Sabtu, 01 Juli 2017

Sejarah Peradilan Islam zaman Turki Utsmani

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Sekilas tentang sejarah Turki Utsmani
Nama kerajaan Turki Utsmani diambil dan dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang pertama, Sultan Utsman bin Sauji bin Orthogol bin Sulaiman Syah bin Kia Alp.[1] Garis keturunan Bani Utsmani bersambung dengan kabilah Turmaniyah yang mendiami daerah Kurdistan. Suku Turki adalah bangsa yang hidup secara nomaden. Ekses dari agresi bangsa Mongol yang dipimpin Jengis Khan ke Irak dan Asia Kecil, kakek dari Utsman, Sulaiman, hijrah bersama kabilahnya. Mereka bermigrasi sampai pesisir Laut Tengah di Anatolia. Mereka hidup berdampingan dengan bangsa Arab Muslim yang mendiami daerah Selatan Anatolia. Interaksi yang harmonis terjalin di antara mereka, sehingga lambat laun mereka pun mulai memeluk agama Islam.
Di bawah komando Orthogol, suku Turki yang mendiami Anatolia, lebih kurang 400 keluarga, mengabdi dan bersekutu dengan pasukan Saljuk Rum. Mereka membantu Sultan Alaudin II yang sedang berperang melawan Byzantium. Alaudin II mampu mengalahkan Byzantium atas  bantuan Orthogol dan pasukannya. Sultan pun memberinya hadiah berupa sebidang tanah atas yang berbatasan dengan Byzantium. Suku Turki terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibukota. Mereka juga diberikan wewenang untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Byzantium.
Pada 699 H/1299 M Orthogol meninggal dunia. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya, Utsman. Utsman inilah yang dianggap sebagai cikal bakal dari berdirinya Turki Utsmani. Jasanya kepada Saljuk Rum begitu besar dengan menguasai benteng-benteng Byzantium.
Pada 1300 M Sultan Alaudin II terbunuh oleh tentara Mongol yang menyerang Saljuk Rum. Kerajaan Saljuk terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Utsman pun mendeklarasikan dirinya sebagai sultan yang berdaulat penuh. Dengan dukungan militer yang kuat menjadi benteng bagi kerajaan-kerajaan kecil dari agresi bangsa Mongol. Secara tidak langsung mereka mengakui atas kedaulatan Utsman sebagai penguasa tertinggi.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya Turki Utsmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Tidak kurang dari 37 sultan yang memimpin sejak pertama berdirinya tahun 1299 M hingga 1922 M. Bahkan kekuasaannya terbentang luas, meliputi dataran Eropa, Mesir, Afrika Utara, Asia hingga Persia, lautan Hindia hingga Laut Hitam. Tiga benua menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Utsmani.
B.     Peradilan Turki Utsmani
Kerajaan Turki Utsmani pada masa awal kekuasaannya tidak meganut salah satu azhab. Pada fase berikutnya penguasa Turki Utsmani mengundangkan mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi dalam hal fatwa dan peradilan.
Perkembangan hukum Islam pada masa Dinasti Utsmani, sejak Sultan Utsman I bin Orthogol hingga meninggalnya Salim I bin Bayazid II, belum terkodifikasi dan tersistemasikan dengan sempurna. Oleh sebab itulah pemerintahan Utsmani, pada masa Sultan Sulaiman I bin Salim I, berupanya untuk melakukan terobosan dalam bidang hukum, yaitu dengan mengkodifikasikannya.
Cikal bakal kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari kepemimpinan Sulaiman  Al-Qanuni. Keberhasilan ekspedisi dan pengembangan dakwah hingga ke dataran Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman  Al-Qanuni berkeinginan untuk menghimpun hukum Islam serta memberlakukannya menjadi hukum positif yang berlaku di semua wilayah kekuasaan Turki.
Pada awal abad ke-16 suasana kehidupan beragama di Turki, dipengaruhi oleh ulama-ulama mazhab. Dalam penerapan hukum, rakyat Turki merujuk kepada mazhab Hanafi dan menjadi mazhab resmi negaranya.
Sistem pemerintahan dan sistem administrasi peradilan diselenggarakan berdasarkan syariat Islam. Unit peradilan umum bekerja sama dengan qadha’ yang merupakan bagian dari unit peradilan agama. Di setiap unit kerja lembaga peradilan khususnya peradilan agama, ditempatkan seorang komando polisi yang berada di bawah komando qadha’, ia disebut juga subashi.
Pelaksanaan ibadah pada masa Sulaiman Al-Qanuni begitu kental terasa. Ia mewajibkan rakyatnya yang muslim untuk menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Bagi yang tidak menjalankannya, maka akan dikenai denda dan sanksi badan. Ia juga berhasil menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Turki.
Kesuksesan Sulaiman Al-Qanuni tidak terlepas dari peran para pembantunya. Terutama ketika jabatan mufti dipegang oleh Abdul Su’ud. Ia yang membantu Sulaiman Al-Qanuni untuk membuat undang-undang yang memuat  hukum dan administrasi untuk diberlakukan di wilayah kekuasaan Turki yang sesuai dengan Syariat Islam. Ia berusaha untuk melakukan Islamisasi hukum-hukum yang diadopsi dari Eropa, meskipun apa yang ia lakukan belum maksimal. Kodifikasi hukum yang diprakarsai oleh Sulaiman Al-Qanuni tidak maksimal, dikarenakan berbenturan dengan kendala di lapangan, antara lain.
1.      Sumber Tsayri’ Islam. Ada kekhawatiran dari para mujtahid dalam menginterpretasikan sumber tasyri’. Jika hasil interpretasi tersebut salah, tidak sesuai dengan tuntutan syar’i. Inilah yang menjadi penghalang untuk mengodifikasikan hukum.
2.      Kebebasan berijtihad. Berijtihad bagi yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid adalah sebuah keniscayaan. Jika hasil ijtihadnya telah dikodifikasikan berarti tidak lagi menerima ijtihad lain padahal perubahan hukum mengikuti perubahan zaman.
Metode yang digunakan dalam upaya mengodifikasikan hukum dilakukan secara bertahap, yaitu:
1.                  Menetapkan madzhab resmi bagi negara. Ini mulai dilakukan oleh Sultan Salim I, yang mengundangkan mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi bagi negara dan harus diikuti dalam memutuskan perkara dan berfatwa.
2.                  Penyusunan satu pendapat mazhab. Setelah mempersatukan mazhab untuk semua wilayah di Utsmani. Langkah berikutnya adalah penyusunan suatu mazhab yang berlaku di Turki Utsmani. Upaya penyusunan undang-undang perdata Utsmani yang lebih dikenal dengan Majallah Al-Ahkam Al-‘Adhliyah.
3.                  Mengkompilasikan hukum Islam dari mazhab yang berbeda. Selain berafiliasi kepada mazhab Hanafi dalam penyusunan undang-undang yang berlaku di Turki Utsmani, juga mengadopsi mazhab lain yang lebih relevan dengan kondisi saat itu.
4.                  Mengadopsi perundang-undangan modern. Tahap terakhir dari upaya penyusunan undang-undang di Turki Utsmani adalah mengadopsi perundang-undangan modern yang sesuai dengan syariat Islam, seperti hukum perdata, perdagangan, dan pidana.
C.       Sebelum Tanzimat
Kerajaan Turki Utsmani dipimpin oleh seorang sultan yang memiliki kekuasaan temporal atau duniawi dan kekuasaan spiritual. Selaku penguasa duniawi digunakan jabatan “sultan” dan sebagai kepala rohani umat Islam digunakan gelar “khalifah”.[3] Dengan demikian, raja-raja Utsmani memiliki dua bentuk kekuasaan, memerintah negara dan kekuasaan mensyiarkan dan membela agama Islam. Aka tetapi, tidak dijumpai dalam beberapa literatur, sejak kapan kedua jabatan itu disematkan dan disandang oleh penguasa Utsmani.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan itu, sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi, sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak punya hak suara dalam pemerintahan, mereka hanya menjalankan tugas atas perintah sultan. Ketika sultan berhalangan atau bepergian ia digantikan oleh sadrazam dalam menjalankan pemerintahannya.
Syaikh al-Islam yang mengurusi bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar-al-Rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Utsmaniyah bagian eropa, beliau membawahi qadhi-qadhi wilayah Utsmaniyah bagian Asia dan Mesir.
Syaikh al-Islam adalah seorang pejabat tinggi negara. Selain sebagai pengawas atas pemberlakuan hukum islam, ia juga mengawasi kinerja para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Demikian juga jika ada keputusan srategis yang akan diambil oleh pihak penguasa Utsmani, sultan akan berkonsultasi dengan Syaikh al-Islam dan meminta pertimbangan, apakah keputusannya bertentangan dengan syari’at Islam atau tidak.
Adapun bentuk-bentuk peradilan pada masa ini antara lain:
a.       Al-Juz’iyat (mahkamah biasa atau rendah). Wewenangnya adalah menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
b.      Mahkamah al-Isti’naf  (mahkamah banding). Wewenangnya adalah meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
c.       Mahkamah al-Tamyiz au al-Naqd wa al-Ibram (mahkamah tinggi).wewenangnya adalah mencatat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
d.      Mahkamah al-Isti’naf  al-Ulya (mahkamah agung). Wewenangnya ini langsung dibawah pengawasan sultan.
Walaupun sudah ada lembaga peradilan pada masa ini. Namun dalam praktiknya belum berjalan secara maksimal, karena intervensi pihak pemerintah begitu kuat. Tidak hanya itu, sistem peradilan pun dikuasai oelh kroni-kroni dan pejabat pemerintah, belum tampak pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
D.      Masa tanzimat
Menurut bahasa tanzimat berasal dari bahasa nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhiman yang bermakna mengatur, menyusun, mensistematikan, merencanakan dan menginformasikan. Tanzimat dalam bahasa Turki dikenal dengan tanzimat al-Khairiye, adalah gerakan pembaharuan di Turki Utsmani yang diperkenalkan dalam sistem birokrasi dan pemerintah yang melingkupi bidang huum, administrasi, pendidikan, keungan, perdagangan, an lain-lain.
Pembaharuan ini dipelopori oleh Raja Utsmani,  sultan Mahmud II pada abad ke-19. Reformasi yang cukup mendasar dalam bidang pemerintahan adalah dengan menggabungkan dua kekuasaan yang dipegang seorang sultan: kekuasaan sebagai pemimpun duniawi dan sebagai pemimpin spiritual kekuasaan yudikatif yang dipegang oleh sadrazam dialihkan kepada syaikh al-Islam.
syaikh al-Islam diberiakn wewenagng untuk mengurusi permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan syari’at diatur oleh dewan perancang hukum. Hukum ini diadopsi dari negara-negara Eropa. Diantara hukum yang diadipsi adalah al-Nizam al-Qadha al-Madani (undang-undang peradilan perdata).
Dengan diterapkannya undang-undang tersebut, maka muncullah mahkamah al-nizhamiyah yang terdiri atas qadha al-madani (peradilan perdata) dan qadha syar’i (peradilan agama). Dikotomi lembaga peradilan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia.
Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya piagam Gulhane (Khatt-I syarif Gulhane ) pada 3 november 1839 M, kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya piagam Humayun pada tahun 1856 M. Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-186 M) putra Sultan Mahmud II.
Piagam Gulhane berisikan beberapa bentuk perubahan pada masa Turki Utsmai, yaitu:
1.      Terjadinya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2.      Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3.      Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas militer.
Adapun isi pokok dari pada piagam Gulhane adalah sebabai berikut:
1.      Tertuduh agar diadili secara terbuka dan hukuman mati agar tidak dilaksanakan sebelum putusan dari pengadilan
2.      Larangan terhadap pelanggaran terhadap seseorang.
3.      Jaminan terhadap hak milik dan kebebasan menggunakan hak milik itu bagi si pemilik.
4.      Terpidana masih mempunyai hak waris, dan harta tidak boleh disita.
5.      Pegawai kerajaan digaji sesuai dengan tugas dan jabatannya.
Atas dasar piagam ini, maka terjadi bebeapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakatan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang ukum perdata oleh Majlis al-Ahkam al-Adliysh dan hukum pidana. Sedang dibidang pemeintahan adanya sistem musyawarah dan dibidang pendidikan, adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama.
Selanjutnya pada tahun 1856 M Sultan Abdul Majid mengumumkan berlakunya piagam Humayun yang bertujuan untuk memperkuat piagam Gulhane. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya undang-udang dusturiyah. Sehungga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah Agung yang merupakan embaga yang diberi wewenang untuk memecar para qadhi yang melekukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai ketetapan.[4]
E.       Pasca tanzimat
Pada akhir periode Turki Utsmani, persoalan paradilan semakin banyak dan pelik. Sumber hukum yang dipegang pun tidak hanya sebatas pada syari’at Islam, tetapi diambil dari hukum Barat (Eropa). Hal ini diakibatkan adanya penetrasi Eropa terhadap dunia Islam yang diwakili oleh kerajaan Utsmani, sehingga memunculkn lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:
a.          Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, peradilan untuk suatu Kelompok (agama). Sumbernya dari agama masing-masing.
b.        Qadha al-Qanshuli, peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang orang asing tersebut.
c.         Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari undang-undang Eropa.
d.        Qadha Mahkamah al-Huquq, mengadili perkara perdata.
e.         Majlis al-Syar’i al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga sumbernya fiqh Islam.
Dalam lembaga peradilan pun sudah banyak perubahan. Pada masa itu sudah ada mahkamah biasa , banding dan mahkamah agung. Dengan demikian qadha pada masa ini sudah bergam. Dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai pada periode sebelum dan sesudah tanzimat.
Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari cendekiawan Islam kerajaan Utsmani. Kedua piagam yang dikeluarkan kerajaan Utsmani sebagai dasar pembaharuan tanzimat menjunjung tinggi syari’at, namun dalam praktiknya banyak mengadopsi hukum Barat, bahkan dilanggarnya. Kritik juga ditujukan kepada tokoh-tokoh tanzimat yang pro Barat, yang memungkinkan intervensi Barat dalam permasalahan intrn kerajaan Utsmani. Pada gilirannya Turki Utsmani akan mengalami kehancuran, baik secara ekonomi maupun kekuasaan.
Mustafa Kemal al-Taturk adalah tokoh utama gerakan nasionalisme. Ide pembaharuan banyak depengaruhi oleh Barat.  Dampak nyata dari pemikiran politik keagamaan.
F.      Kodifikasi Hukum
Tindak lanjut dari upayamengodifikasi hukum pada masa Turki Utsmani dilatarbelakangi oleh majunya kebudayaan Islam, pesatnya ilmu pengetahuan yang melahirkan ilmuan dan imam-imam madzhab yang tersebar diberbagai daerah. Pada gilirannya memunculkan ta’asub bi al-madzhab, melemahnya upaya berijtihad, dan stagnan dalam berijtihad. Disamping itu, juga perbedaan dalam menetapkan hukum karena madzhab yang digunakan berbeda, agar tidak terjadi perbedaan status hukum pada permasalahan yang sama di lembaga peradilan.
Pemerintah Turki Utsmani memerintahkan untuk membentuk panitia yang bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa yang terjadi berkenaan dengan hukum muamalat. Penetapannya berpegang pada madzhab Hanafi dengan tidak mengabaikan pendapat madzhab-madzhab lain yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini. Maka ditunjuklah tujuh ulama’ fiqh yang membuat undang-undang perdata Islam, yang tidak mengandung ikhtilaf, memuat pendapat yang lebi rajih dan mudah untuk dipelajari. Ulama ini merampungkan tugasnya selama tujuh tahun. Dengan melahirka peraturan “majallah al-Ahkam al-Adhiyah. Diundangkan pada 26 sya’ban 1293 H, dan memerintahkan semua pengadilan di wilayah kekuasaan Turki Utsmani untuk melaksanakannya.
Peraturan undang-undang ini memuat 1851 pasal yang terbagi kepada mukaddimah dan 16 kiab. Mukadimah berisi tentang definisi ilmu fiqh dan pembagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqiyah. Bab-bab mu’amalah yang dibedakan pada setiap babnya dan terdiri 16mkitab.
Dengan dikeluarkannya hukum pemerintah Turki Usmani, maka undang-undamg tersebut menjadi pegangan bagi para hakim di pengadilan-pengadilan di wilayah kekuasaan Usmani. Kitab undang-undang hukum perdata umum (positif) ini adalah yang pertama diadopsi dari ketentuan hukum Islam, dan berasal dari madzhab Hanafi disamping pendapat lain yang lebih cocok dengan kondisi saat itu.[5]

























BAB III
KESIMPULAN
Turki Utsmani muncul setelah hancurnya kerajaan Bani Abbasiyyah dengan ditandainya pembantaian terhadap khalifah Abbasiyyah akibat serangan dari Khulagu Khan dan menewaskan kurang lebih 1.6000.000 penduduk sipil yang tidak berdaya.
Lembaga peradilan pada masa Turki Utsmani dibagi menjadi tiga periode:
1.      Masa sebelum tanzimat
a.       Mahkamah biasa atau rendah. Wewenangnya adalah menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
b.      Mahkamah banding. Wewenangnya adalah meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
c.       Mahkamah tinggi. Wewenangnya adalah mencatat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
d.      Mahkamah agung. Wewenangnya ini langsung dibawah pengawasan sultan.
2.      Masa tanzimat
a.       Peradilan perdata.
b.      Peradilan agama.
3.       setelah tanzimat.
a.       Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, peradilan untuk suatu Kelompok (agama). Sumbernya dari agama masing-masing.
b.      Qadha al-Qanshuli, peradilan untuk warga negara asing dengan sumberundang-undang orang asing tersebut.
c.       Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari undang-undang Eropa.
d.      Qadha Mahkamah al-Huquq, mengadili perkara perdata.
e.       Majlis al-Syar’i al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah
keluarga sumbernya fiqh Islam
DAFTAR PUSTAKA

Supriadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Syafiq A, Mugni, Sejarah Kebudayaan Islam Turki, Jakarta: Logos, 1997
Nasution, Harun, Pembaharun Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Koto, Alaiddin,  Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012




[1] Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 248
[2] Syafiq A. Mugni, Sejarah Kebudayaan Islam Turki, (Jakarta: Logos, 1997), 54
[3] Harun Nasution, Pembaharun Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 92
[5] Prof. Dr. Alaiddin Koto, M.A, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), 154-159

3 komentar:

  1. Mohon ijin shearing Bu ulfah rudiyah.

    BalasHapus
  2. Mohon ijin shearing Bu ulfah rudiyah.

    BalasHapus
  3. Menurut ibu, pengaruh tanzimat tsb pada peradilan islam islam bagaimana?

    BalasHapus