Sabtu, 01 Juli 2017

Ringkasan Ushul Fiqh

NAMA                        : Ulfah Rodliyah
NIM                            : 931100914
1.                  Ruang Lingkup, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh

U
S
H
U
L

F
I
Q
H
Ruang Lingkup
Ø   Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’
Ø  Mencari  jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan
Ø  Pembahasan ijtihad dan syaratnya
Ø  Pembahasan tentang hukum syara’
Ø  Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Ø   Masa Rasulullah SAW, Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW.sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.Apabila wahyu tidak turun, maka beliaumenetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.
Ø  Masa Tabi’ Tabi’in, Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan.
Ø  Masa Pasca Imam Syafi’I, Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan berbagai corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.


2.                  Bagan terkait dengan ‘am, khas, muthlaq, muqayyad, ‘amr, nahi, musytarak, dzahir, nash, mufassar, muhkam, khafy, musykil, mujmal, mutasyabih, ibarah nash, isyarah nash, dalalah nash, iqtidha’ nash, manthuq, mafhum, beserta aplikasi contohnya
Lafadz dari segi cakupan maknanya
Khas  menurut bahasa ialah lafadz  yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Lafadz  tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.



Muqayyad adalah suatu lafadh tertentu yang ada batasan atau ikatan dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Begitu pula dengan lafazh muqayyad tetap atas keterbatasannya atau keterkaitannya walaupun ada muthlaqnya. Dalam firman Allah tentang kifarat orang yang membunuh karena tidak sengaja:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء 92)

Amr ialah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat ditangkap dari lafadz amar (perintah) ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan dari pada tidak mengerjakan. Seperti Firman Allah:                          
اُسْجُدُوْالِاَدَمَ فَسَجَدُوآاِلَّااِبْلِيْسَ – البقرة :34
Bentuk perintah amar dalam ayat kedua, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian/keharusan. Kalau tidak demikian, Allah tidak mencela Iblis karena kedurhakaannya itu.


Nahi menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Dan Allah SWT berfirman pula :
فَاسْتَبِقُوْا الخَيْرَاتِ – البقرة : 148
Ayat ini memberi pengertian bahwa kita diperintahkan menyegerakan penyelesaian tugas.oleh karena itu, dapatlah kita katakan bahwa golongan yang membolehkan kita menunda (memperlambat) itu melihat pada pengertian yang diperoleh dari suruhan saja.
Musytarak adalah suatu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut. Seperti firman Allah SWT:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh atau masa suci.
Muthlaq adalah lafazd tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.                                                               Jika terdapat lafazh muthlaq dalam sebuah teks maka yang mesti dilakukan adalah menggunakan lafazh tersebut sesuai ke-muthlaq-annya. Kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa lafazh muthlaq tersebut dibatasi kandungannya. Sebagaimana contoh adalah firman Allah yang menyangkut tentang kifarat orang yang menzihar istrinya: فَتَحْرِيرُرَقَبَةٍ


‘Am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy. Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’. Seperti ayat: وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan sebuah hadits.


 


















Lafadz dari segi jelas & tidaknya sebuah makna
1.
DZAHIR
Zhâhir yaitu apa yang menunjukan maksud daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya itu terhadap urusan luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan.
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya.

2.
NASH
Nash yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan.
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut.
3.
MUFASSAR
Penunjukannya terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin dita’wîl-kan.
Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.

4.
MUHKAM
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.
Sabda Nabi Muhammad:
اَلْجِهَادُ جَاضٍ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَّامَةِ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu.

5.
KHAFIY
Suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaz.
Contoh dari lafaz khafi ini adalah lafaz السَّارِقُ (pencuri) pada QS. Al-Maidah (5) ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
Lafaz السَّارِقُ pada ayat di atas artinya jelas, yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya. Tapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan merupakan suatu bentuk yang samar dan tidak jelas. Seperti النَّشَالُ (pencopet) dan النَّبَاشُ (pencuri barang-barang di dalam kuburan) lafaz tersebut dikatakan khafi (samar).

6.
MUSYKIL
Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri. Sumber kesamaran dari lafaz itu adakalanya karena lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak sehingga tidak dapat dipahami artinya jika hanya dengan melihat lafaz tersebut.
Lafaz musytarak termasuk ke dalam bentuk ini.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh atau masa suci.
7.
MUJMAL
Menurut bahasa al-mujmal berari samar. Dan menurut istilah berarti: lafaz yang dengan bentuk (shigat)-nya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendaki olehnya, dan tidak tedapat qarinah-qarinah lafaz atau keadaan yang dapat menjelaskannya.
Contoh lafaz mujmal ialah lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’, seperti lafaz salat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz salat menurut bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.Yang menerangkan arti syara’ tersebut adalah pembuat peraturan itu sendiri karena ditemui sunah qauliyah dan sunah fi’liyah yang menerangkan arti yang dimaksud oleh syara’. Sabda Rasulullah s.a.w.:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّىْ
Lakukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat.
Demikian pula beliau menginterpretasikan zakat, puasa, hajji, dan riba, serta segala sesuatu yang datang secara mujmal dalam nash-nash Al-Qur’an

8.
MUTASYABIH
Lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafal yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.
Di antara lafaz mutasyâbbih adalah huruf-huruf hija’iyah yang terpotong-potong pada permulaan sebagian surat-surat Al-Qur’an, seperti: حم, ق, ص, الم . Dan ayat-ayat yang menurut zhâhir-nya menunjukkan secara samar adanya penyerupaan al-Khâlik kepada makhluk-Nya, seperti dalam hal Allah mempunyai mata, tangan, dan muka Contohnya QS. Hud (11) ayat 37:
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ
Dan buatlah bahtera itu dengan mata-mata Kami.



Lafadz dari segi cara menunjukkan makna
isyarat nash adalah penunjukan lafadz pada suatu makna yang tidak dimaksud secara langsung dari lafadznya tidak pula secara susunanya, tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... (البقـرة / ۲ : ۲۳۳)
kata “له” itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak untuk ayah” . Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak- anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash. hal ini juga sesuai dengan sabda nabi yang berbunyi : اَنْتَ وَمَالِكَ لِاَبِيْكَ

Iqtidla’ al-nash ialah penunjukkan lafal nash kepada sesuatu makna yang tidak disebutkan, akan tetapi kebenaran lafadznya dapat dikira-kirakan atas makna dimaksud secara syara’.
Contoh :
Hadits nabi :
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الخَطَأُ والنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Kalimat ini secara dhahir seakan-akan menyimpan lafadz “رفع فعل” yang berarti bahwa bebasnya suatu perbuatan apabila terjadi kesalahan atau lupa, padahal makna ini tidak sesuai, karna suatu perbuatan yang sudah terjadi tidaklah dibebaskan, sehingga pemaknaan yang benar dalam kalimat ini harus mengira-ngira lafadz yang tersimpan di dalamnya, yaitu mengira-ngira lafadz “ الاثمرفع” jadi yang dimaksud dalam pembebasan dalam suatu kesalahan, lupa, atau terpaksa adalah
dosanya bukan perbuatannya. Dan ini adalah maksud yang benar menurut susunan lafadznya.
Mafhum adalah lafat yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang terdapat dibalik dari arti mantuq-nya. Dengan kata lain mafhum itu disebut dengan makna tersirat.
Contohnya, “janganlah kamu berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang menyakitkan perkataanny.” Terdapat dalam QS. al-Isra/17: 23.
(23)فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
Artinya:…..maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”…..
Mafhum muwafaqah dari ayat di atas adalah haram berkata “ah” kepada orang tua, mencaci, menghina, dan sebagainya apalagi memukulnya.

Mantuq adalah lafat yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang diucapkan. Dengan kata lain mantuq ialah makna yang tersurat.
Salah satunya seperti firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275.
 (275) وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat tersebut dengan cara Manthuq Syarih menunjukkan indikasi hukum halal bagi praktik jual-beli dan hukum haram bagi muamalah dengan cara riba.

dilalah nash adalah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan nashnya berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua -- yang disebutkan dan yang tidak disebutkan -- terdapat pertautan ‘illat hukum, dimana dimungkinkan pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.
Contoh : firman Allah QS, al-Isra’ :23 :

فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
Artinya : “Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua…”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya - yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik.
Ibarat nash adalah penunjukan lafadz pada suatu makna yang dimaksud dari lafadz itu sendiri, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Contoh dari ibarat nash : firman Allah :
وَاَحَـلَّ اللهُ البَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا ...
Artinya ; Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riaba’…
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili , bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan perbedaan antara jual – beli dan riba’, bahwa jual-beli itu tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual – beli itu boleh dan riba’ itu haram. Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat
.

 













































3.      Maqashid al-syari’ah: pengertian, pembagian, dan urgensinya dalam ijtihad kontemporer

Maqashid asy-Syari’ah adalah maqashid Allah swt. yang membuat syari’at, bukan tujuan-tujuan manusia. Asy-Syatibi menegaskan bahwa tujuan utama dari perintah syari’at adalah untuk mengambil mashlahat, baik di dunia, di akhirat, atau keduanya. Sedangkan tujuan dasar dari larangan adalah mutlak untuk menolak mafsadah dan bahaya, untuk menjaga ketentraman alam dengan cara mewujudkan keberlangsungan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan (jalb al-mshalih wa dar al-mafasid). Kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar pada penetapan maqashid.
Maqashid atau maslahat, dalam pandangan asy-Syatibi dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a.       al-Mashalih al-dharuriyyah
Maslahat yang pertama atau al-Mashalih al-dharuriyyah mengandung beberapa bagian, yaitu: menjaga agama (hifz ad-din), menjaga jiwa (hifz an-nafs), memelihara akal (hifz ‘aql), memelihara keturunan (hifz an-nasl), dan memelihara harta (hifz al-mal). Kelima al-mashlahat ini selanjutnya disebut al-kulliyyat al-khamsah. Maqashid ad-Daruriyyah merupakan sesuatu yang mutlak ada demi kelangsungan hidup manusia. Dalam hubungan ini pula asy-Syatibi mengemukakan bahwa tujuan awal dari syari’at adalah menegakkan kelima dasar maqashid ini dan menjaga keberlangsungannya.
b.      al-Mashalih al-Hajiyyah
Mashlahah yang kedua adalah al-mashalih al-hajiyyah yaitu sesuatu yang harus ada untuk memenuhi kebutuhan. Mashlahah ini sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya terdapat keleluasaan dan terhindar dari kesulitan. Apabila ini tidak ada, sebetulnya ia tidak menimbulkan kerusakan atau kematian, tetapi akan menimbulkan masyaqqah dan kesempitan, misalnya hukum jual beli, pinjam meminjam, pernikahan, dan bentuk-bentuk mashlahah lainnya. Al-mashalih al-hajiyyah berada setingkat di bawah al-mashalih               al-dharuriy karena ia merupakan turunan dari al-mashalih al-dharuriy dan berfungsi untuk mewujudkan tujan-tujuan al-mashalih al-dharuriy. Hukum perkawinan mislanya berfungsi untuk mewujudkan hifdz an-nasl.  
Al-mashalih al-hajiyyah juga mencakup keingina dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Allah swt. Hal ini bertujuan agar mukallaf tidak mendapatkan kesulitan dalam menjalankan segala hal yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, sesorang diperbolehkan untuk tayammum ketika tidak ada air, kebolehan berbuka puasa ramadhan, dan meringkas shalat ketika bepergian agar dapat tetap menjaga agama sesuai kemampuan yang ada.
c.       al-Mashalih at-tahsiniyah
Mashlahat ketiga adalah al-mashlahah al-tahsiniyyah, yaitu seuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan akhlak yang baik atau adat istiadat yang berlaku. Jika                  al-mashlahah ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga tidak akan menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya. Hanya saja seseorang akan dinilai tidak panatas dan tidak layak berdasrka ukuran tata krama dan kesopanan. Untuk konkretnya diangkat beberapa contoh, larangan untuk boros, pelit, kesamaan dalam memilih pasangan hidup (kafa’ah), etika makan, menutup aurat, dan seluruh yang berkaitan dengan etika, dan akhlak.
            Urgensinya dalam berijtihad:
Dalam hubungannya maqashid asy-asyari’ah dengan ijtihad, Asy-Syatibi berpendapat bahwa apabila seseorang hendak berijtihad, maka hendaklah berpegang pada maqashid asy-syari’ah. Lebih jauh dia berpendapat bahwa mengetahui maqashid asy-syari’ah lebih utama dibanding menguasasi bahasa arab bagi sesorang yang ingin berijtihad dari teks arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa orang yang akan berijtihad. Salah satu manifestasi dari pandangan ini adalah tentang nikah mut’ah dan nikah tahlil, dan kedua model pernikahan ini adalah bersifat temporer atau sementara. Sejalan dengan ini, modelnya tidak perlu dipersoalkan karena maqashid dari suatu perkawinan adalah kesinambungan dan kasih sayang dalam kelanggenan.
Memahami maqashid asy-syari’ah berarti membuka pintu cakrawala ijtihad karena ia meupakan temuan syari’at yang sesungguhnya. Dengan maqashid asy-syari’ah dapat diketahui apa yang termasuk taat, maksiat, rukun, dan sunat. Karena itu, seyogyanya jika seseorang ingin berijtihad tidak boleh hnya terpaku pada pendekatan kebahasan, tetapi perlu bergeser pada pendekatan maqashid al-syari’ah.








4.      Taqlid, Ittiba’ dan Talfiq
Taqlid, Ittiba’ dan Talfiq

Kata taqlid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Kata taqlid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ لاَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.’’
 


Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
 


Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain sebagainya. Adapun “Talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:
اَلْعَمَلُ بِحُكْمِ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ أَوْ أَكْثَر
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”

 




















5.      Pengetahuan tentang hermeneutika dan ushul fiqh dalam ijtihad kontemporer! Sebutkan contohnya!
“Hermeneutik merupakan pengetahuan yang membahas masalah yang bertalian dengan pemahaman, pencerapan, tafsir dan takwil dalam berhadapan dengan teks yang beragam.”
Di sini seluruh penerjemah tidak menggunakan satu lafaz yang sama dalam menerjemahkan terma hermeneutik  dan bahkan terkadang seorang penerjemah menggunakan lafaz-lafaz yang beragam pada kesempatan yang berbeda dengan makna yang beragam pula. Sementara hal ini dimana lafaz-lafaz ini sendiri sesuai dengan kebiasaan bahasa Persia dengan memperhatikan aplilkasi spesialis-historis ia tidak memiliki satu makna tertentu.
Apakah pembahasan Ushul Fiqih tradisional dalam kerangka tujuan-tujuan hermeneutik dan keselarasannya bertentangan dengan hermeneutik? Dan apakah perkataan, menafikan atau membuktikan, dalam hubungannya dengan hermeneutik dalam masalah ini, dimana usianya mencapai hingga ribuan tahun dapat dijumpai? Menjawab pertanyaan ini merupakan tujuan penulisan makalah ini dan karena semenjak beberapa tahun yang lalu secara gradual dalam ranah keilmuan Islam telah diuraikan dalam bentuk yang beragam. Bagaimana kecenderungan dan jawaban positif atau negatif terhadap masalah tersebut juga layak untuk diperhatikan dan dipikirkan di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar