NAMA : Ulfah Rodliyah
NIM : 931100914
1.
Ruang
Lingkup, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh
U
S
H
U
L
F
I
Q
H
|
Ruang Lingkup
|
Ø Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang
digunakan dalam menggali hukum syara’
Ø Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara
zahir dianggap bertentangan
Ø Pembahasan ijtihad dan syaratnya
Ø Pembahasan tentang hukum syara’
Ø Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang
digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil
|
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
|
Ø Masa Rasulullah SAW, Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam
sejak zaman Rasulullah SAW.sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh
sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber
hukum islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu
kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus
tersebut.Apabila wahyu tidak turun, maka beliaumenetapkan hukum kasus tersebut melalui
sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau Sunnah.
Ø Masa Tabi’ Tabi’in, Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah
banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula
kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu
Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan
al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad
dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan.
Ø Masa Pasca Imam Syafi’I, Sesudah masa Imam Syafi’i, ilmu Ushul Fiqih semakin
berkembang pesat dan meluas dengan berbagai corak dan ragam. Berbagai buku
Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Imam
Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm
al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255
H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih
(Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.
|
2.
Bagan
terkait dengan ‘am, khas, muthlaq, muqayyad, ‘amr, nahi, musytarak, dzahir,
nash, mufassar, muhkam, khafy, musykil, mujmal, mutasyabih, ibarah nash,
isyarah nash, dalalah nash, iqtidha’ nash, manthuq, mafhum, beserta aplikasi
contohnya
Lafadz dari segi cakupan maknanya
|
Khas menurut
bahasa ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak
meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Lafadz tsalatsah
(tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang
atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu
dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
|
Muqayyad adalah suatu lafadh tertentu yang ada batasan atau ikatan
dengan lafadh lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Begitu
pula dengan lafazh muqayyad tetap atas keterbatasannya atau keterkaitannya
walaupun ada muthlaqnya. Dalam firman Allah tentang kifarat orang
yang membunuh karena tidak sengaja:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (النساء 92)
|
Amr ialah tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya
kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Makna/pengertian yang cepat
ditangkap dari lafadz amar (perintah) ialah ijab (ايجاب) artinya tuntutan wajib mengerjakan pekerjaan
yang diperintahkan dari pada tidak mengerjakan. Seperti Firman Allah:
اُسْجُدُوْالِاَدَمَ فَسَجَدُوآاِلَّااِبْلِيْسَ
– البقرة :34
Bentuk
perintah amar dalam ayat kedua, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak
disertai qarinah menunjukkan kemestian/keharusan. Kalau
tidak demikian, Allah tidak mencela Iblis karena kedurhakaannya itu.
|
Nahi menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari
orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah
tingkatannya. Dan Allah SWT berfirman pula :
فَاسْتَبِقُوْا الخَيْرَاتِ – البقرة : 148
Ayat ini memberi pengertian bahwa
kita diperintahkan menyegerakan penyelesaian tugas.oleh karena itu,
dapatlah kita katakan bahwa golongan yang membolehkan kita menunda
(memperlambat) itu melihat pada pengertian yang diperoleh dari suruhan saja.
|
Musytarak adalah suatu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari
satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli
dalam bahasa tersebut. Seperti firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa
pula berarti masa haidh atau masa suci.
|
Muthlaq adalah lafazd tertentu
yang belum ada ikatan atau batasan dengan lafadh lain yang mengurangi
keseluruhan jangkauannya. Jika terdapat
lafazh muthlaq dalam sebuah teks maka yang mesti dilakukan adalah
menggunakan lafazh tersebut sesuai ke-muthlaq-annya. Kecuali jika
ada dalil lain yang menunjukkan bahwa lafazh muthlaq tersebut dibatasi
kandungannya. Sebagaimana contoh adalah firman Allah yang menyangkut tentang kifarat
orang yang menzihar istrinya: فَتَحْرِيرُرَقَبَةٍ
|
‘Am adalah kata yang memberi pengertian
umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak
terbatas.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah,
berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy. Oleh karena itu,
ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya.
Berbeda dengan jumhur ulama’. Seperti ayat: وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ
اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Ulama Syafi’iyah membolehkan,
alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan sebuah hadits.
|
Lafadz dari segi jelas & tidaknya sebuah makna
|
||
1.
|
DZAHIR
|
|
Zhâhir yaitu apa yang menunjukan maksud
daripadanya itu dengan sighat itu sendiri, tanpa menghentikan faham maksudnya
itu terhadap urusan luar. Dan apa yang dimaksudnya itu ialah hal-hal yang
menjadi pokok pembicaraan.
|
QS.
Al-Baqarah (2) ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini
jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan
riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap
oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarînah yang menjelaskannya.
|
|
2.
|
NASH
|
|
Nash yaitu apa yang ditunjukkan oleh sighatnya itu sendiri
terhadap arti yang dimaksud dari pokok pembicaraan.
|
QS. Al-Baqarah (2) ayat 275:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyatakan perbedaan
nyata antara jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang
yang menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan
ayat tersebut.
|
|
3.
|
MUFASSAR
|
|
Penunjukannya
terhadap maknanya jelas sekali, penunjukannya itu hanya dari lafaznya sendiri
tanpa memerlukan qarînah dari luar, serta tidak mungkin dita’wîl-kan.
|
Contohnya QS. An-Nur (24) ayat 4:
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan
puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang
dari bilangan itu.
|
|
4.
|
MUHKAM
|
|
Suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada
maknanya sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas,
sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun ta’wil.
|
Sabda Nabi Muhammad:
اَلْجِهَادُ جَاضٍ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَّامَةِ
Jihad itu berlaku sampai hari kiamat.
Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin
berlakunya pembatalan dari segi waktu.
|
|
5.
|
KHAFIY
|
|
Suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan
(dilalah)-nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaz.
|
Contoh
dari lafaz khafi ini adalah lafaz السَّارِقُ
(pencuri) pada QS. Al-Maidah (5) ayat 38:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا
Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
Lafaz السَّارِقُ pada ayat di atas artinya jelas, yaitu
pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya.
Tapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan merupakan
suatu bentuk yang samar dan tidak jelas. Seperti النَّشَالُ
(pencopet) dan النَّبَاشُ (pencuri
barang-barang di dalam kuburan) lafaz tersebut dikatakan khafi (samar).
|
|
6.
|
MUSYKIL
|
|
Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu
sendiri. Sumber kesamaran dari
lafaz itu adakalanya karena lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak
sehingga tidak dapat dipahami artinya jika hanya dengan melihat lafaz
tersebut.
Lafaz musytarak termasuk ke dalam bentuk ini.
|
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab
bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh atau masa suci.
|
|
7.
|
MUJMAL
|
|
Menurut bahasa al-mujmal berari samar. Dan menurut istilah
berarti: lafaz yang dengan bentuk (shigat)-nya tidak menunjukkan kepada
pengertian yang dikehendaki olehnya, dan tidak tedapat qarinah-qarinah lafaz
atau keadaan yang dapat menjelaskannya.
|
Contoh lafaz mujmal
ialah lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti
syara’, seperti lafaz salat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz salat menurut
bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.Yang
menerangkan arti syara’ tersebut adalah pembuat peraturan itu sendiri karena
ditemui sunah qauliyah dan sunah fi’liyah yang menerangkan arti yang dimaksud
oleh syara’. Sabda Rasulullah s.a.w.:
صَلُّوْا كَمَا
رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّىْ
Lakukanlah shalat
sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat.
Demikian pula beliau
menginterpretasikan zakat, puasa, hajji, dan riba, serta segala sesuatu yang
datang secara mujmal dalam nash-nash Al-Qur’an
|
|
8.
|
MUTASYABIH
|
|
Lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal
itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafal yang dipergunakan untuk
memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang
artinya.
|
Di antara lafaz
mutasyâbbih adalah huruf-huruf hija’iyah yang terpotong-potong pada permulaan
sebagian surat-surat Al-Qur’an, seperti: حم, ق, ص,
الم . Dan ayat-ayat yang menurut zhâhir-nya menunjukkan secara
samar adanya penyerupaan al-Khâlik kepada makhluk-Nya, seperti dalam hal
Allah mempunyai mata, tangan, dan muka Contohnya QS. Hud (11) ayat 37:
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلا تُخَاطِبْنِي
فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ
Dan buatlah bahtera
itu dengan mata-mata Kami.
|
Lafadz dari segi cara menunjukkan makna
|
isyarat nash adalah penunjukan lafadz pada suatu
makna yang tidak dimaksud secara langsung dari lafadznya tidak pula secara
susunanya, tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan
untuk itu.
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... (البقـرة /
۲ : ۲۳۳)
kata “له” itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah
ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti
asalnya “anak untuk ayah” . Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak
adalah milik ayah dan oleh karenanya anak- anak yang lahir dinasabkan
kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini
merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash.
hal ini juga sesuai dengan sabda nabi yang
berbunyi : اَنْتَ
وَمَالِكَ لِاَبِيْكَ
|
Iqtidla’ al-nash ialah penunjukkan lafal nash
kepada sesuatu makna yang tidak disebutkan, akan tetapi kebenaran lafadznya
dapat dikira-kirakan atas makna dimaksud secara syara’.
Contoh :
Hadits nabi : رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الخَطَأُ والنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ Kalimat ini secara dhahir seakan-akan menyimpan lafadz “رفع فعل” yang berarti bahwa bebasnya suatu perbuatan apabila terjadi kesalahan atau lupa, padahal makna ini tidak sesuai, karna suatu perbuatan yang sudah terjadi tidaklah dibebaskan, sehingga pemaknaan yang benar dalam kalimat ini harus mengira-ngira lafadz yang tersimpan di dalamnya, yaitu mengira-ngira lafadz “ الاثمرفع” jadi yang dimaksud dalam pembebasan dalam suatu kesalahan, lupa, atau terpaksa adalah dosanya bukan perbuatannya. Dan ini adalah maksud yang benar menurut susunan lafadznya. |
Mafhum adalah
lafat yang kandungan hukumnya dipahami dari apa yang terdapat dibalik dari
arti mantuq-nya. Dengan kata lain mafhum itu disebut dengan
makna tersirat.
Contohnya,
“janganlah kamu berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang menyakitkan
perkataanny.” Terdapat dalam QS. al-Isra/17: 23.
(23)…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ…
Artinya:…..maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”…..
Mafhum
muwafaqah dari ayat di atas adalah haram berkata “ah”
kepada orang tua, mencaci, menghina, dan sebagainya apalagi memukulnya.
|
Mantuq adalah lafat yang kandungan
hukumnya dipahami dari apa yang diucapkan. Dengan kata lain mantuq ialah
makna yang tersurat.
Salah satunya seperti
firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275.
(275)… وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا…
Artinya:”Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba”.
Ayat tersebut dengan cara Manthuq
Syarih menunjukkan indikasi hukum halal bagi praktik jual-beli dan
hukum haram bagi muamalah dengan cara riba.
|
dilalah nash
adalah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan nashnya
berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena
antara kedua -- yang disebutkan dan yang tidak disebutkan -- terdapat
pertautan ‘illat hukum, dimana dimungkinkan pemahaman atas keduanya dapat
dilakukan dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan
mengerahkan segala kemampuan daya nalar.
Contoh : firman Allah QS,
al-Isra’ :23 :
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا Artinya : “Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua…” Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya - yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. |
Ibarat
nash adalah penunjukan lafadz pada suatu makna yang dimaksud dari lafadz
itu sendiri, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Contoh
dari ibarat nash : firman Allah :
وَاَحَـلَّ اللهُ البَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا ... Artinya ; Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riaba’… Menurut Dr. Wahbah Zuhaili , bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan perbedaan antara jual – beli dan riba’, bahwa jual-beli itu tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual – beli itu boleh dan riba’ itu haram. Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat. |
3. Maqashid al-syari’ah: pengertian, pembagian, dan urgensinya dalam
ijtihad kontemporer
Maqashid asy-Syari’ah adalah maqashid Allah swt. yang membuat syari’at, bukan
tujuan-tujuan manusia. Asy-Syatibi menegaskan bahwa tujuan utama dari perintah
syari’at adalah untuk mengambil mashlahat, baik di dunia, di akhirat, atau
keduanya. Sedangkan tujuan dasar dari larangan adalah mutlak untuk menolak
mafsadah dan bahaya, untuk menjaga ketentraman alam dengan cara mewujudkan
keberlangsungan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan (jalb al-mshalih
wa dar al-mafasid). Kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan sebagai
dasar pada penetapan maqashid.
Maqashid
atau maslahat, dalam pandangan asy-Syatibi dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a. al-Mashalih al-dharuriyyah
Maslahat
yang pertama atau al-Mashalih al-dharuriyyah mengandung beberapa bagian,
yaitu: menjaga agama (hifz ad-din), menjaga jiwa (hifz an-nafs),
memelihara akal (hifz ‘aql), memelihara keturunan (hifz an-nasl),
dan memelihara harta (hifz al-mal). Kelima al-mashlahat ini selanjutnya
disebut al-kulliyyat al-khamsah. Maqashid
ad-Daruriyyah merupakan sesuatu yang mutlak ada demi kelangsungan hidup
manusia. Dalam hubungan ini pula asy-Syatibi mengemukakan bahwa tujuan awal
dari syari’at adalah menegakkan kelima dasar maqashid ini dan menjaga
keberlangsungannya.
b. al-Mashalih al-Hajiyyah
Mashlahah
yang kedua adalah al-mashalih al-hajiyyah yaitu sesuatu yang harus ada
untuk memenuhi kebutuhan. Mashlahah ini sebaiknya ada agar dalam
melaksanakannya terdapat keleluasaan dan terhindar dari kesulitan. Apabila ini
tidak ada, sebetulnya ia tidak menimbulkan kerusakan atau kematian, tetapi akan
menimbulkan masyaqqah dan kesempitan, misalnya hukum jual beli, pinjam
meminjam, pernikahan, dan bentuk-bentuk mashlahah lainnya. Al-mashalih
al-hajiyyah berada setingkat di bawah al-mashalih
al-dharuriy karena ia merupakan turunan dari al-mashalih al-dharuriy
dan berfungsi untuk mewujudkan tujan-tujuan al-mashalih al-dharuriy. Hukum
perkawinan mislanya berfungsi untuk mewujudkan hifdz an-nasl.
Al-mashalih
al-hajiyyah juga
mencakup keingina dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Allah swt. Hal
ini bertujuan agar mukallaf tidak mendapatkan kesulitan dalam
menjalankan segala hal yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, sesorang
diperbolehkan untuk tayammum ketika tidak ada air, kebolehan berbuka puasa
ramadhan, dan meringkas shalat ketika bepergian agar dapat tetap menjaga agama
sesuai kemampuan yang ada.
c. al-Mashalih at-tahsiniyah
Mashlahat ketiga adalah al-mashlahah al-tahsiniyyah,
yaitu seuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan akhlak yang baik atau
adat istiadat yang berlaku. Jika
al-mashlahah
ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu,
juga tidak akan menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya. Hanya saja
seseorang akan dinilai tidak panatas dan tidak layak berdasrka ukuran tata
krama dan kesopanan. Untuk konkretnya diangkat beberapa contoh, larangan untuk
boros, pelit, kesamaan dalam memilih pasangan hidup (kafa’ah), etika makan,
menutup aurat, dan seluruh yang berkaitan dengan etika, dan akhlak.
Urgensinya
dalam berijtihad:
Dalam
hubungannya maqashid asy-asyari’ah dengan ijtihad, Asy-Syatibi
berpendapat bahwa apabila seseorang hendak berijtihad, maka hendaklah berpegang
pada maqashid asy-syari’ah. Lebih jauh dia berpendapat bahwa mengetahui maqashid
asy-syari’ah lebih utama dibanding menguasasi bahasa arab bagi sesorang
yang ingin berijtihad dari teks arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
orang yang akan berijtihad. Salah satu manifestasi dari pandangan ini adalah
tentang nikah mut’ah dan nikah tahlil, dan kedua model pernikahan ini adalah
bersifat temporer atau sementara. Sejalan dengan ini, modelnya tidak perlu
dipersoalkan karena maqashid dari suatu perkawinan adalah kesinambungan
dan kasih sayang dalam kelanggenan.
Memahami maqashid asy-syari’ah
berarti membuka pintu cakrawala ijtihad karena ia meupakan temuan syari’at yang
sesungguhnya. Dengan maqashid asy-syari’ah dapat diketahui apa yang
termasuk taat, maksiat, rukun, dan sunat. Karena itu, seyogyanya jika seseorang
ingin berijtihad tidak boleh hnya terpaku pada pendekatan kebahasan, tetapi
perlu bergeser pada pendekatan maqashid al-syari’ah.
4. Taqlid, Ittiba’ dan Talfiq
Taqlid,
Ittiba’ dan
Talfiq
|
Kata taqlid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”,
yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan
sejenisnya.
Kata taqlid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”,
yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan
sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ لاَ
تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui
alasan perkataannya itu.’’
|
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari
bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu”
”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang
dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ
قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang
berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
|
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal,
tak dapat mencapai dan lain sebagainya. Adapun “Talfiq” yang dimaksudkan
dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:
اَلْعَمَلُ
بِحُكْمِ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ أَوْ أَكْثَر
“Mengamalkan satu hukum yang
terdiri dari dua mazhab atau lebih.”
|
5. Pengetahuan tentang hermeneutika
dan ushul fiqh dalam ijtihad kontemporer! Sebutkan contohnya!
“Hermeneutik merupakan pengetahuan yang membahas
masalah yang bertalian dengan pemahaman, pencerapan, tafsir dan takwil dalam
berhadapan dengan teks yang beragam.”
Di sini seluruh penerjemah tidak menggunakan satu
lafaz yang sama dalam menerjemahkan terma hermeneutik dan bahkan
terkadang seorang penerjemah menggunakan lafaz-lafaz yang beragam pada
kesempatan yang berbeda dengan makna yang beragam pula. Sementara hal ini
dimana lafaz-lafaz ini sendiri sesuai dengan kebiasaan bahasa Persia dengan
memperhatikan aplilkasi spesialis-historis ia tidak memiliki satu makna
tertentu.
Apakah pembahasan Ushul Fiqih tradisional dalam
kerangka tujuan-tujuan hermeneutik dan keselarasannya bertentangan dengan
hermeneutik? Dan apakah perkataan, menafikan atau membuktikan, dalam
hubungannya dengan hermeneutik dalam masalah ini, dimana usianya mencapai
hingga ribuan tahun dapat dijumpai? Menjawab pertanyaan ini merupakan tujuan
penulisan makalah ini dan karena semenjak beberapa tahun yang lalu secara
gradual dalam ranah keilmuan Islam telah diuraikan dalam bentuk yang beragam.
Bagaimana kecenderungan dan jawaban positif atau negatif terhadap masalah
tersebut juga layak untuk diperhatikan dan dipikirkan di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar