Sabtu, 01 Juli 2017

TAFSIR AHKAM AL BAQARAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, dimana di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk bagi umat Islam di dalam menjalani kehidupan. Penjelasan ayat Al-Qur’an adakalanya masih bersifat mujmal, sehingga diperlukan penafsiran, baik secara tekstual maupun kontekstual dalam mengartikannya.
Apalagi dalam menentapkan suatu hukum kita tidak boleh sembarang dalam menetapkan hukum dengan tanpa ada mengetahui sumber hukumnya, Al-Quran merupakan sumber hukum pertama dalam menisbatkan suatu hukum. Oleh karena itu perlu adanya menelaah isi kandungan pada ayat tersebut dan juga harus mengetahui penafsiran serta harus mengetahui sebab dari turunnya ayat tersebut agar tidak terjadi kesalah pahaman. 
            Dalam makalah ini pemakalah  mengkaji beberapa ayat dari Al Qura’n, yaitu: Surat Al-Baqarah ayat 181, Surat An-Nisa’ ayat 135, Surat Al-Maidah ayat 8, Surat Al-Ma’arij ayat 33-35. Yang berkaitan dengan “Kewajiban menyampaikan berita yang benar”.

B.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 181 dan Surat An Nisa’ ayat 135?
2.      Bagaimana Tafsir Surat Al-Maidah ayat 8 dan Surat Al-Ma’arij 33-35?










BAB II
PEMBAHASAN
A.           Surat Al-Baqarah ayat 181
1.             Ayat dan Artinya
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2.             Arti Kosa Kata Kunci
بَدَّلَ         : Mengubah
سَمِعَ         : Mendengar
إِثْمُ          : Dosa

3.             I’rob Kalimat
Kalimat فَمَنْ بَدَّلَهُ  adalah kalimat klausul atau bahasa kitabnya yaitu syarat, jawabnya adalah فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ. Kata إِثْمُهُ berkharakat dhammah, karena ia berposisi sebagai mubatada’. Sedangkan khabarnya yaitu kalimat عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ.
4.             Munasabah Ayat
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ          فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ
Kalam pertama pada ayat ini, berhubungan dengan kalam yang sesudahnya. Yaitu  maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
5.             Penafsiran Ayat dengan Ayat atau Ayat dengan Hadits atau dengan Pendapat Mufassir
Dlamir Haa’ pada kata بَدَّلَهُ kembali pada apa yang diwasiatkan, begitu juga pada kata سَمِعَهُ. Kondisi seperti ini sama dengan firman Allah SWT pada ayat lain: فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya.” (Qs. Al-Baqarah ayat 275). Dan juga firman Allah SAW pada surat An-Nisa’ ayat 8: وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat.”[1]
Menurut pendapat mufassir, Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, ia berkata: Isa menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid tentang firman Allah: فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ ia berkata: wasiat.[2]
Sedangkan سَمِعَهُ kata “mendengarnya” ada dua kemungkinan, yang pertama: mungkin ia mendengar dari pembuat wasiat secara langsung. Kedua, mungkin ia mendengar dari orang yang dipercayai oleh pembuat wasiat. Dan keduanya dapat dibenarkan.
Adapun Haa’ pada kata “dosanya” kembali pada pengubahan, yakni dosa pengubahan yang kembali pada si pengubah, bukan kepada pembuat wasiat. Karena dengan membuat wasiat tersebut pembuat wasiat terhindar dari penyalahan.
Para ulama sepakat bahwa jika orang yang berwasiat mewasiatkan sesuatu yang haram atau yang dilarang atau yang tidak diperbolehkan, misalnya mewasitkan minuman keras, atau mewasiatkan hewan babi, ataupun maksiat lainnya, maka wasiat tersebut boleh diganti dan tidak boleh dilaksanakan. Seperti halnya larangan untuk melaksanakan wasiat yang melebihi dari sepertiga hartanya. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Umar.[3]
Menurut pendapat mufassir, Al Mutsanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu’awiyah bin Shalih menceritakan kepadaku dari Ali bin Abi Thalib dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ adapun orang yang berwasiat ia telah memperoleh pahala dari Allah dan bebas dari dosanya, namun jika berwasiat yang membahayakan maka tidak sah wasiatnya, sebagaimana firman Allah: غَيْرَ مُضَارٍّDengan tidak memberi madharat.” (Qs. An-Nisa’ ayat 12).
Firman Allah إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌSesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Abu ja’far berkata: sesungguhnya Allah mendengar wasiat yang kalian wasiatkan kepada orang tua dan kerabat kalian ketika kalian mewasiatkannya, adakah kalian akan berlaku adil atau aniaya. Dan Allah mengetahui apa yang kalian sembunyikan dalam diri kalian, baik yang adil maupun aniaya.[4]
6.             Hukum, Petunjuk, dan Pelajaran
Para ulama sepakat bahwa jika orang yang berwasiat mewasiatkan sesuatu yang haram atau yang dilarang atau yang tidak diperbolehkan, misalnya mewasitkan minuman keras, atau mewasiatkan hewan babi, ataupun maksiat lainnya, maka wasiat tersebut boleh diganti dan tidak boleh dilaksanakan. Seperti halnya larangan untuk melaksanakan wasiat yang melebihi dari sepertiga hartanya.
Asy Sya’bi berkata, “Allah memerintahkan kepada pada hakim tiga perkara: Hendaklah ia tidak mengikuti hawa nafsu, tidak takut kepada orang-orang, dan  orang-orang juga tidak takut kepadanya, tidak membeli ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. ”
7.             Analisis Kandungan Ayat
Fenomena dalam masyarakat, masih banyak orang yang mudah mengubah atau mengingkari kesaksiannya. Seakan mereka merasa tak ada yang mengetahui apa yang mereka perbuat dan mereka yakin hanya mereka sajalah yang mengetahui tindakannya tersebut, mereka lupa bahwa seluruh bagian-bagian tubuh manusia kelak akan bersaksi di hadapan Tuhannya, Allah swt, Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka telah kehilangan pijakan teologis di segala tindakannya, lahir, dan batin.

B.            Surat An Nisa’ ayat 135
1.             Ayat dan Artinya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.”
2.             Arti Kosa Kata Kunci
شُهَدَاءَ   : Menjadi          Saksi
تَتَّبِعُ     : Mengikuti
الْوَالِدَيْنِ  : Bapak Ibu
الْهَوَى    : Hawa Nafsu
الأقْرَبِينَ  : Kerabat

تَعْدِلُوا   :Kamu ingin menyimpang dari kebenaran
غَنِيًّا      : Kaya
تَلْوُوا    : Kamu memutar balikkan (kata-kata)
فَقِيرًا     : Miskin
تُعْرِضُوا  : Kamu enggan menjadi saksi

3.             I’rob Kalimat
Lafadz شُهَدَاءَ   merupakan bentuk jama’ dari lafadz. Lafadz itu dinashabkan karena menjadi na’at dari kata قَوَّامِينَ, dan ada yang mengatakan lafadz itu dinasabkan karena menjadi hal dari lafadz قَوَّامِينَ. Kata شُهَدَاءَ dalam bentuk ghairu munsharif sebab dalam lafadz itu terdapat alif ta’nits.


4.             Asbabun Nuzul
Ibnu Abi Hati meriwayatkan bahwa As-Suddi berkata, ayat ini turun kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika seorang kaya dan seorang fakir berselisih dan mengadukannya kepada beliau. Dan Rasulullah SAW memihak pada orang fakir karena menurut beliau orang fakir tidak mendzalimi orang yang kaya. Sedangkan Allah tetap ingin agar beliau berlaku adil kepada orang yang kaya dan fakir tersebut.[5]
5.             Munasabah Surat An Nisa ayat 135 dengan Surat Al Hujurat ayat 13  
Surat Al-Hujurat ayat 13 membahas tentang persamaan status social manusia. Dan juga tidak membedakan suku dan bangsa maupun agama. Karena kita sebagai seorang umat islam yang penuh keimanan janganlah sekali-kali kita membedakan umat-umat yang lain walaupun statusnya tidak sama.
Sedangkan surat An-Nisa’ ayat 135 membahas tentang keadilan dimana seseorang hakim dalam memutuskan suatu perkara harus adil dan tidak boleh berat sebelah. Agar kita sebagai seorang ahli hakim tegakkanlah kebenaran itu dengan benar. Yang salah tetap salah, dan yang benar tetap benar. Tanpa pilih-pilih kasih. Dan juga sebagai seorang hakim harus menegakkan keadialan dengan benar jangan sekali-kali memandang seseorang itu dengan tujuan yang lain. Seperti main suap untuk menegakkan keadilan dari orang yang bersalah.
Maka Allah tidak setuju dengan orang yang seperti itu. Sebab didalam agama tidak ada perintah untuk menegakkan kesalahandengan membenarkannya. Orang yang selalu berpaling dari koridor Allah niscaya dia akan mendapat balasan yang sesuai dengan perbuatannya.
6.             Penafsiran Ayat dengan Ayat atau Ayat dengan Hadits atau dengan Pendapat Mufassir
Allah berfirmanيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِWahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”. Maksudnya, jadikanlah penegak keadilan itu sebagai bagian dari sifat dan akhlak kamu, yaitu berlaku adil.[6]
Firman Allah كُونُوا قَوَّامِينَ kata قَوَّامِينَ disini dalam bentuk penegasan artinya hendaklah kalian selalu menegakkan keadilan, yaitu bersikap adil ketika menjadi saksi atas diri sendiri, maksudnya seseorang itu menyatakan atau menjadi saksi akan hak-hak yang harus ia penuhi pada dirinya. Kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan kedua orang tua, ini kareba berbuat baik terhadap keduanya adalah wajib, dan merupakan sesuatu yang agung. Inilah makna firman Allah قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًاPeliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (Qs. At-Tahrim ayat 6) Jika ia menjadi saksi atas keduanya atau keduanya menjasi saksi atasnya. Kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan para kaum kerabat, ini karena sifat kasih sayang itu berasal dari mereka, sehingga orang lain lebih berhak untuk menegakkan keadilan dan menjadi saksi atasnya, pembicaraan dalam surah ini mengenai menjaga hak-hak manusia yang berhubungan dengan harta.
Abu Daud meriwayatkan dari Ad-Daraqutni dari Abu Hurairah, bahwasanya ia mendengar Nabi SAW bersabda: لاَ تَجُوزُ شَهَادَةُ بَدْوِي عَلَي صَاحِبِ قَرْيَةِTidak boleh seorang badui (orang yang hidupnya berpindah-pindah) menjadi saksi terhadap orang yang tinggal di desa,” Muhammad bin Abdul Hakam berkata, “Malik menakwilkan pengertian yang ada pada hadits ini bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah persaksian yang berkenaan dengan hak-hak dan harta, sehingga persaksian yang berhubungan dengan pertumpahan darah itu tidak ditolak, dan juga terhadap permasalahan semisal, yang terdapat tuntutan dari manusia.”[7]
Firman Allah لِلَّهِ artinya (hal tersebut dilakukan) hanya untuk dzat Allah, dan karena mengharap ridha dan pahala dari-Nya. Kalimat وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْBiarpun terhadap dirimu sendiri,” walaupun menjadi saksi atas dirimu sendiri, kedua orang tua, atau sanak kerabatmu. Lakukanlah dengan adil dan harus berdasarkan kebenaran, bahwa perkataanmu itu memang benar dan tidak cenderung kepada orang yang kaya karena kekayaannya, dan tidak kepada orang miskin karena kemiskinannya lalu kamu berbuat zhalim.[8]
Firman Allah إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا Jika ia kaya atau pun miskin,” artinya kalau orang yang diminta menjadi saksi atau orang yang dipersaksikan itu kaya, maka janganlah ia dilihat karena kayanya dan janganlah ia ditakuti, namun jika ia miskin maka janganlah dilihat karena (kefakirannya) sehingga ia perlu dikasihani.  فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَاMaka Allah lebih tahu kemaslahatannya,artinya yang Allah pilih untuk keduanya dari kefakiran dan kekayaan, As-Sudi berkata, “Ada orang kaya dan orang miskin yang datang mengadu kepada Nabi SAW dan beliau cenderung membela orang yang miskin, beliau melihat bahwa orang yang miskin itu tidaklah menzhalimi orang yang kaya, sehingga turunlah ayat ini berkenaan dengan hal tersebut.”
Firman Allah فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى merupakan larangan, karena mengikuti hawa nafsu dapat membuat seseorang menjadi celaka. Allah berfirman فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِMaka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (Qs. As Shaad ayat 26). Mengikuti hawa nafsu bisa berarti bersaksi dengan tidak benar, dan juga berlaku dzalim ketika memberi putusan terhadap suatu perkara, dan lain sebagainya.[9]
Firman Allah Maksudnya adalah “Wahai para hakim, jika kamu memutarbalikkan perkataan atau enggan memberikan keputusan hukum pada salah seorang yang bertikai, maka sesungguhnya Allah mengetahui perbuatanmu.” Mereka mengarahkan maksud makna ayat kepada para hakim, sesuai dengan yang telah kami sebutkan dari hadits riwayat As-Suddi mengenai ayat tersebut, bahwa sesungguhnya ayat ini diturunkan kepada Rasulullah SAW, sesuai dengan yang telah kami sebutkan sebelumnya.

7.             Hukum, Petunjuk, dan Pelajaran
Para ulama tidak berbeda pendapat tentang keabsahan hukum-hukum yang ada pada ayat ini, bahwasannya persaksian yang dilakukan anak terhadap ayah dan ibunya adalah sah. Dan hal ini tidak mencegah anak untuk berbuat baik kepada keduanya.
8.             Analisis Kandungan Ayat
Kenyataan menunjukkan bahwa faktor keluarga dan harta sangat dapat mempengaruhi keobjektifan seseorang di dalam menghukum. Dengan faktor kedekatan, seorang hakim bisa saja menzalimi pihak lain, dan karena kekayaan seorang hakimpun dapat berlaku aniaya terhadap orang yang miskin. Atau sebaliknya karena merasa kasihan terhadap kondisi orang yang miskin seorang hakim bisa saja tidak lagi berlaku adil.
C.           Surat Al-Maidah ayat 8
1.             Ayat dan Artinya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
 “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
2.             Arti Kosa Kata
 شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ: Saksi dengan adil
لا يَجْرِمَنَّكُم: Janganlah sekali-kali       kebencianmu
أَلا تَعْدِلُوا       : Berlaku tidak adil
اعْدِلُوا         : Berlaku adillah
خَبِيرٌ            : Mengetahui secara mendetail




3.             I’rob Kalimat
Lafadz شُهَدَاءَ dinashabkan karena menjadi na’at dari kata قَوَّامِينَ, dan ada yang mengatakan lafadz itu dinasabkan karena menjadi hal dari lafadz قَوَّامِينَ.  Lafadz الْقِسْطِ dibaca jer, karena kemasukan huruf jer yaitu بِ.
4.             Asbabun Nuzul
Sebab turun ayat ini adalah berkenaan dengan diri usman bin thalhah bin abu thalhah ketika terjadi peristiwa fathu makkah. Nama asli abu thalhah ayah usman ini ialah Abdullah bin Abdul Uzza bin Usman Abdid Daar bin Qushai bin Kilab Al Quraisy Al-Atbari. Ia merupakan juru kunci (hajib) yang mulia.
Menurut Ibnu Katsir, sebab turun ayat ini adalah ketika Rasulullah SAW meminta kunci Ka’bah darinya (Usman) sewaktu penaklukan Mekah lalu menyerahkannya kembali kepadanya.
Kisah selanjutnya, Ali Bin Abu Thalib juga memohon kepada Nabi Saw agar kunci diserahkan kepadanya. Namun Nabi Muhammad SAW menyerahkan kepadanya Usman Bin Thalhah bin Abu thalhah. Begitu pula Ibnu Marduwaih meriwayatkan dari jalan Thoriq Al-Kalabi dari Abu Sholih dari Ibnu Abbas, ketika terjadi fathu mekah Rasulullah saw memanggil usman bin thalhah bin abi thalhah untuk menyerahkan kunci ka’bah. Ketika usman bin thalhah hendak menyrahkan kunci trsebut, Abbas berdiri kemudian berkata kepada Rasul agar menyerahkan kunci itu kepadanya.
Mendengar perkataan Abbas tersebut, Usman bin thalhah urung menyerahkan kunci tersebut kepada Rasulullah Saw. Lantas Rasulullah meminta kembali kepada usman ketika usman hendak menyerahkan. Abbas kembali berdiri dan berkata seperti perkataan semula. Usman pun urung menyerahkan kunci tersebut. Kejadian ini berulang sampai tiga kali. Rasulullah saw bersabda : “hai usman, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, serahkanlah kunci itu kepadaku”. Mendengar Rasulullah berkata demikian usman pun menyerahkan kunci tersebut. Setelah Rasulullah menerima kunci Rasul masuk kedalam ka’bah dan melihat gambar nabi Ibrahim tersebut Rasulullah meminta air dan membersihkan gambar tersebut. Setelah itu beliau melakukan thawaf, namun, baru sekitar satu atau dua putaran malaikat jibril turun dan menyampaikan ayat tersebut.

5.             Munasabah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ           إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Kalam pertama pada ayat ini, berhubungan dengan kalam yang terakhir. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Karena sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
6.             Penjelasan Ayat
يأيها الذين ءامنوا كونوا قومين للله
Maksudnya adalah jadilah kalian sebagai penegak kebenaran karena Allah SWT, bukan karena manusia atau mencari popularitas. Dan jadilah kalian “menjadi saksi dengan adil”. Maksudnya, secara adil dan bukan secara curang.
Dan juga tegakkanlah kebenaran itu terhadap orang lain dengan cara menyuruh mereka melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, dalam rangka mencari ridha Allah.
Dalam ash-shahihain telah ditegaskan dari Nu’man bin Basyir: “Ayahku pernah memberiku suatu pemberian. Lalu ibuku, ‘Amrah binti Rawahah, berkata: “aku tidak rela ssehingga engkau mempersaksikan pemberian itu kepada Rasulullah saw. Kemudian, ia (ayahku) mendatangi beliau dan meminta beliau menjadi saksi atas sedekahku itu. Maka, beliau SAW pun berssabda:
“apakah setiap anakmu engkau beri hadiah seperti itu juga? “tidak”, jawabnya. Maka, beliau SAW pun bersabda: “bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian!’ lebih lanjut Rasul SAW berrsabda: “sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas suatu ketidakadilan.’ Kemudian, ayahku pulang dan menarik kembali pemberian tersebut.


شهداء با لقسط
Asy-syahadah (kesaksian) disini yang dimaksud menyatakan kebenaran kepada hakim, supaya diputuskan hukum berdasarkan kebenaran itu. Atau, hakim itulah yang menyatakan kebenaran dengan memutuskan atau mengakuinya bagi yang melakukan kebenaran. Jadi, pada dasarnya ialah berlaku adil tanpa berat sebelah, baik terhadap orang yang disaksikan maupun peristiwa yang disaksikan, tak boleh berat sebelah, baik karena kerabat, harta ataupun pangkat, dan tak boleh meninggalkan keadilan, baik krena kefakiran atau kemiskinan.
Jadi, keadilan adalah neraca kebenaran. Sebab, manakala terjadi ketidakadilan pada suatu umat, apapun sebabnya, maka akan lenyap kepercayaan umum, dan tersebarlah berbagai macam kerusakan dan terpecah belahlah segala hubungan dalam masyarakat. Sejak itu, tak lama Allah pasti menimpakan atas umat itu, termasuk beberapa hambaNya yang paling dekat kepada keadilan sekalipun, tetap ikut merasakan bencana dan hukuman tuhan. Memang, begitu sunatullah, baik yang terhadap bangsa-bangsa kini maupun dahulu. Tetapi, manusia rupanya tak mau mengerti.
ولا يجر منكم شنئان قوم على ألا تعدلوا
Dan janganlah permusuhan dan kebencian kamu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk bersikap tidak adil terhadap mereka. Jadi, terhadap mereka pun kamu harus tetap memberi kesaksian sesuatu dengan hak yang patut mereka terima apabila mereka memang patut menerimanya. Juga putusilah mereka sesuai dengan kebenaran. Karena, orang mu’min mesti  mengutamakan keadilan daripada berlaku aniaya dan berat sebelah. Keadilan harus ditempatkan diatas hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan pribadi, dan diatas rasa cinta dan permusuhan, apapun sebabnya.
اعدلوا هو أقرب للتقوى
Kalimat ini merupakan penguat dari kalimat sebelumnya, karena sangat pentingnya soal keadilan untuk diperhatikan. Bahwa keadilan itu adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan tanpa pandang bulu. Karena, keadilan itulah yang lebih dekat kepada takwa kepada Allah, dan terhindar dari murkaNya, adalah termasuk dalam kategori fi’lut tafdhil, yaitu pada kedudukan ditempat yang tidak terdapat perbandingannya.sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah.
أصحب الجنة يومئذ خير مستقرا وأحسن مقيلا
“para penghuni sorga pada hari itu palig baik tempat tinggal mereka dan paling indah tempat istirahatnya.” (QS Al-Furqan:24).  Meninggalkan keadilan adalah termasuk dosa besar, karena bisa menimbulkan berbagai kerusakan hingga robeklah segala aturan dalam masyarakat, dan putuslah segala hubungan antar individu, dan menjadi teganglah pergaulan sesama mereka.
واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Maksudnya adalah Allah akan memberikan balasan kepada kalian berdasrkan ilmuNya terhadap perbuatan yang kalian kerjakan. Jika baik, akan dibalas dengan kebaikan; jika buruk, maka akn dibalas dengan keburukan pula.
Dan peliharalah dirimu dari murka Allah dan hukumanNya, karena tak ada sesuatu pun dari amalmu yang tersembunyi bagi Allah, baik amal lahiriyah maupun bathiniyah. Dan hati-hatilah terhadap balasan Allah terhadapmu, dengan adil, bila kamu meninggalkan keadilan. Karena, sunnatullah pada makhlukNya telah berlaku, bahwa meninggalkan keadilan, balasannya didunia ialah kehinaan dan kenistaan, baik itu dilakukan oleh bangsa atau individu, sedang di akhirat ialah kesengsaraan pada hari hisab. 
Ayat ini masih merupakan lanjutan pesan-pesan Ilahi diatas. Al-Biqa’i mengemukakan bahwa karena sebelum ini telah ada perintah untuk berlaku adil terhadap istri-istri, yaitu pada awal surah dan akan ada pada pertengahan surah nanti, sedang ada diantara istri-istri itu yang non muslim  (ahl kitab) karena surat inipun telah mengizinkan untuk mengawininya, adalah sangat sesuai bila izin tersebut disusuli dengan perintah untuk bertakwa.karena itu ayat ini menyeru : hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi qawwamin, yakni orang-orang yang selalu dan bersungguh-sungguh menjadi pelaksana yang sempurna terhadap tugas-tugas kamu, terhadap wanita,dll dengan menegakkan kebenaran demi karena Allah serta menjadi saksi dengan adil, Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, baik terhadap keluarga istri kamu yang ahl kitab itu maupun terhadap sekalian mereka. Berlaku adillah, terhadap siapapun walau atas dirimu sendiri karena ia, yakni adil itu lebih dekat kepada taqwa yang sempurna daripada selain adil. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Perbedaan redaksi boleh jadi disebabkan ayat surat an-Nisa diatas dikemukakan dalam konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaraan tentang kasus seorang muslim yang menuduh seorang yahudi secara tidak sah, selanjutnya dikemukakan uraian tentang hubungan pria dan wanita sehingga yang ingin digaris bawahi oleh ayat itu adalah pentingnya keadilan, kemudian disusul dengan kesaksian. Karena itu, redaksinya mendahulukan kata al-qisth (adil) baru kata syuhada’ (saksi-saksi).
Adapun pada ayat al-Maidah ini, ia dikemukakan setelah mengingatkan perjanjian-perjanjian dengan Allah dan RasulNya sehingga yang ingin digaris bawahi adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian itu, dan itulah yang dikandung oleh kata qawwamin lillah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat surat an-Nisa dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri, kedua orang tua dan kerabat sehingga wajar jika kata al-qisth/keadilan yang didahulukan, sedang ayat al-Maidah diatas dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian sehingga yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan permusuhan dan kebencian.
Diatas dinyatakan bahwa adil lebih dekat kepada taqwa. Perlu dicatat bahwa keadilan dapat merupakan kata yang menunjuk substansi ajaran Islam. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai tuntunan tertinggi, Islam tidak demikian. Ini karena kasih, dalam kehidupan pribadi aplagi masyarakat, dapat berdampak buruk. Bukankah jika anda merasa kasihan kepada seorang penjahat, anda tidak menghukumnya?adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika seseorang memerlukan kasih, dengan berlaku adil anda dapat mencurahkan kasih kepadanya. Jika seseorang melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi yang berat, ketika itu kasih tidak boleh berperanan karena ia dapat menghambat jatuhnya ketetapan hukum atasnya. Ketika itu, yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan hukuman setimpal atasnya.[10]
7.             Hukum, Petunjuk, dan Pelajaran
Keadilan merupakan barometer dari kebenaran, perlu dicatat bahwa keadilan dapat merupakan kata yang menunjuk subtansi ajaran Islam. Adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Serta keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena allah, karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan permusuhan dan kebencian.


8.             Analisis Kandungan Ayat
Saat ini, banyak terjadi penyelesaian masalah dengan cara yang tidak adil. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya karena dari si penegak hukum sendiri tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya. Atau dari pihak saksi yang tidak mau mengatakan kebenaran entah karena alasan pribadi seperti benci pada pihak yang diberi kesaksian, atau ada unsur dari luar seperti suap.
Hal tersebut semakin merajalela di Indonesia, semakin memperlihatkan betapa lemahnya hukum di negara ini. Dan keadilan semakin tak ada nilainya.
D.           Surat Al-Ma’arij 33-35
1.             Ayat dan Artinya
وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ .. وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ يُحَافِظُونَ .. أُولَئِكَ فِي جَنَّاتٍ مُكْرَمُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan”
2.             Arti Kosa Kata Kunci
بِشَهَادَاتِهِمْ     : Kesaksiannya
صَلاتِهِمْ    : Sholatnya
يُحَافِظُونَ       : Memelihara
جَنَّاتٍ     : Surga
مُكْرَمُونَ       : Dimuliakan


3.             I’rob Kalimat
·                مَا        : I’robnya rofa’ muqaddar karena menjadi mubtada’
·                لِلَّذِينَ    : Khobarnya
·              كَفَرُوا    : Shilah dari الَّذِينَ
·                قِبَلَكَ   : Dharaf Makan, yang menjadi hal dari dlomir lafadz  كَفَرُوا
·                مُهْطِعِينَ : Hal setelah Hal
·                عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ: Shilah dari lafadz عِزِينَ
·                عِزِينَ: Jama’nya lafadz عِزَة , dan hal dari dlomir lafadz مُهْطِعِينَ atau الَّذِينَ

4.             Munasabah
Ayat ini berhubungan dengan Al-Baqarah ayat 283, yakni tentang larangan menyembunyikan persaksian. Dan berhubungan dengan Al-Baqarah ayat 181, yakni tentang seseorang yang mengubah wasiat maka ia akan berdosa. Dan ayat sebelumnya ayat 32 surat al-Ma’arij, yaitu orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, maka ia akan dimuliakan di surga.
5.             Tafsir Surat Al-Ma’arij 33-35
Firman allah ta’ala وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” kepada orang yang wajib menerimanya, baik orang dekat maupun orang yang jauh. Mereka memberikan kesaksiannya itu di depan hakim dan mereka tidak menyembunyikannya atau merubahnya. Pembahasan megenai kesaksian dan berbagai hukumnya sudah dipaparkan dalam tafsir surat Al-Baqarah.
Ibnu Abbas berkata  بِشَهَادَاتِهِمْkesaksiannya” bahwa Allah itu Esa, tiada sekutu bagi-nya, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-nya. Firman Allah itu dibaca pula dengan لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ dengan kata yang berbentuk tunggal. Qira’ah ini adalah qira’ah Ibnu Katsir dan Ibnu Muhaisin. Dengan demikian, lafazh al amaanah adalh Isim jins di mana amanah-amanah agama termasuk kedalamnya. Sebab syariat-syariat adalah amanah yang dibebankan Allah kepada hamba-hamba-nya. Termasuk pula kedalamnya amanah-amanah manusia, yaitu titipan. Semua ini sudah dijelaskan secara lengkap dalam surat An-Nisaa.
Abbas Ad Duri membaca (Firman Allah itu) dari Abu Amru danYa’qub dengan  بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ dengan kata yang berbentuk jamak. Sedangkan yang lain memebacanya dengan بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ yakni kata yang berbentuk tunggal. sebab kata yang berbentuk tunggal ini pun dapat menunaikan makna yang terkandung dalam kata yang berbentuk jamak. Dalam hal ini biasanya masdhar biasanya tetap menggunakan bentuk tunggal, meskipun ia disandarkan kepada jamak. Contonya firman Allah ta’ala ( ١٩) إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ   ”Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”      (Qs. Al-Luqman 19) Al Faraa berkata, “Dalil yang menunjukkan qira’ah (yang jelas) adalah  بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ yakni menggunakan kata yang berbentuk tunggal, adalah firman Allah taala وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِ Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Qs. At-Thalaaq 2).
Firman allah ta’ala وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ يُحَافِظُونَ  Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” Qatadah berkata, “Dengan wudhu, rukuk, dan sujudnya,” Ibnu Juraij berkata, “(Maksudnya), shalat sunah.” Hal ini sudah dijelaskan dalam surat Al-Mukminun. Dengan demikian, Ad-Dawam (tetap mengerjakan) itu berbeda dengan al-muhaafazhah (pemeliharaan). Ad-Dawaam yang mereka lakukan terhadap shalat mereka adalah: mereka memelihara pelaksanaanya, tidak pernah meniggalkannya, dan tidak pernah pula tersibukkan darinya oleh kesibukan apapun. Sementar al muhaafazhah yang mereka lakukan terhadap shalatnya adalah: mereka menjaga kesempurnaan wudhunya dan juga waktu shalatnya, melaksanakan rukun-rukun shalatnya, menyempurnakan shalatnya dengan berbagai sunah dan etikanya, serta memeliharanya dari kegagalan karena mendekati perbuatan dosa. Dengan demikian, ad-dawaam itu kembaki kepada shalat itu sendiri, sedangkan Al-Muhafazhah kembali kepada keadaanya. Firman allah ta’ala أُولَئِكَ فِي جَنَّاتٍ مُكْرَمُونَMereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan”. Maksudnya, Allah memuliakan mereka didalam surga dengan berbagai penghormatan.[11]
6.             Hukum, Petunjuk, dan Pelajaran
Kita diharuskan untuk menyampaikan kesaksian dari suatu kebenaran, bukan malah menyembunyikannya atau mengubah kesaksian kita. Dan juga kita harus melaksanakan sholat lima waktu, dan dianjurkan melaksanakan sholat-sholat sunnah.
7.             Analisis Kandungan Ayat
Banyak sekali tersebar Islam KTP, mengaku Islam tapi tak menegakkan sholat lima waktu, hal ini jelas bertentangan dengan visi ayat di atas.


BAB III
KESIMPULAN

Dalam surat Al-Baqarah ayat 181, dijelaskan bahwa kita harus menyampaikan kesaksian sesuai dengan apa yang kita ketahui dari kejadian yang terjadi, tanpa mengubah satu kata pun. Karena jika kita mengubahnya, maka kita akan mendapatkan dosa.
Dalam surat An-Nisa’ ayat 135, dijelaskan bahwa kita dapat menjadi saksi untuk diri sendiri, orang tua, dan kerabat kita. Dan dengan dijelaskan, kita harus menjadi saksi jika kita mengetahui suatu kejadian tanpa mengubah atau mengganti kata-kata.
Dalam surat Al-Maidah ayat 8, kita diseru untuk menegakkan kebenaran itu terhadap orang lain dengan cara menyuruh mereka melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, dalam rangka mencari ridha Allah.
Dalam Al-Ma’arij ayat 33-35, kita diharuskan memberikan kesaksiannya kepada orang yang wajib menerimanya, baik orang dekat maupun orang yang jauh. Mereka memberikan kesaksiannya itu di depan hakim dan mereka tidak menyembunyikannya atau merubahnya












DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurthubi Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Ath-Thabari Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir Ath-Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
As-Suyuthi Jalaluddin, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Kadir, Ahmad Rijali. 2008. Tafsir Al-Qurthubi folume 2. Jakarta: Pustaka Azzam.
As-Syaukkani Ali Imam Muhammad, Tafsir Fathul Qodir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2012.




[1] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal 616.
[2] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hal 62.
[3] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, hal 618.
[4] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, 64.
[5] Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal 206.
[6] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, hal 893.
[7] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, hal 977.
[8] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, 893.
[9] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, hal 979.
[10] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, 584-552
[11] As-Syaukkani Ali imam Muhammad, Tafsir Fathul Qodir. 606-608

Tidak ada komentar:

Posting Komentar