BAB I
KERANGKA TEORI
- Latar Belakang
Dewasa ini, banyak berita di media masa yang
memberitakan tentang maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak, bahkan
pembunuhan anak yang semakin meresahkan masyarakat.
Deretan kasus tersebut belakangan ini mendapat perhatian banyak pihak, termasuk pemerintah. Berbagai
pihak menilai, salah satu faktor yang jadi penyebab berulangnya kasus kekerasan
seksual terhadap anak adalah belum adanya sanksi yang tegas terhadap pelakunya.
Pelanggaran
hukum membawa akibat diberikannya hukuman kepada si pelanggar. Hukuman itu
dapat berbentuk hukuman fisik, hukuman denda ataupun hukuman dalam bentuk lain.
Adanya hukuman yang diberikan tersebut akan menimbulkan masalah yang mengacu
pada keadilan. Sudah adilkah hukuman yang diberikan, khususnya hukuman yang
diberikan sesuai dengan keputusan hakim dan dalam hukum legal. Berdasarkan
pemberian hukuman itu akan timbul pertanyaan, “Apakah sesungguhnya tujuan
member hukuman? Kecuali itu apakah hukuman tersebut sesuai dengan nilai-nilai
moral?”
Mungkin
ada yang berpendapat bahwa memberi hukuman tersebut balas dendam, atau biar
orang bersalah itu “kapok”, jera, sehingga tidak melakukannya lagi. Atau
mungkin pula sebagai contoh agar orang lain tidak melakukan pelanggaran yang
sama. Secara umum, dapat dikatakan bahwa memberikan hukuman merupakan
pengobatan atau treatment, atau merupakan denda karena melanggar peraturan.
Agar suatu hukuman dapat dikatakan adil, maka hukuman itu harus mengandung
aspek legal dan aspek moral, sehingga tercapai ketentraman lahir maupun batin,
tidak hanya untuk si pelanggar hukum, melainkan juga masyarakat pada umumnya.[1]
Salah satu sanksi yang
dinilai efektif menimbulkan efek jera adalah penerapan hukum kebiri bagi pelaku. Sejumlah
negara menerapkan hukuman kebiri kimia sejajar dengan
hukuman penjara. Sementara itu, beberapa negara lain menerapkannya sebagai alternatif
pengurangan masa tahanan.
Kemudian
timbullah suatu pertanyaan besar dari
penulis, “apakah penetapan hukum kebiri untuk pelaku kejahatan seksual pada anak menjamin membuat pelaku jera? Seberapa efektif hukum kebiri dapat menyelesaikan masalah ini? Bagaimana nanti pelaksanaannya?”
Hal inilah yang menjadi pusat dan tujuan
penelitian ini, dengan harapan mampu menemukan titik permasalahan dan solusi penyelesaian yang paling
tepat.
BAB II
KERANGKA TEORI
A.
Pengertian Kebiri
Menurut kamus
bahasa Indonesia, kebiri itu sudah dihilangkan (dikeluarkan) kelenjar testisnya
(pada hewan jantan) atau dipotong ovariumnya (pada hewan betina); sudah
dimandulkan.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia Kebiri
(disebut juga pengebirian atau kastrasi) adalah tindakan bedah dan atau
menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau
fungsi ovarium pada betina.
Pengebirian dapat dilakukan baik pada hewan ataupun manusia.
Dan yang dimaksud hukum kebiri di Indonesia
berupa suntik syaraf libido bagi pelaku kekerasan seksual kepada anak.
B.
Penerapan Hukum Kebiri
Fungsi hukum sebagai social control merupakan aspek
yuridis normative dari kehidupan social masyarakat atau dapat disebut pemberi
definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti
larangan-larangan, perintah-perintah, pemidanaan, dan anti rugi. Sebagai alat
pengendali social, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang
baik dan tidak baik atau perilaku yang
menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai
perilaku yang tidak baik.[2]
Berikut akan dibahas beberapa sempel dari
hukum pelecehan seksual,
untuk mengkaji lebih mendalam apakah masih relevan dengan keadaan saat ini,
karena melihat semakin maraknya kasus tersebut sehingga kekuatan dari hukum
yang sudah ada semakin melemah dan kewibawaan semakin hilang. Dan apakah hukum kebiri sesuai untuk memperkuat hukum tersebut.
Pasal 81 dan
82 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 81 ayat
(1) UU No. 23 Tahun 2002 menyebut setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannnya
atau dengan orang lain, dipidana dengan pindana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp300.000.000 dan paling
sedikit Rp60.000.000.
Sementara,
Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 berbunyi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp300.000.000 dan paling
sedikit Rp60.000.000.[3]
C.
Penegakan
Hukum
Secara konsepsial, maka inti dari arti penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.[4]
Oleh
karena itu, pembahasan mengenai penegak hokum sebenarnya lebih banyak tertuju
pada dikresi. Maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat
terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam
penegakan hukum diskresi[5] sangat penting, oleh karena:
1. Tidak ada perundang-undangan
yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.
2. Adanya kelambatan-kelambatan
untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam
masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian.
3. Kurangnya biaya untuk
menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk
undang-undang.
Oleh
karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata
berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di
Indonesia kecenderungannya adalah demikian. Selain itu, ada kecenderungan yang
kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan
hakim.[7]
Sedangkan
berdasarkan realita yang terjadi baru baru ini, tentang penerapan hukum
dikebiri apakah juga dapat disebut sebagai bagian dari penegakan hukum. Karena
undang-undang yang membahas tentang kejahatan seksual anak seakan sudah tidak relevan,
tidak mengurangi jumlah pelaku, tidak memberikan efek jera pada pelaku, dan
tidak dapat menjadi suatu warning untuk masyarakat lainnya.
D.
Efektivitas Hukum dalam Masyarakat
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat
berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa
masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti
mengkaji kaidah hukum yang memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis,
berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu kaidah hukum/
peraturan itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas yang digunakan oleh
penegak hukum, kesadaran masyarakat.[8]
BAB III
PAPARAN DATA
Dari
hasil penelitian yang dilakukan
melalui observasi di media massa, Menurut
data yang dikumpulkan Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan
Anak Indonesia (Komnas PA) medio 2010-2014, tercatat 21.869.797 kasus
pelanggaran hak anak yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupaten/kota.
Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu merupakan kejahatan seksual.
Kemudian
seperti kasus korban sodomi yang dilakukan oleh Maskur yang jumlahnya cukup
banyak, diperkirakan lebih dari 15 anak, kemudian kasus
Agus Darmawan yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan bocah dalam
kardus, dari laporan kepolisian ditemukan bukti-bukti pemerkosaan sebelum
terjadi pembunuhan.
Dari paparan data di atas penyebab menjamurnya
pelaku kejahatan seksual terhadap anak salah satunya ditengarai terjadi
karena hukuman buat mereka terlalu ringan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, penjahat seksual terhadap anak hanya dikenai
hukuman maksimal 15 tahun penjara. Yang memprihatinkan, pada praktiknya, vonis
itu amat jarang ditimpakan kepada pelaku. Bahkan, tidak jarang vonis bebas
diberikan kepada para predator yang perbuatannya merusak masa depan anak-anak
tersebut.
Dalam rapat
terbatas terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak,
Presiden Joko Widodo menyampaikan rencana pemerintah memberikan hukuman
tambahan kepada pelaku kejahatan seksual pada anak. Kemudian Ahok
melihat bahwa hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak di Indonesia masih
sangat lemah. Dia meminta agar pelaku paedofil di hukum berat.
Mengenai
hukuman berat bagi kasus kejahatan seksual terhadap anak juga di terus
disuarakan oleh Mensos Khofifah Indar Parawansa sejak awal tahun lalu. Setelah
ada persitiwa pembunuhan bocah di kardus setelah diperkosa ini, Khofifah
kembali meminta agar pelaku dengan kejahatan serupa dipotong syaraf libidonya (kebiri).
Setelah wacana
hukuman kebiri diusulkan, muncul berbagai pandangan pro dan kontra mengenai hal
tersebut. Salah satunya mengenai pengukuran efektivitas hukuman terhadap angka
kejahatan seksual terhadap anak.
Beberapa
pandangan menyebut bahwa hukuman kebiri tidak menyelesaikan masalah. Misalnya,
di beberapa negara hukuman kebiri telah diatur dalam undang-undang pidana,
tetapi tidak ada satu pun penelitian yang menunjukkan bahwa hukuman itu dapat
mengurangi angka kejahatan seksual terhadap anak.
Masruchah, anggota
Komnas Perempuan menolak hukuman kebiri untuk pedofilia. Karena sebagian dari
pelanggaran HAM. Jika efek jera yang dicari maka dapat dilakukan dengan memaksimalkan
hukuman yang sudah berlaku pada saat ini yakni dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pakar seksologi dr.
Boyke Dian Nugraha menilai hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual kepada
anak-anak tidaklah efektif, karena pelaku kejahatan seksual pada anak masih
berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati.
Sedangkan pandangan pro muncul dari Ahok Gubernur DKI Jakarta HM., Prasetyo Jaksa Agung. Kemudian Seto Mulyadi juga setuju namun
meminta
pemerintah untuk mengkaji ulang wacana memberikan hukuman kebiri bagi pelaku
kejahatan seksual.
Serta Arist
Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak
Arist yakin hukuman dikebiri sebagai pemberatan hukuman pelaku kekerasan
seksual pada anak dapat mengurangi kasus kekerasan anak.
Setelah semakin banyaknya pandangan pro dan kontra, pemerintah terus
mengkaji dan mendalami kemungkinan dikeluarkannya Perppu hukuman kebiri bagi
pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Kajian secara mendalam dan komprehensif akan terus dilakukan bersama-sama
dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM,
serta aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Pemerintah akan meminta masukan dari semua
pihak mengenai kriteria pelaku yang bisa dikebiri, termasuk hak-hak tersangka
untuk memiliki keturunan setelah organ reproduksinya itu dikebiri. Pengkajian hukuman
kebiri itu akan dilihat dari berbagai aspek seperti psikologis, biologis, agama
hingga budaya agar tidak menimbulkan resistensi di masyarakat. Juga akan
ditelaah apakah jika hukuman kebiri diterapkan bisa menurunkan angka kejahatan
terhadap anak. Pasalnya, hukuman kebiri tidak hanya akan melumpuhkan syaraf
libidonya, tetapi juga melumpuhkan sisi kekejamannya terhadap anak.
BAB IV
ANALISIS
Penulis
memiliki beberapa pandangan tentang data-data yang tercaNtum di atas bahwa
bayaknya kejahatan pelecehan seksual diakibatkan beberapa alasan,
Berikut mengenai penyebab terjadinya kejahatan pelecehan seksual yang
sering sekali terjadi:
1.
Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum
lemah, memerlukan pengorbanan biaya dan
pengorbanan mental yang sangat tinggi cenderung membuat korban menghindari proses hukum. Proses hukum yang rumit dan
berbelit-belit, penanganan yang kerap tidak
manusiawi, dan ancaman hukuman minimal 3 tahun maksimal 15 tahun membuat kasus-kasus kekerasan seksual tenggelam selama
bertahun-tahun dan membiarkan para korbannya
tumbuh tanpa intervensi psikologis yang tepat.
Saat negara lain sudah berani menerapkan
ancaman hukuman mati, kebiri, sistem ‘black list’ serta berbagai kebijakan
untuk menahan laju dan ledakan kekerasan seksual, Indonesia seolah-olah jalan
di tempat terutama karena ada budaya malu dan tidak berani mengakui fakta ini
sebagai masalah besar. Sudah sangat mendesak adanya daftar
pelaku dan korban kekerasan seksual yang tidak hanya mencatat nama, alamat, identitas lain dan wajah, namun
menggunakan metode finger print yang disimpan oleh institusi Negara demi
menjaga kerahasiaannya. Masyarakat yang ingin merekrut pegawai untuk bekerja di
fasilitas anak dapat mengirimkan data finger printnya ke institusi Negara untuk
memperoleh kepastian apakah yang bersangkutan
memiliki riwayat kekerasan seksual atau tidak. Dalam hal ini, kami sangat yakin bahwa praktek ini sudah sangat
dimungkinkan dengan perkembangan teknologi saat
ini. Satu-satunya hambatan adalah masalah HAM yang seharusnya bisa diatasi dengan metode kerahasiaan data
dan penyimpanan di institusi Negara.
2.
Nutrisi fisik hormon yang
terkandung dalam makanan masa kini semakin membuat individu anak matang sebelum
waktunya, yang sudah matang menjadi lebih tinggi dorongan seksualnya.
Dan juga, nutrisi psikologis: tayangan kekerasan, seks dan pornografi
melalui berbagai media telah mencuci otak masyarakat Indonesia dengan karakter
iri, dengki, kekerasan, dan pornoaksi.
Termasuk di dalamnya lagu-lagu yang semakin tidak kreatif, isi dan tampilannya hanya seputar paha dan dada telah
semakin merusak mental masyarakat Indonesia.
3.
Perkembangan IT (internet)dan
kemudian perangkat gadget yang memungkinkan transfer dan transmisi materi porno secara cepat dan langsung ke telapak
tangan.
4.
Gaya hidup dan kesulitan ekononi yang
menuntut kesibukan orang tua yang luar biasa, mendorong ayah ibu banyak di luar
rumah, anak kehilangan kesempatan belajar cara melindungi diri.
Situasi ini semakin dipersulit
dengan semakin robohnya pilar keluarga dengan Angka Kematian Ibu yang masih
tinggi, perempuan terpaksa keluar rumah untuk bekerja menjadi TKW atau merantau
ke kota besar meninggalkan anak-anak, perempuan korban kekerasan dan terjerat
konflik rumah tangga, perempuan terjebak biusan tayangan media yang tidak
edukatif, sementara figur ayah justru sebagai model kekerasan atau ketidak
pedulian terhadap proses tumbuh kembang anak, maka rumah yang diharapkan
sebagai wadah pembentukan karakter dan kepribadian anak menjadi kehilangan
fungsi dasarnya. Anak-anak tumbuh dan berkembang sendiri atau oleh media yang
justru semakin menggerus nilai-nilai pekertinya dan kehilangan kesempatan untuk
menguasai berbagai ketrampilan asertif untuk melindungi diri, bahkan mereka
mencari kasih sayang dan uang dari orang lain yang justru menjadi monster yang
merenggut masa depan mereka. Fenomena ini mirip dengan gejala Stockholm syndrome dimana korban penculikan
justru menaruh iba dan memiliki ketergantungan
emosional kepada pelaku penculikan dan pelaku kekerasan terhadapnya.
5.
Persepsi masyarakat tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan upaya
perlindungan diri cenderung ditolak, diterjemahkan sederhana sebagai pendidikan seks dan bahkan
diabaikan yang pada akhirnya justru menghambat proses persiapan perlindungan anak. Batas usia awal
untuk mulai memberikan pendidikan ini
kepada anak juga menjadi kontroversi. Kasandra & Associate meyakini batas
usia untuk mulai mengajarkan adalah sejak dalam kandungan, berupa disiplin ibu
untuk menjaga kehamilannya seperti nutrisi sehat dan kegiatan
teratur, yang dilanjutkan pasca persalinan. Anak-anak yang terbiasa hidup
teratur sejak dini (hidup sehat, makan sehat, nonton sehat), lebih mudah
diarahkan untuk memilih hanya yang baik bagi dirinya dan menghindari hal-hal
yang buruk dalam hidupnya.
6.
Fakta bahwa kekerasan dan kekerasan seksual telah terjadi dimana saja,
rumah, sekolah, klub olah raga, pengajian,
sekolah minggu dan lain lain. Praktek membela diri
dan mengalihkan isu kekerasan seksual kepada hal lain justru semakin menyuburkan kekerasan seksual. Sudah
saatnya kita semua mengambil perandan tanggung jawab : pemerintah, masyarakat,
sekolah, keluarga dan media.
7.
Persepsi sosial yang berkembang di
masyarakat membuat korban tidak berani melapor, predator lepas. Sudah melapor pun tidak ditangani dengan baik
bahkan ada yang mengalami kekerasan
baru, baik fisik, verbal maupun kekerasan seksual tambahan.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Kejahatan seksual anak
merupakan masalah yang hingga kini tak dapat terselesaikan, masih banyak
masyarakat yang melakukan hal tersebut. Hukuman yang ada seakan tidak dapat
menjadi peringatan bagi masyarakat lainnya, serta tidak dapat memberikan efek
jera pada pelaku.
Untuk itu, sebaiknya
pemerintah melakukan peninjauan ulang tentang pasal yang telah ada, serta
tentang penerapan hukum kebiri yang akhir-akhir ini diberitakan di media massa.
Berikut mengenai penyebab terjadinya kejahatan pelecehan seksual yang
sering sekali terjadi:
1. Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum
lemah
2. Nutrisi fisik hormon yang terkandung dalam
makanan masa kini
3.
Perkembangan IT (internet)dan
perangkat gadget
4. Gaya hidup dan kesulitan ekononi yang menuntut
kesibukan orang tua yang luar biasa
5. Persepsi masyarakat tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan upaya
perlindungan diri cenderung ditolak
6. Fakta bahwa kekerasan dan kekerasan seksual telah terjadi dimana saja
7. Persepsi sosial yang berkembang di masyarakat
membuat korban tidak berani melapor
Daftar Pustaka
Ali
Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta (2007):
Sinar Grafika.
Anshori Abdul Ghofur, Filsafat Hukum, Yogyakarta (2009): Gajah
Mada University Press.
Djaja Ermansjah, KUHP Khusus, Jakarta (2013): Sinar Grafika.
Soekanto
Soerjono, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta (2013): PT Rajagrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar