BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas
dalam tataran dunia Islam internasional, bahkan disebut sebagai komunitas
muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Meskipun demikian Islam dengan serangkaian varian hukumnya belum bisa
diterapkan sepenuhnya dinegara kita ini.
Dengan
mempelajari sejarah perkembangan hukum Islam -dinegara
yang dikatakan penduduknya mayoritas beragama Islam- dari berbagai periode sampai masa
sekarang ini, dengan harapan dapat kita jadikan acuan dalam memperjuangkan
hukum Allah dibumi kita tercinta ini. Karena kita tahu -diakui ataupun tidak- hukum Allah
lah sebaik-baiknya hukum yang ada.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat
menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam di Tanah bumi Indonesia mulai pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pra
Kemerdekaan ?
2.
Bagaimana Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pasca Kemerdekaa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia
sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara ini. Menurut pendapat yang
disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di
Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau Pada
abad kedelapan Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir Utara
pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh
Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasei, Aceh Utara.[1]
Pada akhir abad ke enam belas (1596) organisasi
perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa
Barat. Tujuan awalnya untuk berdagang, namun berubah haluan untuk menguasai
kepulauan Indonesia.
VOC membentuk badan-badan peradilan di Indonesia
dengan hukum Belanda, namun tidak berjalan dengan lancar. VOC membiarkan
lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan seperti keadaan
sebelumnya. VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium
(intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.
Setelah diperbaiki penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut
dapat diterima oleh VOC dan digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah yang dikuasai VOC.
Posisi Hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung
demikian, selama kurang dua abad lamanya (1602-1800). Waktu pemerintahan VOC
berakhir dan pemerintahan colonial Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan
Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah, namun perubahan itu
dilaksanakan secara perlahan, berangsur-angsur dan sistematis.[2]
Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan dengan
sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Meski di dominasi oleh fiqh Syafi’iyyah. Hal
ini, kata Rachmat Djatnika, fiqh Syafi’iyyah lebih banyak dan dekat kepada
kepribadian Indonesia. Namun lambat laun, pengaruh madzhab Hanafiy, mulai diterima.
Penerimaan dan pelaksanaan hukum Islam ini, dapat dilihat pada masa-masa kerjaan Islam awal. Pada zaman
kesultanan Islam, menurut Djatnika, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi
sebagai hukum negara. Di Aceh atau pada pemerintahan Sultan Agung hukum Islam
telah diberlakukan walau masih tampak sederhana.
Hukum adat setempat sering menyesuaikn diri dengan hukum Islam. Di Wajo
misalnya hukum waris menggunakan hukum Islam dan hukum adat, keduanya menyatu
dan hukum adat itu menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Sosialisasi hukum
Islam pada zaman Sultan Agung sangat hebat, sampai ia menyebut dirinya sebagai
“Abdul Rahman Kholifatulloh Sayyidin Panatagama”. Demikian juga di Banten pada
masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa hukum adat dan hukum adat tidak ada
bedanya. Juga di Sulawesi. Kenyataan semacam ini diakui oleh Belanda ketika
datang ke Indonesia. Dibawah ini akan dikemukakan teori-teori hukum Islam di
Indonesia.[3]
1. Teori Receptio in Complexu[4]
2. Teori Receptie
3. Teori Receptie Exit atau
Receptie a Contrario
B.
Perkembangan Tarikh Tasyri’ di Indonesia pasca Kemerdekaan
Ketika
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, upaya untuk
melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial mulai dicanangkan, walaupun dalam
rangka menghindarkan kekosongan hukum, hukum warisan kolonial itu masih tetap
diberlakukan (sesuai bunyi aturan peralihan pasal 2 dari UUD 1945: “semua
Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”).[5] Namun
menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, seharusnya teori receptie itu
harus “exit” (keluar) dari tata hukum Indonesia merdeka. Karena menurutnya,
teori ini bertentangan dengan Jiwa UUD 1945 dan juga bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah.
Sehingga sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam.
Lembaga
Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah
Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada
soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas pada
persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan
baitulmal. Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah
kelanjutan dari masa kolonial belanda. Setelah Indonesia merdeka jumlah
pengadilan agama bertambah, tetapi administrasinya tidak segera dapat
diperbaiki.
Pada
dasarnya term kompilasi merupakan adopsi dari bahasa inggris compilation atau dalam
bahasa Belanda berarti compilatie yang diambil dari kata
compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama, misalkan mengumpulkan
peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Lalu istilah inilah (kompilasi)
yang digunakan di Indonesia sebagai terjemahan langsung dari kata tersebut. [6]
Namun
apabila penggunaan term kompilasi dalam konteks hukum Islam Indonesia, maka
biasanya dipahami sebagai fiqh dalam bahasa perundang-undangan yang
terdiri dari bab-bab, pasal serta ayat-ayat yang tercakup di dalamnya. Padahal
tidak seperti halnya dengan perundang-undangan lainnya yang telah dikodifikasi.
Karena kompilasi sedikit berbeda dengan pengkodifikasian.
Secara
faktual Peradilan Agama telah lahir sejak tahun 1882, namun dalam mengambil
putusan untuk sesuatu perkara tampak jelas para hakim Pengadilan Agama belum
mempunyai dasar pijak yang seragam. Hal itu terutama karena hukum Islam yang
berlaku belum menjadi hukum tertulis dan masih tersebar di berbagai kitab
kuning sehingga kadang-kadang untuk kasus yang sama, ternyata terdapat
perbedaan dalam pemecahan persoalan.
Dan
dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum dalam memutus
suatu perkara, Departemen Agama Biro Peradilan Agama melalui surat edaran Nomor
B/1/735 pada 18 Februari 1958, yang ditujukan kepada Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia untuk dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fiqh yang sebagian besar merupakan kitab
yang berlaku di kalangan Mazhab Syafi’i. Dan menyadari akan hal itu, maka para
pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang lebih
komprehensif agar hukum Islam tetap eksis dan dapat digunakan untuk
menyelasaikan segala masalah dalam era globalisasi ini. Dalam kaitan ini
prinsip yang harus dilakksanakan adalah prinsip maslahat yang
berasaskan keadilan dan kemanfaatan.[7] Dalam
rangka inilah, Busthanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya membuat
Kompilasi Hukum Islam.
Ide
untuk mengadakan Kompilasi Hukum di Indonesia ini memang baru muncul sekitar
tahun 1985 dan kemunculannya ini adalah merupakan hasil kompromi antara pihak
Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini
mendapat dukungan banyak pihak. Menurut Prof. Ismail Suny, pada bulan Maret
1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKS (Surat
Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek
Kompilasi Hukum Islam. Yang berarti sudah sedari dini kegiatan ini mendapat
dukungan penuh dari Kepala Negara.[8] Landasan
dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi Hukum di Indonesia adalah
intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 kepada Menteri Agama RI
yang mana Kompilasi hukum Islam tersebut terdiri dari Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan. [9]
Kelahiran
UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebenarnya dapat dinyatakan sebagai
upaya kompilasi, meskipun pada saat itu namanya tetap undang-undang. Karena
bagaimanapun juga UU memiliki daya ikat dan paksa pada sobyek serta objek
hukumnya, berbeda dengan kompilasi yang sesuai dengan karakternya. Yang mana
hanyalah menjadi pedoman saja, relatif tidak mengikat.
Menurut
Ahmad Rofiq bahwa ada 4 produk pemikiran hukum Islam yang telah berkembang di
indonesia yaitu ; fiqh,
fatwa ulama (hakim), keputusan pengadilan, dan perundang-undangan.[10] Sebagai ijma’ ulama indonesia,
Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para hakim
dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya secara substansial kompilasi tersebut
dalam sepanjang sejarahnya, telah menjadi hukum positif yang berlaku dan diakui
keberadaannya. Karena sebenarnya yang semula yang dimaksud dengan Hukum Islam
itu hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang terdapat banyak perbedaaan
pendapat di dalamnya, sehingga telah dicoba diunifikasikan ke dalam bentuk
kompilasi. Jadi dalam konteks ini, sebenarnya terjadi perbahan bentuk saja yang
berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi terkodifikasi dan terunifikasi
dalam KHI yang substansinya juga tidak banyak berubah selagi hukumnya masih
bisa dipakai dalam kondisi lingkungannya sekarang.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Islam ada di Indonesia sejak orang Islam
datang dan bermukim di Nusantara ini, sekitar abad kedelapan Masehi. Pada akhir
abad ke enam belas (1596) organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan
kapalnya di Indonesia untuk berdagang, namun berubah haluan untuk menguasai
kepulauan Indonesia.
VOC membentuk badan-badan peradilan di Indonesia
dengan hukum Belanda, namun tidak berjalan dengan lancar. VOC membiarkan
lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan seperti keadaan
sebelumnya.
Posisi Hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung
demikian, selama kurang dua abad lamanya (1602-1800). Waktu pemerintahan VOC
berakhir dan pemerintahan colonial Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan
Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah, namun perubahan itu
dilaksanakan secara perlahan, berangsur-angsur dan sistematis. Pada masa belanda di Indonesia telah di keluarkanya teori- teori mengenai hukum islam ini yaitu:
1. Teori
Receptio in Complexu
2. Teori
Receptie
3. Teori
Receptie Exit atau Receptie a Contrario
Ketika
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, upaya untuk
melakukan pembaharuan hukum warisan kolonial mulai dicanangkan, walaupun dalam
rangka menghindarkan kekosongan hukum, hukum warisan kolonial itu masih tetap
diberlakukan. Namun menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, seharusnya
teori receptie itu harus “exit” (keluar) dari tata hukum Indonesia merdeka.
Karena menurutnya, teori ini bertentangan dengan Jiwa UUD 1945 dan juga
bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah.
Sehingga sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Ahmad
Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta
: Gema Insani Press, 1996.
Ali Mohammad Daud, Hukum Islam (Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Manan
Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Raja Grafindo
Persada, 2007.
Rofiq Ahmad, Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997.
…………Dedi Supriyadi,
Syaukani
Imam, Konstruksi
Epistimologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
[1]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia) (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002 ), hal 209.
[2] Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia), hal 213-214.
[5] Imam Syaukani, Konstruksi Epistimologi Hukum
Islam Indonesia (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), hal 81.
[7] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
Raja Grafindo
Persada, 2007), hal 178.
[9] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal 12.