BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, dimana di dalamnya terkandung
petunjuk-petunjuk bagi umat Islam di dalam menjalani kehidupan. Penjelasan ayat
Al-Qur’an adakalanya masih bersifat mujmal, sehingga diperlukan penafsiran,
baik secara tekstual maupun kontekstual dalam mengartikannya.
Apalagi dalam menentapkan suatu
hukum kita tidak boleh sembarang dalam menetapkan hukum dengan tanpa ada
mengetahui sumber hukumnya, Al-Quran merupakan sumber hukum pertama dalam
menisbatkan suatu hukum. Oleh karena itu perlu adanya menelaah isi kandungan
pada ayat tersebut dan juga harus mengetahui penafsiran serta harus mengetahui
sebab dari turunnya ayat tersebut agar tidak terjadi kesalah pahaman.
Dalam
makalah ini pemakalah mengkaji beberapa
ayat dari Al Qura’n, yaitu: Surat Al-Baqarah ayat 181, Surat An-Nisa’ ayat 135,
Surat Al-Maidah ayat 8, Surat Al-Ma’arij ayat 33-35. Yang berkaitan dengan
“Kewajiban menyampaikan berita yang benar”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Tafsir Surat Al-Baqarah
ayat 181 dan Surat An Nisa’ ayat 135?
2.
Bagaimana Tafsir
Surat Al-Maidah ayat 8 dan Surat Al-Ma’arij 33-35?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat
Al-Baqarah ayat 181
1.
Ayat dan Artinya
فَمَنْ
بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ
إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Maka barang
siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2.
Arti Kosa Kata Kunci
بَدَّلَ : Mengubah
|
سَمِعَ : Mendengar
|
إِثْمُ : Dosa
|
|
3.
I’rob Kalimat
Kalimat فَمَنْ
بَدَّلَهُ adalah kalimat klausul atau bahasa kitabnya
yaitu syarat, jawabnya adalah فَإِنَّمَا
إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ. Kata إِثْمُهُ
berkharakat
dhammah, karena ia berposisi sebagai mubatada’. Sedangkan khabarnya yaitu
kalimat عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ.
4.
Munasabah Ayat

Kalam pertama
pada ayat ini, berhubungan dengan kalam yang sesudahnya. Yaitu maka barang
siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
5.
Penafsiran Ayat dengan Ayat atau Ayat dengan Hadits
atau dengan Pendapat Mufassir
Dlamir Haa’ pada kata بَدَّلَهُ kembali pada apa yang diwasiatkan, begitu juga pada kata سَمِعَهُ. Kondisi seperti ini sama dengan firman Allah SWT pada ayat
lain: فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ “Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya.” (Qs. Al-Baqarah ayat 275). Dan juga firman
Allah SAW pada surat An-Nisa’ ayat 8: وَإِذَا
حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat.”[1]
Menurut
pendapat mufassir, Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu
Ashim menceritakan kepada kami, ia berkata: Isa menceritakan kepada kami dari
Ibnu Abi Najih dari Mujahid tentang firman Allah: فَمَنْ
بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ ia berkata: wasiat.[2]
Sedangkan سَمِعَهُ kata “mendengarnya” ada dua kemungkinan, yang pertama:
mungkin ia mendengar dari pembuat wasiat secara langsung. Kedua, mungkin ia
mendengar dari orang yang dipercayai oleh pembuat wasiat. Dan keduanya dapat
dibenarkan.
Adapun Haa’ pada kata “dosanya” kembali
pada pengubahan, yakni dosa pengubahan yang kembali pada si pengubah, bukan
kepada pembuat wasiat. Karena dengan membuat wasiat tersebut pembuat wasiat
terhindar dari penyalahan.
Para ulama sepakat bahwa jika orang yang
berwasiat mewasiatkan sesuatu yang haram atau yang dilarang atau yang tidak
diperbolehkan, misalnya mewasitkan minuman keras, atau mewasiatkan hewan babi,
ataupun maksiat lainnya, maka wasiat tersebut boleh diganti dan tidak boleh
dilaksanakan. Seperti halnya larangan untuk melaksanakan wasiat yang melebihi
dari sepertiga hartanya. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Umar.[3]
Menurut
pendapat mufassir, Al Mutsanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Shalih
menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu’awiyah bin Shalih menceritakan
kepadaku dari Ali bin Abi Thalib dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: فَمَنْ
بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ
adapun orang yang berwasiat ia telah memperoleh pahala dari Allah dan bebas
dari dosanya, namun jika berwasiat yang membahayakan maka tidak sah wasiatnya,
sebagaimana firman Allah: غَيْرَ
مُضَارٍّ “Dengan tidak memberi madharat.” (Qs. An-Nisa’ ayat 12).
Firman Allah إِنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Abu ja’far berkata: sesungguhnya
Allah mendengar wasiat yang kalian wasiatkan kepada orang tua dan kerabat
kalian ketika kalian mewasiatkannya, adakah kalian akan berlaku adil atau
aniaya. Dan Allah mengetahui apa yang kalian sembunyikan dalam diri kalian,
baik yang adil maupun aniaya.[4]
6.
Hukum, Petunjuk, dan Pelajaran
Para ulama sepakat bahwa jika orang yang
berwasiat mewasiatkan sesuatu yang haram atau yang dilarang atau yang tidak
diperbolehkan, misalnya mewasitkan minuman keras, atau mewasiatkan hewan babi,
ataupun maksiat lainnya, maka wasiat tersebut boleh diganti dan tidak boleh
dilaksanakan. Seperti halnya larangan untuk melaksanakan wasiat yang melebihi
dari sepertiga hartanya.
Asy Sya’bi berkata, “Allah memerintahkan kepada pada hakim tiga perkara:
Hendaklah ia tidak mengikuti hawa nafsu, tidak takut kepada orang-orang, dan orang-orang juga tidak takut kepadanya, tidak
membeli ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. ”
7.
Analisis Kandungan Ayat
Fenomena dalam masyarakat, masih banyak orang yang mudah mengubah atau
mengingkari kesaksiannya. Seakan mereka merasa tak ada yang mengetahui apa yang
mereka perbuat dan mereka yakin hanya mereka sajalah yang mengetahui
tindakannya tersebut, mereka lupa bahwa seluruh bagian-bagian tubuh manusia
kelak akan bersaksi di hadapan Tuhannya, Allah swt, Yang Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka telah kehilangan pijakan
teologis di segala tindakannya, lahir, dan batin.
B.
Surat
An Nisa’ ayat 135
1.
Ayat dan Artinya
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ
وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ
غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ
تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.”
2.
Arti Kosa Kata Kunci
شُهَدَاءَ : Menjadi Saksi
|
تَتَّبِعُ : Mengikuti
|
الْوَالِدَيْنِ :
Bapak Ibu
|
الْهَوَى : Hawa Nafsu
|
الأقْرَبِينَ : Kerabat
|
تَعْدِلُوا :Kamu ingin menyimpang dari
kebenaran
|
غَنِيًّا : Kaya
|
تَلْوُوا : Kamu memutar balikkan (kata-kata)
|
فَقِيرًا : Miskin
|
تُعْرِضُوا : Kamu enggan menjadi saksi
|
3.
I’rob Kalimat
Lafadz شُهَدَاءَ merupakan
bentuk jama’ dari lafadz. Lafadz itu dinashabkan karena menjadi na’at dari kata
قَوَّامِينَ,
dan ada yang mengatakan lafadz itu dinasabkan karena menjadi hal dari lafadz قَوَّامِينَ.
Kata شُهَدَاءَ
dalam bentuk ghairu munsharif sebab dalam lafadz itu terdapat alif ta’nits.
4.
Asbabun Nuzul
Ibnu Abi Hati meriwayatkan bahwa As-Suddi
berkata, ayat ini turun kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika seorang kaya dan
seorang fakir berselisih dan mengadukannya kepada beliau. Dan Rasulullah SAW
memihak pada orang fakir karena menurut beliau orang fakir tidak mendzalimi
orang yang kaya. Sedangkan Allah tetap ingin agar beliau berlaku adil kepada
orang yang kaya dan fakir tersebut.[5]
5.
Munasabah Surat An Nisa ayat 135 dengan Surat Al Hujurat ayat 13
Surat Al-Hujurat ayat 13 membahas tentang persamaan status social manusia.
Dan juga tidak membedakan suku dan bangsa maupun agama. Karena kita sebagai
seorang umat islam yang penuh keimanan janganlah sekali-kali kita membedakan
umat-umat yang lain walaupun statusnya tidak sama.
Sedangkan surat An-Nisa’ ayat 135 membahas tentang keadilan dimana
seseorang hakim dalam memutuskan suatu perkara harus adil dan tidak boleh berat
sebelah. Agar kita sebagai seorang ahli hakim tegakkanlah kebenaran itu dengan
benar. Yang salah tetap salah, dan yang benar tetap benar. Tanpa pilih-pilih
kasih. Dan juga sebagai seorang hakim harus menegakkan keadialan dengan benar
jangan sekali-kali memandang seseorang itu dengan tujuan yang lain. Seperti
main suap untuk menegakkan keadilan dari orang yang bersalah.
Maka Allah tidak setuju dengan orang yang seperti itu. Sebab didalam agama
tidak ada perintah untuk menegakkan kesalahandengan membenarkannya. Orang yang
selalu berpaling dari koridor Allah niscaya dia akan mendapat balasan yang
sesuai dengan perbuatannya.
6.
Penafsiran Ayat dengan Ayat atau Ayat dengan Hadits
atau dengan Pendapat Mufassir
Allah berfirmanيَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ “Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”. Maksudnya, jadikanlah penegak
keadilan itu sebagai bagian dari sifat dan akhlak kamu, yaitu berlaku adil.[6]
Firman Allah كُونُوا
قَوَّامِينَ kata
قَوَّامِينَ disini dalam
bentuk penegasan artinya hendaklah kalian selalu menegakkan keadilan, yaitu
bersikap adil ketika menjadi saksi atas diri sendiri, maksudnya seseorang itu
menyatakan atau menjadi saksi akan hak-hak yang harus ia penuhi pada dirinya.
Kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan kedua orang tua, ini kareba berbuat
baik terhadap keduanya adalah wajib, dan merupakan sesuatu yang agung. Inilah
makna firman Allah قُوا أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Qs. At-Tahrim ayat 6) Jika ia
menjadi saksi atas keduanya atau keduanya menjasi saksi atasnya. Kemudian
dilanjutkan dengan menyebutkan para kaum kerabat, ini karena sifat kasih sayang
itu berasal dari mereka, sehingga orang lain lebih berhak untuk menegakkan
keadilan dan menjadi saksi atasnya, pembicaraan dalam surah ini mengenai
menjaga hak-hak manusia yang berhubungan dengan harta.
Abu Daud
meriwayatkan dari Ad-Daraqutni dari Abu Hurairah, bahwasanya ia mendengar Nabi
SAW bersabda: لاَ تَجُوزُ
شَهَادَةُ بَدْوِي عَلَي صَاحِبِ قَرْيَةِ “Tidak
boleh seorang badui (orang yang hidupnya berpindah-pindah) menjadi saksi
terhadap orang yang tinggal di desa,” Muhammad bin Abdul Hakam berkata,
“Malik menakwilkan pengertian yang ada pada hadits ini bahwa yang dimaksud
dalam hadits tersebut adalah persaksian yang berkenaan dengan hak-hak dan
harta, sehingga persaksian yang berhubungan dengan pertumpahan darah itu tidak
ditolak, dan juga terhadap permasalahan semisal, yang terdapat tuntutan dari
manusia.”[7]
Firman Allah لِلَّهِ
artinya (hal tersebut dilakukan) hanya untuk dzat Allah, dan karena mengharap
ridha dan pahala dari-Nya. Kalimat وَلَوْ
عَلَى أَنْفُسِكُمْ “Biarpun terhadap dirimu sendiri,” walaupun menjadi
saksi atas dirimu sendiri, kedua orang tua, atau sanak kerabatmu. Lakukanlah
dengan adil dan harus berdasarkan kebenaran, bahwa perkataanmu itu memang benar
dan tidak cenderung kepada orang yang kaya karena kekayaannya, dan tidak kepada
orang miskin karena kemiskinannya lalu kamu berbuat zhalim.[8]
Firman Allah إِنْ
يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا “Jika ia kaya
atau pun miskin,” artinya kalau orang yang diminta menjadi
saksi atau orang yang dipersaksikan itu kaya, maka janganlah ia dilihat karena
kayanya dan janganlah ia ditakuti, namun jika ia miskin maka janganlah dilihat
karena (kefakirannya) sehingga ia perlu dikasihani. فَاللَّهُ
أَوْلَى بِهِمَا “Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya,” artinya yang
Allah pilih untuk keduanya dari kefakiran dan kekayaan, As-Sudi berkata, “Ada
orang kaya dan orang miskin yang datang mengadu kepada Nabi SAW dan beliau
cenderung membela orang yang miskin, beliau melihat bahwa orang yang miskin itu
tidaklah menzhalimi orang yang kaya, sehingga turunlah ayat ini berkenaan
dengan hal tersebut.”
Firman Allah فَلا
تَتَّبِعُوا الْهَوَى merupakan larangan, karena mengikuti hawa
nafsu dapat membuat seseorang menjadi celaka. Allah berfirman فَاحْكُمْ
بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (Qs. As Shaad
ayat 26).
Mengikuti hawa
nafsu bisa berarti bersaksi dengan tidak benar, dan juga berlaku dzalim ketika
memberi putusan terhadap suatu perkara, dan lain sebagainya.[9]
Firman Allah
Maksudnya adalah “Wahai para hakim, jika kamu memutarbalikkan perkataan atau
enggan memberikan keputusan hukum pada salah seorang yang bertikai, maka
sesungguhnya Allah mengetahui perbuatanmu.” Mereka mengarahkan maksud makna
ayat kepada para hakim, sesuai dengan yang telah kami sebutkan dari hadits
riwayat As-Suddi mengenai ayat tersebut, bahwa sesungguhnya ayat ini diturunkan
kepada Rasulullah SAW, sesuai dengan yang telah kami sebutkan sebelumnya.
7.
Hukum, Petunjuk, dan Pelajaran
Para ulama tidak berbeda pendapat
tentang keabsahan hukum-hukum yang ada pada ayat ini, bahwasannya persaksian
yang dilakukan anak terhadap ayah dan ibunya adalah sah. Dan hal ini tidak
mencegah anak untuk berbuat baik kepada keduanya.
8.
Analisis Kandungan Ayat
Kenyataan
menunjukkan bahwa faktor keluarga dan harta sangat dapat mempengaruhi
keobjektifan seseorang di dalam menghukum. Dengan faktor kedekatan, seorang
hakim bisa saja menzalimi pihak lain, dan karena kekayaan seorang hakimpun
dapat berlaku aniaya terhadap orang yang miskin. Atau sebaliknya karena merasa
kasihan terhadap kondisi orang yang miskin seorang hakim bisa saja tidak lagi
berlaku adil.
C.
Surat Al-Maidah ayat 8
1.
Ayat dan Artinya
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
2.
Arti Kosa Kata
شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ: Saksi dengan
adil
|
لا
يَجْرِمَنَّكُم: Janganlah sekali-kali kebencianmu
|
أَلا
تَعْدِلُوا : Berlaku tidak adil
|
اعْدِلُوا
: Berlaku adillah
|
خَبِيرٌ : Mengetahui secara mendetail
|
|
3.
I’rob Kalimat
Lafadz شُهَدَاءَ
dinashabkan
karena menjadi na’at dari kata قَوَّامِينَ,
dan ada yang mengatakan lafadz itu dinasabkan karena menjadi hal dari lafadz قَوَّامِينَ. Lafadz الْقِسْطِ dibaca jer, karena kemasukan huruf jer yaitu بِ.
4.
Asbabun Nuzul
Sebab turun ayat
ini adalah berkenaan dengan diri usman bin thalhah bin abu thalhah ketika
terjadi peristiwa fathu makkah. Nama asli abu thalhah ayah usman ini ialah
Abdullah bin Abdul Uzza bin Usman Abdid Daar bin Qushai bin Kilab Al Quraisy
Al-Atbari. Ia merupakan juru kunci (hajib) yang mulia.
Menurut Ibnu
Katsir, sebab turun ayat ini adalah ketika Rasulullah SAW meminta kunci Ka’bah
darinya (Usman) sewaktu penaklukan Mekah lalu menyerahkannya kembali kepadanya.
Kisah selanjutnya,
Ali Bin Abu Thalib juga memohon kepada Nabi Saw agar kunci diserahkan
kepadanya. Namun Nabi Muhammad SAW menyerahkan kepadanya Usman Bin Thalhah bin
Abu thalhah. Begitu pula Ibnu Marduwaih meriwayatkan dari jalan Thoriq
Al-Kalabi dari Abu Sholih dari Ibnu Abbas, ketika terjadi fathu mekah
Rasulullah saw memanggil usman bin thalhah bin abi thalhah untuk menyerahkan
kunci ka’bah. Ketika usman bin thalhah hendak menyrahkan kunci trsebut, Abbas
berdiri kemudian berkata kepada Rasul agar menyerahkan kunci itu kepadanya.
Mendengar
perkataan Abbas tersebut, Usman bin thalhah urung menyerahkan kunci tersebut
kepada Rasulullah Saw. Lantas Rasulullah meminta kembali kepada usman ketika
usman hendak menyerahkan. Abbas kembali berdiri dan berkata seperti perkataan
semula. Usman pun urung menyerahkan kunci tersebut. Kejadian ini berulang
sampai tiga kali. Rasulullah saw bersabda : “hai usman, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhir, serahkanlah kunci itu kepadaku”. Mendengar
Rasulullah berkata demikian usman pun menyerahkan kunci tersebut. Setelah
Rasulullah menerima kunci Rasul masuk kedalam ka’bah dan melihat gambar nabi
Ibrahim tersebut Rasulullah meminta air dan membersihkan gambar tersebut.
Setelah itu beliau melakukan thawaf, namun, baru sekitar satu atau dua putaran
malaikat jibril turun dan menyampaikan ayat tersebut.
5.
Munasabah

Kalam pertama pada
ayat ini, berhubungan dengan kalam yang terakhir. Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Karena sesungguhnya Allah maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
6.
Penjelasan Ayat
يأيها الذين ءامنوا كونوا قومين للله
Maksudnya adalah
jadilah kalian sebagai penegak kebenaran karena Allah SWT, bukan karena manusia
atau mencari popularitas. Dan jadilah kalian “menjadi saksi dengan adil”.
Maksudnya, secara adil dan bukan secara curang.
Dan juga
tegakkanlah kebenaran itu terhadap orang lain dengan cara menyuruh mereka
melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, dalam rangka mencari ridha
Allah.
Dalam
ash-shahihain telah ditegaskan dari Nu’man bin Basyir: “Ayahku pernah memberiku
suatu pemberian. Lalu ibuku, ‘Amrah binti Rawahah, berkata: “aku tidak rela
ssehingga engkau mempersaksikan pemberian itu kepada Rasulullah saw. Kemudian,
ia (ayahku) mendatangi beliau dan meminta beliau menjadi saksi atas sedekahku
itu. Maka, beliau SAW pun berssabda:
“apakah setiap
anakmu engkau beri hadiah seperti itu juga? “tidak”, jawabnya. Maka, beliau SAW
pun bersabda: “bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak
kalian!’ lebih lanjut Rasul SAW berrsabda: “sesungguhnya aku tidak mau bersaksi
atas suatu ketidakadilan.’ Kemudian, ayahku pulang dan menarik kembali
pemberian tersebut.
شهداء با لقسط
Asy-syahadah
(kesaksian) disini yang dimaksud menyatakan kebenaran kepada hakim, supaya
diputuskan hukum berdasarkan kebenaran itu. Atau, hakim itulah yang menyatakan
kebenaran dengan memutuskan atau mengakuinya bagi yang melakukan kebenaran.
Jadi, pada dasarnya ialah berlaku adil tanpa berat sebelah, baik terhadap orang
yang disaksikan maupun peristiwa yang disaksikan, tak boleh berat sebelah, baik
karena kerabat, harta ataupun pangkat, dan tak boleh meninggalkan keadilan,
baik krena kefakiran atau kemiskinan.
Jadi, keadilan
adalah neraca kebenaran. Sebab, manakala terjadi ketidakadilan pada suatu umat,
apapun sebabnya, maka akan lenyap kepercayaan umum, dan tersebarlah berbagai
macam kerusakan dan terpecah belahlah segala hubungan dalam masyarakat. Sejak itu,
tak lama Allah pasti menimpakan atas umat itu, termasuk beberapa hambaNya yang
paling dekat kepada keadilan sekalipun, tetap ikut merasakan bencana dan
hukuman tuhan. Memang, begitu sunatullah, baik yang terhadap bangsa-bangsa kini
maupun dahulu. Tetapi, manusia rupanya tak mau mengerti.
ولا يجر منكم شنئان قوم على ألا تعدلوا
Dan janganlah
permusuhan dan kebencian kamu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk bersikap
tidak adil terhadap mereka. Jadi, terhadap mereka pun kamu harus tetap memberi
kesaksian sesuatu dengan hak yang patut mereka terima apabila mereka memang
patut menerimanya. Juga putusilah mereka sesuai dengan kebenaran. Karena, orang
mu’min mesti mengutamakan keadilan daripada berlaku aniaya dan berat
sebelah. Keadilan harus ditempatkan diatas hawa nafsu dan
kepentingan-kepentingan pribadi, dan diatas rasa cinta dan permusuhan, apapun
sebabnya.
اعدلوا هو أقرب للتقوى
Kalimat ini
merupakan penguat dari kalimat sebelumnya, karena sangat pentingnya soal
keadilan untuk diperhatikan. Bahwa keadilan itu adalah suatu kewajiban yang
harus ditunaikan tanpa pandang bulu. Karena, keadilan itulah yang lebih dekat
kepada takwa kepada Allah, dan terhindar dari murkaNya, adalah termasuk dalam
kategori fi’lut tafdhil, yaitu pada kedudukan ditempat yang tidak terdapat
perbandingannya.sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah.
أصحب الجنة يومئذ خير مستقرا وأحسن مقيلا
“para penghuni
sorga pada hari itu palig baik tempat tinggal mereka dan paling indah tempat
istirahatnya.” (QS Al-Furqan:24). Meninggalkan keadilan adalah termasuk
dosa besar, karena bisa menimbulkan berbagai kerusakan hingga robeklah segala
aturan dalam masyarakat, dan putuslah segala hubungan antar individu, dan
menjadi teganglah pergaulan sesama mereka.
واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Maksudnya
adalah Allah akan memberikan balasan kepada kalian berdasrkan ilmuNya terhadap
perbuatan yang kalian kerjakan. Jika baik, akan dibalas dengan kebaikan; jika
buruk, maka akn dibalas dengan keburukan pula.
Dan
peliharalah dirimu dari murka Allah dan hukumanNya, karena tak ada sesuatu pun
dari amalmu yang tersembunyi bagi Allah, baik amal lahiriyah maupun bathiniyah.
Dan hati-hatilah terhadap balasan Allah terhadapmu, dengan adil, bila kamu
meninggalkan keadilan. Karena, sunnatullah pada makhlukNya telah berlaku, bahwa
meninggalkan keadilan, balasannya didunia ialah kehinaan dan kenistaan, baik
itu dilakukan oleh bangsa atau individu, sedang di akhirat ialah kesengsaraan
pada hari hisab.
Ayat
ini masih merupakan lanjutan pesan-pesan Ilahi diatas. Al-Biqa’i mengemukakan
bahwa karena sebelum ini telah ada perintah untuk berlaku adil terhadap
istri-istri, yaitu pada awal surah dan akan ada pada pertengahan surah nanti,
sedang ada diantara istri-istri itu yang non muslim (ahl kitab) karena
surat inipun telah mengizinkan untuk mengawininya, adalah sangat sesuai bila
izin tersebut disusuli dengan perintah untuk bertakwa.karena itu ayat ini
menyeru : hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi qawwamin, yakni
orang-orang yang selalu dan bersungguh-sungguh menjadi pelaksana yang sempurna
terhadap tugas-tugas kamu, terhadap wanita,dll dengan menegakkan kebenaran demi
karena Allah serta menjadi saksi dengan adil, Dan janganlah sekali-kali
kebencian kamu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,
baik terhadap keluarga istri kamu yang ahl kitab itu maupun terhadap sekalian
mereka. Berlaku adillah, terhadap siapapun walau atas dirimu sendiri karena ia,
yakni adil itu lebih dekat kepada taqwa yang sempurna daripada selain adil. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Perbedaan
redaksi boleh jadi disebabkan ayat surat an-Nisa diatas dikemukakan dalam
konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaraan
tentang kasus seorang muslim yang menuduh seorang yahudi secara tidak sah,
selanjutnya dikemukakan uraian tentang hubungan pria dan wanita sehingga yang
ingin digaris bawahi oleh ayat itu adalah pentingnya keadilan, kemudian disusul
dengan kesaksian. Karena itu, redaksinya mendahulukan kata al-qisth (adil) baru
kata syuhada’ (saksi-saksi).
Adapun
pada ayat al-Maidah ini, ia dikemukakan setelah mengingatkan
perjanjian-perjanjian dengan Allah dan RasulNya sehingga yang ingin digaris
bawahi adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian itu,
dan itulah yang dikandung oleh kata qawwamin lillah. Ada juga yang berpendapat
bahwa ayat surat an-Nisa dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil
terhadap diri, kedua orang tua dan kerabat sehingga wajar jika kata al-qisth/keadilan
yang didahulukan, sedang ayat al-Maidah diatas dikemukakan dalam konteks
permusuhan dan kebencian sehingga yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah
keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah karena hal ini yang
akan lebih mendorong untuk meninggalkan permusuhan dan kebencian.
Diatas
dinyatakan bahwa adil lebih dekat kepada taqwa. Perlu dicatat bahwa keadilan
dapat merupakan kata yang menunjuk substansi ajaran Islam. Jika ada agama yang
menjadikan kasih sebagai tuntunan tertinggi, Islam tidak demikian. Ini karena
kasih, dalam kehidupan pribadi aplagi masyarakat, dapat berdampak buruk.
Bukankah jika anda merasa kasihan kepada seorang penjahat, anda tidak
menghukumnya?adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika
seseorang memerlukan kasih, dengan berlaku adil anda dapat mencurahkan kasih
kepadanya. Jika seseorang melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi yang
berat, ketika itu kasih tidak boleh berperanan karena ia dapat menghambat
jatuhnya ketetapan hukum atasnya. Ketika itu, yang dituntut adalah adil, yakni
menjatuhkan hukuman setimpal atasnya.[10]
7.
Hukum, Petunjuk,
dan Pelajaran
Keadilan
merupakan barometer dari kebenaran, perlu dicatat bahwa keadilan dapat
merupakan kata yang menunjuk subtansi ajaran Islam. Adil adalah menempatkan
segala sesuatu pada tempatnya. Serta keharusan melaksanakan segala sesuatu demi
karena allah, karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan
permusuhan dan kebencian.
8.
Analisis Kandungan
Ayat
Saat ini, banyak
terjadi penyelesaian masalah dengan cara yang tidak adil. Hal ini terjadi
karena beberapa faktor. Salah satunya karena dari si penegak hukum sendiri
tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya. Atau dari pihak saksi yang tidak
mau mengatakan kebenaran entah karena alasan pribadi seperti benci pada pihak
yang diberi kesaksian, atau ada unsur dari luar seperti suap.
Hal tersebut
semakin merajalela di Indonesia, semakin memperlihatkan betapa lemahnya hukum
di negara ini. Dan keadilan semakin tak ada nilainya.
D.
Surat Al-Ma’arij 33-35
1.
Ayat dan Artinya
وَالَّذِينَ هُمْ
بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ .. وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ يُحَافِظُونَ .. أُولَئِكَ فِي جَنَّاتٍ مُكْرَمُونَ
“Dan
orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara
shalatnya. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan”
2.
Arti Kosa Kata Kunci
بِشَهَادَاتِهِمْ : Kesaksiannya
|
صَلاتِهِمْ :
Sholatnya
|
يُحَافِظُونَ : Memelihara
|
جَنَّاتٍ : Surga
|
مُكْرَمُونَ : Dimuliakan
|
|
3.
I’rob Kalimat
·
مَا :
I’robnya rofa’ muqaddar karena menjadi mubtada’
·
لِلَّذِينَ :
Khobarnya
·
كَفَرُوا :
Shilah dari الَّذِينَ
·
قِبَلَكَ : Dharaf Makan, yang menjadi hal dari dlomir lafadz كَفَرُوا
·
مُهْطِعِينَ
: Hal setelah Hal
·
عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ:
Shilah dari lafadz عِزِينَ
·
عِزِينَ: Jama’nya lafadz عِزَة , dan hal dari dlomir lafadz مُهْطِعِينَ
atau الَّذِينَ
4.
Munasabah
Ayat ini berhubungan dengan
Al-Baqarah ayat 283, yakni tentang larangan menyembunyikan persaksian. Dan
berhubungan dengan Al-Baqarah ayat 181, yakni tentang seseorang yang mengubah
wasiat maka ia akan berdosa. Dan ayat sebelumnya ayat 32 surat al-Ma’arij,
yaitu orang-orang
yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, maka ia akan dimuliakan di surga.
5.
Tafsir Surat Al-Ma’arij 33-35
Firman allah ta’ala وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” kepada orang
yang wajib menerimanya, baik orang dekat maupun orang yang jauh. Mereka
memberikan kesaksiannya itu di depan hakim dan mereka tidak menyembunyikannya
atau merubahnya. Pembahasan megenai kesaksian dan berbagai hukumnya sudah
dipaparkan dalam tafsir surat Al-Baqarah.
Ibnu Abbas berkata بِشَهَادَاتِهِمْ “kesaksiannya”
bahwa Allah itu Esa, tiada sekutu bagi-nya, dan Muhammad adalah hamba dan
utusan-nya. Firman Allah itu dibaca pula dengan لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ
dengan kata yang berbentuk tunggal. Qira’ah ini adalah qira’ah Ibnu Katsir dan
Ibnu Muhaisin. Dengan demikian, lafazh al amaanah adalh Isim jins di
mana amanah-amanah agama termasuk kedalamnya. Sebab syariat-syariat adalah
amanah yang dibebankan Allah kepada hamba-hamba-nya. Termasuk pula kedalamnya
amanah-amanah manusia, yaitu titipan. Semua ini sudah dijelaskan secara lengkap
dalam surat An-Nisaa.
Abbas Ad Duri membaca (Firman Allah itu) dari
Abu Amru danYa’qub dengan بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ
dengan kata yang berbentuk jamak. Sedangkan yang lain memebacanya dengan بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ
yakni kata yang berbentuk tunggal. sebab kata yang berbentuk tunggal ini pun
dapat menunaikan makna yang terkandung dalam kata yang berbentuk jamak. Dalam
hal ini biasanya masdhar biasanya tetap menggunakan bentuk tunggal,
meskipun ia disandarkan kepada jamak. Contonya firman Allah ta’ala ( ١٩)
إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ
”Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai” (Qs. Al-Luqman 19)
Al Faraa berkata, “Dalil yang menunjukkan qira’ah (yang jelas) adalah بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ yakni menggunakan kata yang berbentuk tunggal,
adalah firman Allah taala وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَ
لِلَّهِ “Dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah.” (Qs. At-Thalaaq 2).
Firman allah ta’ala وَٱلَّذِينَ
هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ يُحَافِظُونَ “Dan orang-orang yang memelihara
shalatnya.” Qatadah berkata, “Dengan wudhu, rukuk, dan sujudnya,”
Ibnu Juraij berkata, “(Maksudnya), shalat sunah.” Hal ini sudah dijelaskan
dalam surat Al-Mukminun. Dengan demikian, Ad-Dawam (tetap mengerjakan)
itu berbeda dengan al-muhaafazhah (pemeliharaan). Ad-Dawaam yang
mereka lakukan terhadap shalat mereka adalah: mereka memelihara pelaksanaanya,
tidak pernah meniggalkannya, dan tidak pernah pula tersibukkan darinya oleh
kesibukan apapun. Sementar al muhaafazhah yang mereka lakukan terhadap
shalatnya adalah: mereka menjaga kesempurnaan wudhunya dan juga waktu
shalatnya, melaksanakan rukun-rukun shalatnya, menyempurnakan shalatnya dengan
berbagai sunah dan etikanya, serta memeliharanya dari kegagalan karena
mendekati perbuatan dosa. Dengan demikian, ad-dawaam itu kembaki kepada
shalat itu sendiri, sedangkan Al-Muhafazhah kembali kepada keadaanya.
Firman allah ta’ala أُولَئِكَ
فِي جَنَّاتٍ مُكْرَمُونَ “Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan”.
Maksudnya, Allah memuliakan mereka didalam surga dengan berbagai penghormatan.[11]
6.
Hukum, Petunjuk,
dan Pelajaran
Kita diharuskan untuk menyampaikan kesaksian dari suatu kebenaran, bukan
malah menyembunyikannya atau mengubah kesaksian kita. Dan juga kita harus
melaksanakan sholat lima waktu, dan dianjurkan melaksanakan sholat-sholat
sunnah.
7.
Analisis Kandungan
Ayat
Banyak sekali
tersebar Islam KTP, mengaku Islam tapi tak menegakkan sholat lima waktu, hal
ini jelas bertentangan dengan visi ayat di atas.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 181, dijelaskan bahwa kita harus menyampaikan kesaksian sesuai
dengan apa yang kita ketahui dari kejadian yang terjadi, tanpa mengubah satu
kata pun. Karena jika kita mengubahnya, maka kita akan mendapatkan dosa.
Dalam surat
An-Nisa’ ayat 135, dijelaskan bahwa kita dapat menjadi saksi untuk diri
sendiri, orang tua, dan kerabat kita. Dan dengan dijelaskan, kita harus menjadi
saksi jika kita mengetahui suatu kejadian tanpa mengubah atau mengganti
kata-kata.
Dalam surat
Al-Maidah ayat 8, kita diseru untuk menegakkan
kebenaran itu terhadap orang lain dengan cara menyuruh mereka melakukan yang
ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, dalam rangka mencari ridha Allah.
Dalam Al-Ma’arij ayat 33-35, kita diharuskan memberikan kesaksiannya
kepada orang yang wajib menerimanya, baik orang dekat maupun orang yang jauh.
Mereka memberikan kesaksiannya itu di depan hakim dan mereka tidak
menyembunyikannya atau merubahnya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubi Syaikh Imam, Tafsir
Al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Ath-Thabari Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir, Tafsir Ath-Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
As-Suyuthi Jalaluddin, Asbabun
Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Kadir, Ahmad Rijali. 2008. Tafsir
Al-Qurthubi folume 2. Jakarta: Pustaka Azzam.
As-Syaukkani Ali Imam Muhammad, Tafsir
Fathul Qodir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar