Sabtu, 01 Juli 2017

Penelitian Hukum Kebiri

BAB I
KERANGKA TEORI
  1. Latar Belakang
Dewasa ini, banyak berita di media masa yang memberitakan tentang maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak, bahkan pembunuhan anak yang semakin meresahkan masyarakat.
Deretan kasus tersebut belakangan ini mendapat perhatian banyak pihak, termasuk pemerintah. Berbagai pihak menilai, salah satu faktor yang jadi penyebab berulangnya kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah belum adanya sanksi yang tegas terhadap pelakunya.
Pelanggaran hukum membawa akibat diberikannya hukuman kepada si pelanggar. Hukuman itu dapat berbentuk hukuman fisik, hukuman denda ataupun hukuman dalam bentuk lain. Adanya hukuman yang diberikan tersebut akan menimbulkan masalah yang mengacu pada keadilan. Sudah adilkah hukuman yang diberikan, khususnya hukuman yang diberikan sesuai dengan keputusan hakim dan dalam hukum legal. Berdasarkan pemberian hukuman itu akan timbul pertanyaan, “Apakah sesungguhnya tujuan member hukuman? Kecuali itu apakah hukuman tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral?”
Mungkin ada yang berpendapat bahwa memberi hukuman tersebut balas dendam, atau biar orang bersalah itu “kapok”, jera, sehingga tidak melakukannya lagi. Atau mungkin pula sebagai contoh agar orang lain tidak melakukan pelanggaran yang sama. Secara umum, dapat dikatakan bahwa memberikan hukuman merupakan pengobatan atau treatment, atau merupakan denda karena melanggar peraturan. Agar suatu hukuman dapat dikatakan adil, maka hukuman itu harus mengandung aspek legal dan aspek moral, sehingga tercapai ketentraman lahir maupun batin, tidak hanya untuk si pelanggar hukum, melainkan juga masyarakat pada umumnya.[1]
Salah satu sanksi yang dinilai efektif menimbulkan efek jera adalah penerapan hukum kebiri bagi pelaku. Sejumlah negara menerapkan hukuman kebiri kimia sejajar dengan hukuman penjara. Sementara itu, beberapa negara lain menerapkannya sebagai alternatif pengurangan masa tahanan.
Kemudian timbullah  suatu pertanyaan besar dari penulis, “apakah penetapan hukum kebiri untuk pelaku kejahatan seksual pada anak menjamin membuat pelaku jera? Seberapa efektif hukum kebiri dapat menyelesaikan masalah ini? Bagaimana nanti pelaksanaannya?
Hal inilah yang menjadi pusat dan tujuan penelitian ini, dengan harapan mampu menemukan titik permasalahan dan solusi penyelesaian yang paling tepat.



















BAB II
KERANGKA TEORI
A.                Pengertian Kebiri
Menurut kamus bahasa Indonesia, kebiri itu sudah dihilangkan (dikeluarkan) kelenjar testisnya (pada hewan jantan) atau dipotong ovariumnya (pada hewan betina); sudah dimandulkan.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia Kebiri (disebut juga pengebirian atau kastrasi) adalah tindakan bedah dan atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Pengebirian dapat dilakukan baik pada hewan ataupun manusia.
Dan yang dimaksud hukum kebiri di Indonesia berupa suntik syaraf libido bagi pelaku kekerasan seksual kepada anak.
B.                Penerapan Hukum Kebiri
Fungsi hukum sebagai social control merupakan aspek yuridis normative dari kehidupan social masyarakat atau dapat disebut pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, perintah-perintah, pemidanaan, dan anti rugi. Sebagai alat pengendali social, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang  menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai perilaku yang tidak baik.[2]    
Berikut akan dibahas beberapa sempel dari hukum pelecehan seksual, untuk mengkaji lebih mendalam apakah masih relevan dengan keadaan saat ini, karena melihat semakin maraknya kasus tersebut sehingga kekuatan dari hukum yang sudah ada semakin melemah dan kewibawaan semakin hilang. Dan apakah hukum kebiri sesuai untuk memperkuat hukum tersebut.

Pasal 81 dan 82 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
 Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 menyebut setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannnya atau dengan orang lain, dipidana dengan pindana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000 dan paling sedikit Rp60.000.000.
Sementara, Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 berbunyi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000 dan paling sedikit Rp60.000.000.[3]
C.                Penegakan Hukum
Secara konsepsial, maka inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[4]
Oleh karena itu, pembahasan mengenai penegak hokum sebenarnya lebih banyak tertuju pada dikresi. Maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum diskresi[5] sangat penting, oleh karena:
1.    Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.
2.    Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian. 
3.    Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
4.    Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.[6]
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.[7]
Sedangkan berdasarkan realita yang terjadi baru baru ini, tentang penerapan hukum dikebiri apakah juga dapat disebut sebagai bagian dari penegakan hukum. Karena undang-undang yang membahas tentang kejahatan seksual anak seakan sudah tidak relevan, tidak mengurangi jumlah pelaku, tidak memberikan efek jera pada pelaku, dan tidak dapat menjadi suatu warning untuk masyarakat lainnya.
D.                Efektivitas Hukum dalam Masyarakat
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu kaidah hukum/ peraturan itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum, kesadaran masyarakat.[8]

BAB III
PAPARAN DATA
Dari hasil penelitian yang dilakukan  melalui  observasi  di media massa, Menurut data yang dikumpulkan Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PA) medio 2010-2014, tercatat 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupaten/kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu merupakan kejahatan seksual.
Kemudian seperti kasus korban sodomi yang dilakukan oleh Maskur yang jumlahnya cukup banyak, diperkirakan lebih dari 15 anak, kemudian  kasus  Agus Darmawan yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan bocah dalam kardus, dari laporan kepolisian ditemukan bukti-bukti pemerkosaan sebelum terjadi pembunuhan.
Dari paparan data di atas penyebab menjamurnya pelaku kejahatan seksual terhadap anak salah satunya ditengarai terjadi karena hukuman buat mereka terlalu ringan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, penjahat seksual terhadap anak hanya dikenai hukuman maksimal 15 tahun penjara. Yang memprihatinkan, pada praktiknya, vonis itu amat jarang ditimpakan kepada pelaku. Bahkan, tidak jarang vonis bebas diberikan kepada para predator yang perbuatannya merusak masa depan anak-anak tersebut.
Dalam rapat terbatas terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak, Presiden Joko Widodo menyampaikan rencana pemerintah memberikan hukuman tambahan kepada pelaku kejahatan seksual pada anak. Kemudian  Ahok melihat bahwa hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak di Indonesia masih sangat lemah. Dia meminta agar pelaku paedofil di hukum berat.

Mengenai hukuman berat bagi kasus kejahatan seksual terhadap anak juga di terus disuarakan oleh Mensos Khofifah Indar Parawansa sejak awal tahun lalu. Setelah ada persitiwa pembunuhan bocah di kardus setelah diperkosa ini, Khofifah kembali meminta agar pelaku dengan kejahatan serupa dipotong syaraf libidonya (kebiri).
Setelah wacana hukuman kebiri diusulkan, muncul berbagai pandangan pro dan kontra mengenai hal tersebut. Salah satunya mengenai pengukuran efektivitas hukuman terhadap angka kejahatan seksual terhadap anak.
Beberapa pandangan menyebut bahwa hukuman kebiri tidak menyelesaikan masalah. Misalnya, di beberapa negara hukuman kebiri telah diatur dalam undang-undang pidana, tetapi tidak ada satu pun penelitian yang menunjukkan bahwa hukuman itu dapat mengurangi angka kejahatan seksual terhadap anak.
Masruchah, anggota Komnas Perempuan menolak hukuman kebiri untuk pedofilia. Karena sebagian dari pelanggaran HAM. Jika efek jera yang dicari maka dapat dilakukan dengan memaksimalkan hukuman yang sudah berlaku pada saat ini yakni dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pakar seksologi dr. Boyke Dian Nugraha menilai hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak tidaklah efektif, karena pelaku kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati.
Sedangkan pandangan pro muncul dari Ahok Gubernur DKI Jakarta HM., Prasetyo Jaksa Agung. Kemudian Seto Mulyadi juga setuju namun  meminta pemerintah untuk mengkaji ulang wacana memberikan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Serta Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak
Arist yakin hukuman dikebiri sebagai pemberatan hukuman pelaku kekerasan seksual pada anak dapat mengurangi kasus kekerasan anak.
Setelah semakin banyaknya pandangan pro dan kontra, pemerintah terus mengkaji dan mendalami kemungkinan dikeluarkannya Perppu hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Kajian secara mendalam dan komprehensif akan terus dilakukan bersama-sama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, serta aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Pemerintah akan meminta masukan dari semua pihak mengenai kriteria pelaku yang bisa dikebiri, termasuk hak-hak tersangka untuk memiliki keturunan setelah organ reproduksinya itu dikebiri. Pengkajian hukuman kebiri itu akan dilihat dari berbagai aspek seperti psikologis, biologis, agama hingga budaya agar tidak menimbulkan resistensi di masyarakat.  Juga akan ditelaah apakah jika hukuman kebiri diterapkan bisa menurunkan angka kejahatan terhadap anak. Pasalnya, hukuman kebiri tidak hanya akan melumpuhkan syaraf libidonya, tetapi juga melumpuhkan sisi kekejamannya terhadap anak.


















BAB IV
 ANALISIS
            Penulis memiliki beberapa pandangan tentang data-data yang tercaNtum di atas bahwa bayaknya kejahatan pelecehan seksual diakibatkan beberapa alasan, Berikut mengenai penyebab terjadinya kejahatan pelecehan seksual yang sering sekali terjadi:
1.      Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum lemah, memerlukan pengorbanan biaya dan pengorbanan mental yang sangat tinggi cenderung membuat korban menghindari proses hukum. Proses hukum yang rumit dan berbelit-belit, penanganan yang kerap tidak manusiawi, dan ancaman hukuman minimal 3 tahun maksimal 15 tahun membuat kasus-kasus kekerasan seksual tenggelam selama bertahun-tahun dan membiarkan para korbannya tumbuh tanpa intervensi psikologis yang tepat.
Saat negara lain sudah berani menerapkan ancaman hukuman mati, kebiri, sistem ‘black list’ serta berbagai kebijakan untuk menahan laju dan ledakan kekerasan seksual, Indonesia seolah-olah jalan di tempat terutama karena ada budaya malu dan tidak berani mengakui fakta ini sebagai masalah besar. Sudah sangat mendesak adanya daftar pelaku dan korban kekerasan seksual yang tidak hanya mencatat nama, alamat, identitas lain dan wajah, namun menggunakan metode finger print yang disimpan oleh institusi Negara demi menjaga kerahasiaannya. Masyarakat yang ingin merekrut pegawai untuk bekerja di fasilitas anak dapat mengirimkan data finger printnya ke institusi Negara untuk memperoleh kepastian apakah yang bersangkutan memiliki riwayat kekerasan seksual atau tidak. Dalam hal ini, kami sangat yakin bahwa praktek ini sudah sangat dimungkinkan dengan perkembangan teknologi saat ini. Satu-satunya hambatan adalah masalah HAM yang seharusnya bisa diatasi dengan metode kerahasiaan data dan penyimpanan di institusi Negara.
2.      Nutrisi fisik hormon yang terkandung dalam makanan masa kini semakin membuat individu anak matang sebelum waktunya, yang sudah matang menjadi lebih tinggi dorongan seksualnya.
Dan juga, nutrisi psikologis: tayangan kekerasan, seks dan pornografi melalui berbagai media telah mencuci otak masyarakat Indonesia dengan karakter iri, dengki, kekerasan, dan pornoaksi. Termasuk di dalamnya lagu-lagu yang semakin tidak kreatif, isi dan tampilannya hanya seputar paha dan dada telah semakin merusak mental masyarakat Indonesia.
3.      Perkembangan IT (internet)dan kemudian perangkat gadget yang memungkinkan transfer dan transmisi materi porno secara cepat dan langsung ke telapak tangan.
4.      Gaya hidup dan kesulitan ekononi yang menuntut kesibukan orang tua yang luar biasa, mendorong ayah ibu banyak di luar rumah, anak kehilangan kesempatan belajar cara melindungi diri.
Situasi ini semakin dipersulit dengan semakin robohnya pilar keluarga dengan Angka Kematian Ibu yang masih tinggi, perempuan terpaksa keluar rumah untuk bekerja menjadi TKW atau merantau ke kota besar meninggalkan anak-anak, perempuan korban kekerasan dan terjerat konflik rumah tangga, perempuan terjebak biusan tayangan media yang tidak edukatif, sementara figur ayah justru sebagai model kekerasan atau ketidak pedulian terhadap proses tumbuh kembang anak, maka rumah yang diharapkan sebagai wadah pembentukan karakter dan kepribadian anak menjadi kehilangan fungsi dasarnya. Anak-anak tumbuh dan berkembang sendiri atau oleh media yang justru semakin menggerus nilai-nilai pekertinya dan kehilangan kesempatan untuk menguasai berbagai ketrampilan asertif untuk melindungi diri, bahkan mereka mencari kasih sayang dan uang dari orang lain yang justru menjadi monster yang merenggut masa depan mereka. Fenomena ini mirip dengan gejala Stockholm syndrome dimana korban penculikan justru menaruh iba dan memiliki ketergantungan emosional kepada pelaku penculikan dan pelaku kekerasan terhadapnya.
5.      Persepsi masyarakat tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan upaya perlindungan diri cenderung ditolak, diterjemahkan sederhana sebagai pendidikan seks dan bahkan diabaikan  yang pada akhirnya justru menghambat proses persiapan perlindungan anak. Batas usia awal untuk mulai memberikan pendidikan ini kepada anak juga menjadi kontroversi. Kasandra & Associate meyakini batas usia untuk mulai mengajarkan adalah sejak dalam kandungan, berupa disiplin ibu untuk menjaga kehamilannya seperti nutrisi sehat dan kegiatan teratur, yang dilanjutkan pasca persalinan. Anak-anak yang terbiasa hidup teratur sejak dini (hidup sehat, makan sehat, nonton sehat), lebih mudah diarahkan untuk memilih hanya yang baik bagi dirinya dan menghindari hal-hal yang buruk dalam hidupnya.
6.      Fakta bahwa kekerasan dan kekerasan seksual telah terjadi dimana saja, rumah, sekolah, klub olah raga, pengajian, sekolah minggu dan lain lain. Praktek membela diri dan mengalihkan isu kekerasan seksual kepada hal lain justru semakin menyuburkan kekerasan seksual. Sudah saatnya kita semua mengambil perandan tanggung jawab : pemerintah, masyarakat, sekolah, keluarga dan media.
7.      Persepsi sosial yang berkembang di masyarakat membuat korban tidak berani melapor, predator lepas. Sudah melapor pun tidak ditangani dengan baik bahkan ada yang mengalami kekerasan baru, baik fisik, verbal maupun kekerasan seksual tambahan.











BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Kejahatan seksual anak merupakan masalah yang hingga kini tak dapat terselesaikan, masih banyak masyarakat yang melakukan hal tersebut. Hukuman yang ada seakan tidak dapat menjadi peringatan bagi masyarakat lainnya, serta tidak dapat memberikan efek jera pada pelaku.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah melakukan peninjauan ulang tentang pasal yang telah ada, serta tentang penerapan hukum kebiri yang akhir-akhir ini diberitakan di media massa.
Berikut mengenai penyebab terjadinya kejahatan pelecehan seksual yang sering sekali terjadi:
1.      Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum lemah
2.      Nutrisi fisik hormon yang terkandung dalam makanan masa kini
3.      Perkembangan IT (internet)dan perangkat gadget
4.      Gaya hidup dan kesulitan ekononi yang menuntut kesibukan orang tua yang luar biasa
5.      Persepsi masyarakat tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan upaya perlindungan diri cenderung ditolak
6.      Fakta bahwa kekerasan dan kekerasan seksual telah terjadi dimana saja
7.      Persepsi sosial yang berkembang di masyarakat membuat korban tidak berani melapor





Daftar Pustaka
Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta (2007): Sinar Grafika.
Anshori Abdul Ghofur, Filsafat Hukum, Yogyakarta (2009): Gajah Mada University Press.
Djaja Ermansjah, KUHP Khusus, Jakarta (2013): Sinar Grafika.
Soekanto Soerjono, Faktor-faktor  yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta (2013): PT Rajagrafindo Persada.




[1] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009), 153.

[2] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). 37.
[3] Ermansjah Djaja, KUHP Khusus (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 363-364.
[4] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor  yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT Rajagrafindo     Persada, 2013), 5.
[5] Kebebasan mengambil keputusan sendiri di setiap situasi yg dihadapi.
[6] Ibid, 21.
[7] Ibid, 7.
[8] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, 62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar