BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas tentang sejarah Turki
Utsmani
Nama kerajaan
Turki Utsmani diambil dan dinisbatkan kepada nenek moyang mereka yang pertama,
Sultan Utsman bin Sauji bin Orthogol bin Sulaiman Syah bin Kia Alp.[1]
Garis keturunan Bani Utsmani bersambung dengan kabilah Turmaniyah yang mendiami
daerah Kurdistan. Suku Turki adalah bangsa yang hidup secara nomaden. Ekses
dari agresi bangsa Mongol yang dipimpin Jengis Khan ke Irak dan Asia Kecil,
kakek dari Utsman, Sulaiman, hijrah bersama kabilahnya. Mereka bermigrasi
sampai pesisir Laut Tengah di Anatolia. Mereka hidup berdampingan dengan bangsa
Arab Muslim yang mendiami daerah Selatan Anatolia. Interaksi yang harmonis
terjalin di antara mereka, sehingga lambat laun mereka pun mulai memeluk agama
Islam.
Di bawah
komando Orthogol, suku Turki yang mendiami Anatolia, lebih kurang 400 keluarga,
mengabdi dan bersekutu dengan pasukan Saljuk Rum. Mereka membantu Sultan
Alaudin II yang sedang berperang melawan Byzantium. Alaudin II mampu mengalahkan
Byzantium atas bantuan Orthogol dan
pasukannya. Sultan pun memberinya hadiah berupa sebidang tanah atas yang
berbatasan dengan Byzantium. Suku Turki terus membina wilayah barunya dan
memilih kota Syukud sebagai ibukota. Mereka juga diberikan wewenang untuk
menaklukkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Byzantium.
Pada 699
H/1299 M Orthogol meninggal dunia. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh putranya,
Utsman. Utsman inilah yang dianggap sebagai cikal bakal dari berdirinya Turki
Utsmani. Jasanya kepada Saljuk Rum begitu besar dengan menguasai
benteng-benteng Byzantium.
Pada 1300 M
Sultan Alaudin II terbunuh oleh tentara Mongol yang menyerang Saljuk Rum.
Kerajaan Saljuk terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Utsman pun mendeklarasikan dirinya sebagai sultan yang berdaulat penuh. Dengan
dukungan militer yang kuat menjadi benteng bagi kerajaan-kerajaan kecil dari
agresi bangsa Mongol. Secara tidak langsung mereka mengakui atas kedaulatan Utsman
sebagai penguasa tertinggi.[2]
Dalam
perkembangan selanjutnya Turki Utsmani melewati beberapa periode kepemimpinan.
Tidak kurang dari 37 sultan yang memimpin sejak pertama berdirinya tahun 1299 M
hingga 1922 M. Bahkan kekuasaannya terbentang luas, meliputi dataran Eropa,
Mesir, Afrika Utara, Asia hingga Persia, lautan Hindia hingga Laut Hitam. Tiga
benua menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Utsmani.
B.
Peradilan Turki Utsmani
Kerajaan Turki
Utsmani pada masa awal kekuasaannya tidak meganut salah satu azhab. Pada fase
berikutnya penguasa Turki Utsmani mengundangkan mazhab Hanafi sebagai mazhab
resmi dalam hal fatwa dan peradilan.
Perkembangan
hukum Islam pada masa Dinasti Utsmani, sejak Sultan Utsman I bin Orthogol
hingga meninggalnya Salim I bin Bayazid II, belum terkodifikasi dan
tersistemasikan dengan sempurna. Oleh sebab itulah pemerintahan Utsmani, pada
masa Sultan Sulaiman I bin Salim I, berupanya untuk melakukan terobosan dalam
bidang hukum, yaitu dengan mengkodifikasikannya.
Cikal bakal
kodifikasi dan kebangkitan hukum Islam bermula dari kepemimpinan Sulaiman Al-Qanuni. Keberhasilan ekspedisi dan
pengembangan dakwah hingga ke dataran Eropa juga diikuti dengan keinginan untuk
menegakkan syariat Islam di wilayah kekuasaannya. Sulaiman Al-Qanuni berkeinginan untuk menghimpun hukum
Islam serta memberlakukannya menjadi hukum positif yang berlaku di semua
wilayah kekuasaan Turki.
Pada awal abad
ke-16 suasana kehidupan beragama di Turki, dipengaruhi oleh ulama-ulama mazhab.
Dalam penerapan hukum, rakyat Turki merujuk kepada mazhab Hanafi dan menjadi
mazhab resmi negaranya.
Sistem
pemerintahan dan sistem administrasi peradilan diselenggarakan berdasarkan syariat
Islam. Unit peradilan umum bekerja sama dengan qadha’ yang merupakan bagian
dari unit peradilan agama. Di setiap unit kerja lembaga peradilan khususnya
peradilan agama, ditempatkan seorang komando polisi yang berada di bawah
komando qadha’, ia disebut juga subashi.
Pelaksanaan
ibadah pada masa Sulaiman Al-Qanuni begitu kental terasa. Ia mewajibkan
rakyatnya yang muslim untuk menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa pada
bulan Ramadhan. Bagi yang tidak menjalankannya, maka akan dikenai denda dan sanksi
badan. Ia juga berhasil menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Turki.
Kesuksesan
Sulaiman Al-Qanuni tidak terlepas dari peran para pembantunya. Terutama ketika
jabatan mufti dipegang oleh Abdul Su’ud. Ia yang membantu Sulaiman Al-Qanuni
untuk membuat undang-undang yang memuat
hukum dan administrasi untuk diberlakukan di wilayah kekuasaan Turki
yang sesuai dengan Syariat Islam. Ia berusaha untuk melakukan Islamisasi
hukum-hukum yang diadopsi dari Eropa, meskipun apa yang ia lakukan belum
maksimal. Kodifikasi hukum yang diprakarsai oleh Sulaiman Al-Qanuni tidak
maksimal, dikarenakan berbenturan dengan kendala di lapangan, antara lain.
1.
Sumber Tsayri’ Islam. Ada
kekhawatiran dari para mujtahid dalam menginterpretasikan sumber tasyri’. Jika
hasil interpretasi tersebut salah, tidak sesuai dengan tuntutan syar’i. Inilah
yang menjadi penghalang untuk mengodifikasikan hukum.
2.
Kebebasan berijtihad. Berijtihad
bagi yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid adalah sebuah keniscayaan.
Jika hasil ijtihadnya telah dikodifikasikan berarti tidak lagi menerima ijtihad
lain padahal perubahan hukum mengikuti perubahan zaman.
Metode yang digunakan dalam upaya
mengodifikasikan hukum dilakukan secara bertahap, yaitu:
1.
Menetapkan madzhab resmi bagi
negara. Ini mulai dilakukan oleh Sultan Salim I, yang mengundangkan mazhab
Hanafi sebagai mazhab resmi bagi negara dan harus diikuti dalam memutuskan
perkara dan berfatwa.
2.
Penyusunan satu pendapat mazhab.
Setelah mempersatukan mazhab untuk semua wilayah di Utsmani. Langkah berikutnya
adalah penyusunan suatu mazhab yang berlaku di Turki Utsmani. Upaya penyusunan
undang-undang perdata Utsmani yang lebih dikenal dengan Majallah Al-Ahkam
Al-‘Adhliyah.
3.
Mengkompilasikan hukum Islam dari
mazhab yang berbeda. Selain berafiliasi kepada mazhab Hanafi dalam penyusunan
undang-undang yang berlaku di Turki Utsmani, juga mengadopsi mazhab lain yang
lebih relevan dengan kondisi saat itu.
4.
Mengadopsi perundang-undangan
modern. Tahap terakhir dari upaya penyusunan undang-undang di Turki Utsmani
adalah mengadopsi perundang-undangan modern yang sesuai dengan syariat Islam,
seperti hukum perdata, perdagangan, dan pidana.
C.
Sebelum Tanzimat
Kerajaan Turki
Utsmani dipimpin oleh seorang sultan yang memiliki kekuasaan temporal atau
duniawi dan kekuasaan spiritual. Selaku penguasa duniawi digunakan jabatan
“sultan” dan sebagai kepala rohani umat Islam digunakan gelar “khalifah”.[3]
Dengan demikian, raja-raja Utsmani memiliki dua bentuk kekuasaan, memerintah
negara dan kekuasaan mensyiarkan dan membela agama Islam. Aka tetapi, tidak
dijumpai dalam beberapa literatur, sejak kapan kedua jabatan itu disematkan dan
disandang oleh penguasa Utsmani.
Dalam
melaksanakan kedua kekuasaan itu, sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi, sadrazam
untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan.
Keduanya tidak punya hak suara dalam pemerintahan, mereka hanya menjalankan
tugas atas perintah sultan. Ketika sultan berhalangan atau bepergian ia
digantikan oleh sadrazam dalam menjalankan pemerintahannya.
Syaikh
al-Islam yang mengurusi bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar-al-Rumali
yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Utsmaniyah bagian eropa, beliau
membawahi qadhi-qadhi wilayah Utsmaniyah bagian Asia dan Mesir.
Syaikh
al-Islam adalah seorang pejabat tinggi negara. Selain sebagai pengawas atas
pemberlakuan hukum islam, ia juga mengawasi kinerja para qadhi dalam
menjalankan tugasnya. Demikian juga jika ada keputusan srategis yang akan
diambil oleh pihak penguasa Utsmani, sultan akan berkonsultasi dengan Syaikh
al-Islam dan meminta pertimbangan, apakah keputusannya bertentangan dengan
syari’at Islam atau tidak.
Adapun
bentuk-bentuk peradilan pada masa ini antara lain:
a.
Al-Juz’iyat (mahkamah
biasa atau rendah). Wewenangnya adalah menyelesaikan perkara-perkara pidana dan
perdata.
b.
Mahkamah al-Isti’naf (mahkamah banding). Wewenangnya adalah
meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
c.
Mahkamah al-Tamyiz au al-Naqd wa
al-Ibram (mahkamah tinggi).wewenangnya adalah mencatat para qadhi yang
terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
d.
Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya (mahkamah agung). Wewenangnya ini
langsung dibawah pengawasan sultan.
Walaupun sudah ada lembaga peradilan pada masa
ini. Namun dalam praktiknya belum berjalan secara maksimal, karena intervensi
pihak pemerintah begitu kuat. Tidak hanya itu, sistem peradilan pun dikuasai
oelh kroni-kroni dan pejabat pemerintah, belum tampak pemisahan antara urusan
agama dan pemerintahan.
D.
Masa tanzimat
Menurut bahasa
tanzimat berasal dari bahasa nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhiman yang
bermakna mengatur, menyusun, mensistematikan, merencanakan dan
menginformasikan. Tanzimat dalam bahasa Turki dikenal dengan tanzimat
al-Khairiye, adalah gerakan pembaharuan di Turki Utsmani yang diperkenalkan
dalam sistem birokrasi dan pemerintah yang melingkupi bidang huum,
administrasi, pendidikan, keungan, perdagangan, an lain-lain.
Pembaharuan
ini dipelopori oleh Raja Utsmani, sultan
Mahmud II pada abad ke-19. Reformasi yang cukup mendasar dalam bidang
pemerintahan adalah dengan menggabungkan dua kekuasaan yang dipegang seorang
sultan: kekuasaan sebagai pemimpun duniawi dan sebagai pemimpin spiritual
kekuasaan yudikatif yang dipegang oleh sadrazam dialihkan kepada syaikh
al-Islam.
syaikh
al-Islam diberiakn wewenagng untuk mengurusi permasalahan-permasalahan yang
berkenaan dengan syari’at diatur oleh dewan perancang hukum. Hukum ini diadopsi
dari negara-negara Eropa. Diantara hukum yang diadipsi adalah al-Nizam
al-Qadha al-Madani (undang-undang peradilan perdata).
Dengan
diterapkannya undang-undang tersebut, maka muncullah mahkamah al-nizhamiyah
yang terdiri atas qadha al-madani (peradilan perdata) dan qadha
syar’i (peradilan agama). Dikotomi lembaga peradilan ini mengindikasikan
adanya pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia.
Realisasi
pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya piagam Gulhane (Khatt-I syarif
Gulhane ) pada 3 november 1839 M, kemudian ditindak lanjuti dengan
dikeluarkannya piagam Humayun pada tahun 1856 M. Gerakan ini terjadi pada masa
Sultan Abdul Majid (1839-186 M) putra Sultan Mahmud II.
Piagam Gulhane
berisikan beberapa bentuk perubahan pada masa Turki Utsmai, yaitu:
1.
Terjadinya ketentraman hidup, harta
kehormatan dan warga negara.
2.
Peraturan mengenai pemungutan
pajak.
3.
Peraturan mengenai kewajiban dan
lamanya dinas militer.
Adapun isi
pokok dari pada piagam Gulhane adalah sebabai berikut:
1.
Tertuduh agar diadili secara
terbuka dan hukuman mati agar tidak dilaksanakan sebelum putusan dari
pengadilan
2.
Larangan terhadap pelanggaran
terhadap seseorang.
3.
Jaminan terhadap hak milik dan
kebebasan menggunakan hak milik itu bagi si pemilik.
4.
Terpidana masih mempunyai hak
waris, dan harta tidak boleh disita.
5.
Pegawai kerajaan digaji sesuai
dengan tugas dan jabatannya.
Atas dasar
piagam ini, maka terjadi bebeapa pembaharuan dalam berbagai institusi
kemasyarakatan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang ukum perdata oleh Majlis
al-Ahkam al-Adliysh dan hukum pidana. Sedang dibidang pemeintahan adanya sistem
musyawarah dan dibidang pendidikan, adanya pemisahan antara pendidikan umum dan
agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama.
Selanjutnya
pada tahun 1856 M Sultan Abdul Majid mengumumkan berlakunya piagam Humayun yang
bertujuan untuk memperkuat piagam Gulhane. Pada masa ini telah ditetapkan
pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya undang-udang dusturiyah.
Sehungga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan
hukum. Dan juga didirikan Mahkamah Agung yang merupakan embaga yang diberi
wewenang untuk memecar para qadhi yang melekukan perbuatan yang melanggar
hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai ketetapan.[4]
E.
Pasca tanzimat
Pada akhir
periode Turki Utsmani, persoalan paradilan semakin banyak dan pelik. Sumber
hukum yang dipegang pun tidak hanya sebatas pada syari’at Islam, tetapi diambil
dari hukum Barat (Eropa). Hal ini diakibatkan adanya penetrasi Eropa terhadap
dunia Islam yang diwakili oleh kerajaan Utsmani, sehingga memunculkn lembaga
peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:
a.
Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli,
peradilan untuk suatu Kelompok (agama). Sumbernya dari agama masing-masing.
b.
Qadha al-Qanshuli, peradilan untuk
warga negara asing dengan sumber undang-undang orang asing tersebut.
c.
Qadha Mahkamah Pidana, bersumber
dari undang-undang Eropa.
d.
Qadha Mahkamah al-Huquq, mengadili
perkara perdata.
e.
Majlis al-Syar’i al-Syarif,
mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga sumbernya fiqh Islam.
Dalam lembaga peradilan pun sudah banyak
perubahan. Pada masa itu sudah ada mahkamah biasa , banding dan mahkamah agung.
Dengan demikian qadha pada masa ini sudah bergam. Dan ini merupakan pembaharuan
yang dicapai pada periode sebelum dan sesudah tanzimat.
Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat
tidak seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan
mendapat kritikan dari cendekiawan Islam kerajaan Utsmani. Kedua piagam yang
dikeluarkan kerajaan Utsmani sebagai dasar pembaharuan tanzimat menjunjung
tinggi syari’at, namun dalam praktiknya banyak mengadopsi hukum Barat, bahkan
dilanggarnya. Kritik juga ditujukan kepada tokoh-tokoh tanzimat yang pro Barat,
yang memungkinkan intervensi Barat dalam permasalahan intrn kerajaan Utsmani.
Pada gilirannya Turki Utsmani akan mengalami kehancuran, baik secara ekonomi
maupun kekuasaan.
Mustafa Kemal al-Taturk adalah tokoh utama
gerakan nasionalisme. Ide pembaharuan banyak depengaruhi oleh Barat. Dampak nyata dari pemikiran politik
keagamaan.
F.
Kodifikasi Hukum
Tindak lanjut
dari upayamengodifikasi hukum pada masa Turki Utsmani dilatarbelakangi oleh
majunya kebudayaan Islam, pesatnya ilmu pengetahuan yang melahirkan ilmuan dan
imam-imam madzhab yang tersebar diberbagai daerah. Pada gilirannya memunculkan
ta’asub bi al-madzhab, melemahnya upaya berijtihad, dan stagnan dalam
berijtihad. Disamping itu, juga perbedaan dalam menetapkan hukum karena madzhab
yang digunakan berbeda, agar tidak terjadi perbedaan status hukum pada
permasalahan yang sama di lembaga peradilan.
Pemerintah
Turki Utsmani memerintahkan untuk membentuk panitia yang bertugas mengumpulkan
ketentuan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa yang terjadi berkenaan dengan
hukum muamalat. Penetapannya berpegang pada madzhab Hanafi dengan tidak
mengabaikan pendapat madzhab-madzhab lain yang lebih sesuai dengan kondisi saat
ini. Maka ditunjuklah tujuh ulama’ fiqh yang membuat undang-undang perdata
Islam, yang tidak mengandung ikhtilaf, memuat pendapat yang lebi rajih dan
mudah untuk dipelajari. Ulama ini merampungkan tugasnya selama tujuh tahun.
Dengan melahirka peraturan “majallah al-Ahkam al-Adhiyah. Diundangkan pada 26
sya’ban 1293 H, dan memerintahkan semua pengadilan di wilayah kekuasaan Turki
Utsmani untuk melaksanakannya.
Peraturan
undang-undang ini memuat 1851 pasal yang terbagi kepada mukaddimah dan 16 kiab.
Mukadimah berisi tentang definisi ilmu fiqh dan pembagiannya serta penjelasan
kaidah-kaidah fiqiyah. Bab-bab mu’amalah yang dibedakan pada setiap babnya dan
terdiri 16mkitab.
Dengan dikeluarkannya hukum
pemerintah Turki Usmani, maka undang-undamg tersebut menjadi pegangan bagi para
hakim di pengadilan-pengadilan di wilayah kekuasaan Usmani. Kitab undang-undang
hukum perdata umum (positif) ini adalah yang pertama diadopsi dari ketentuan
hukum Islam, dan berasal dari madzhab Hanafi disamping pendapat lain yang lebih
cocok dengan kondisi saat itu.[5]
BAB III
KESIMPULAN
Turki Utsmani
muncul setelah hancurnya kerajaan Bani Abbasiyyah dengan ditandainya
pembantaian terhadap khalifah Abbasiyyah akibat serangan dari Khulagu Khan dan
menewaskan kurang lebih 1.6000.000 penduduk sipil yang tidak berdaya.
Lembaga
peradilan pada masa Turki Utsmani dibagi menjadi tiga periode:
1.
Masa sebelum tanzimat
a. Mahkamah biasa
atau rendah. Wewenangnya
adalah menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
b. Mahkamah
banding. Wewenangnya adalah meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
c. Mahkamah
tinggi. Wewenangnya adalah mencatat para qadhi yang terbukti melakukan
kesalahan dalam menetapkan hukum.
d. Mahkamah agung.
Wewenangnya ini langsung dibawah pengawasan sultan.
2.
Masa tanzimat
a.
Peradilan perdata.
b.
Peradilan agama.
3.
setelah tanzimat.
a.
Mahkamah al-Thawaif atau Qadha
al-Milli, peradilan untuk suatu Kelompok (agama). Sumbernya dari agama
masing-masing.
b.
Qadha al-Qanshuli, peradilan untuk
warga negara asing dengan sumberundang-undang orang asing tersebut.
c.
Qadha Mahkamah Pidana, bersumber
dari undang-undang Eropa.
d.
Qadha Mahkamah al-Huquq, mengadili
perkara perdata.
e.
Majlis al-Syar’i al-Syarif,
mengadili perkara umat Islam khusus masalah
keluarga sumbernya fiqh Islam
DAFTAR PUSTAKA
Supriadi, Dedi,
Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Syafiq A,
Mugni, Sejarah Kebudayaan Islam Turki, Jakarta: Logos, 1997
Nasution, Harun, Pembaharun Dalam Islam
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996
Munir, Tanzimat, dalam http://dorokabuju.blogspot.com/2012/02/tanzimat-iagam-gulhane-dan-humayun.html
, 23 oktober 2014
Koto, Alaiddin,
Sejarah Peradilan Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2012
[3]
Harun Nasution, Pembaharun Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 92
[4] Munir, Abdul, Tanzimat, dalam http://dorokabuju.blogspot.com/2012/02/tanzimat-iagam-gulhane-dan-humayun.html
, 23 oktober 2014
[5] Prof. Dr. Alaiddin Koto, M.A, Sejarah
Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2012), 154-159
Mohon ijin shearing Bu ulfah rudiyah.
BalasHapusMohon ijin shearing Bu ulfah rudiyah.
BalasHapusMenurut ibu, pengaruh tanzimat tsb pada peradilan islam islam bagaimana?
BalasHapus