kasus yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan.
Dan dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum dalam memutus suatu perkara, Departemen Agama Biro Peradilan Agama melalui surat edaran Nomor B/1/735 pada 18 Februari 1958, yang ditujukan kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia untuk dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fiqh yang sebagian besar merupakan kitab yang berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i. Dan menyadari akan hal itu, maka para pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang lebih komprehensif  agar hukum Islam tetap eksis dan dapat digunakan untuk menyelasaikan segala masalah dalam era globalisasi ini. Dalam kaitan ini prinsip  yang harus dilakksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan.[7] Dalam rangka inilah, Busthanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam.
Ide untuk mengadakan Kompilasi Hukum di Indonesia ini memang baru muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini adalah merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak. Menurut Prof. Ismail Suny, pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKS (Surat Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam. Yang berarti sudah sedari dini kegiatan ini mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara.[8] Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi Hukum di Indonesia adalah intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 kepada Menteri Agama RI yang mana Kompilasi hukum Islam tersebut terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. [9]
Kelahiran UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebenarnya dapat dinyatakan sebagai upaya kompilasi, meskipun pada saat itu namanya tetap undang-undang. Karena bagaimanapun juga UU memiliki daya ikat dan paksa pada sobyek serta objek hukumnya, berbeda dengan kompilasi yang sesuai dengan karakternya. Yang mana hanyalah menjadi pedoman saja, relatif tidak mengikat.
Menurut Ahmad Rofiq bahwa ada 4 produk pemikiran hukum Islam yang telah berkembang di indonesia yaitu ; fiqh, fatwa ulama (hakim), keputusan pengadilan, dan perundang-undangan.[10] Sebagai ijma’ ulama indonesia, Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para hakim dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya secara substansial kompilasi tersebut dalam sepanjang sejarahnya, telah menjadi hukum positif yang berlaku dan diakui keberadaannya. Karena sebenarnya yang semula yang dimaksud dengan Hukum Islam itu hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang terdapat banyak perbedaaan pendapat di dalamnya, sehingga telah dicoba diunifikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Jadi dalam konteks ini, sebenarnya terjadi perbahan bentuk saja yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi terkodifikasi dan terunifikasi dalam KHI yang substansinya juga tidak banyak berubah selagi hukumnya masih bisa dipakai dalam kondisi lingkungannya sekarang.





BAB III
KESIMPULAN
Hukum Islam ada di Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara ini, sekitar abad kedelapan Masehi. Pada akhir abad ke enam belas (1596) organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di Indonesia untuk berdagang, namun berubah haluan untuk menguasai kepulauan Indonesia.
VOC membentuk badan-badan peradilan di Indonesia dengan hukum Belanda, namun tidak berjalan dengan lancar. VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan seperti keadaan sebelumnya.
Posisi Hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama kurang dua abad lamanya (1602-1800). Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan colonial Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah, namun perubahan itu dilaksanakan secara perlahan, berangsur-angsur dan sistematis. Pada masa belanda di Indonesia telah di keluarkanya teori- teori mengenai hukum islam ini yaitu:
1.      Teori Receptio in Complexu
2.      Teori Receptie
3.      Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, upaya untuk melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial mulai dicanangkan, walaupun dalam rangka menghindarkan kekosongan hukum, hukum warisan kolonial itu masih tetap diberlakukan. Namun menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, seharusnya teori receptie itu harus “exit” (keluar) dari tata hukum Indonesia merdeka. Karena menurutnya, teori ini bertentangan dengan Jiwa UUD 1945 dan juga bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Sehingga sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam.





DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Gema Insani Press, 1996.                      
Ali Mohammad Daud, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Manan Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
…………Dedi Supriyadi,
Syaukani Imam,  Konstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.




[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 ), hal 209.
[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), hal 213-214.
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal.12-13.
[4] Dedi Supriyadi,
[5] Imam Syaukani,  Konstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal 81.
[6] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hal11.
[7] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal 178.
[8] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal 33.
[9] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal 12.                       
[10] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar