Sabtu, 01 Juli 2017

HADHANAH

HADHANAH (PEMELIHARAAN ANAK)
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
 “Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu:
 Muh. Nafik, MHI
 






Disusun oleh :
1.      M. Alfian Dilaga Zen (931100114)
2.      M. Miftahul Alfan M.            (931100414)
3.      Ulfah Rodhiah            (931100914)
4.      Binti Nur Khamidah              (931101514)
5.      Lina Qurrota A’yun              (931101914)
6.      Fatkhur Rahman                   (931102314)
7.      Oanwa Kaseng                       (931105114)
8.      Moh Badrun Ni’am               (9311014)
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) KEDIRI
2015
Bab I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Mempelajari bab tentang hadhanah (pemeliharaan anak) merupakan suatu hal yang sangat penting, oleh sebab itu materi ini sangatlah penting dibahas dan dipahami secara mendalam. Karena materi tentang hadhanah (pemeliharaan anak) akan menjadi bekal untuk kehidupan yang akan mendatang.
Hadhanah hampir sama dengan pendidikan, akan tetapi berbeda maksudnya. Dalam hadhanah, terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping terkandung pula pengertian pendidikan, hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika anak tersebut tidak mempunyai keluarga serta ia bukan professional, maka dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lainnya. Sedangkan pendidikan, yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga si anak dan mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan iya (pengasuh) merupakan pekerjaan professional. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidikan.

2.      Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hadhanah (pemeliharaan anak) ?
2.      Bagaiman dasar hukum hadhanah ?
3.      Siapa yang berhak melakukan hadhanah ?
4.      Bagaimana syarat hadhanah atau hadhin ?
5.      Berapa lama masa hadhanah ?
6.      Apakah ada upah untuk hadhin yang telah melakukan hadhanahnya ?










Bab II
Pembahasan
A.    Pengertian Hadhanah
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal memelihara, mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk). Hadanah menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Seperti halnya waktu ibu menyusui anaknya meletakkan anaknya di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya.[1]
Sedangkan hadhanah menurut para ulama ialah:
1.      Assayid Ahmed bin Umar Asy-Syatiri dalam kitabnya Alya Qutun Nafis hal. 174 mengatakan:
“Hadhanah menurut syara’ ialah memelihara atau menjaga seseorang (anak) yang belum bias mandiri dengan segala halnya dan mendidiknya (mengajarkan) sesuatu yang diperbaikinya.”[2]
2.      H. Sulaiman  Rasjid dalam bukunya Fiqih Islam hal. 403 mengatakan:
Hadhanah ialah menjaga, memimpin dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.[3]
Dari sini hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.”
Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyis, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[4]

B.     Dasar Hukum Hadhanah
Firman Allah Swt. QS Al-Tahrim : 6.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS Al-Tahrim [66]: 6).
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah. Rosulullah Saw bersabda, yang artinya: “Engkaulah (ibu) yang berhak terhadap anaknya”.
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan orang tuanya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiakan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang. [5]

C.    Yang Berhak Melakukan Hadhanah
Orang yang melakukan hadhanah haruslah mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu menjadi baik (shaleh) dikemudian hari. Disamping itu, ia juga harus mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat itu adalah seorang wanita. Sebagaimana disebutkan dalam hadist:
“Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata:”Ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, yang mengasuhnya, yang mengawasinya, dan air susukulah yang diminumnya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku.” Maka, berkatalah  Rosulullah:”Eangkaulah lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum nikah (dengan laki-laki yang lain).
.هَا لِدِ بِوَ أَحَقُّ هِىَ وَ فُ أَرْاوَ خْيَرُ وَا  حْنَىاوَ  حَمُ وَارْ  الْطَفُ وَ أَعْطَفُ  مَّ أَلاُ
“Ibu lebih lembut (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih baik, dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya (selama ia belum kawin dengan laki-laki lain).”

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ فَرَ قَ بَيْنَ وَلِدَ ةٌ وَ وَلِدُ هَافَرَ قَ اللّهُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ أَحْبَتَهُ يَوْ مَ الْقِيَا مَةِ.
“Rasulullah Saw. Bersabda:“barang siapa yang memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu dengan kekasihnya di hari Kiamat.”
Menurut hadis-hadis di atas dapatlah ditetapkan bahwa si ibu dari seorang anak adalah orang yang paling berhak melakukan hak asuh selama ia dalam masa iddah talaq raj’i, talaq ba’in atau telah habis masa ‘iddahnya, tetapi ia belum kawin atau menikah lagi dengan laki-laki lain.[6]
Jika ibunya itu menikah dengan orang lain, sedangkan anak itu belum mumayyiz, maka bapaknya yang lebih berhak mendidik jika ia (bapaknya) meminta atau bersedia mendidiknya. Jika bapaknya tidak ada maka yang berhak mendidiknya adalah bibiknya (saudara perempuan dari ibunya).
Rasulullah SAW. bersabda:
“Dari Abu Hurairah r.a berkata,: Pernah aku bersama-sama Nabi Saw. lalu datang seorang perempuan dan berkata,”Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, dan sesungguhnya ia telah berjasa member minum dari sumur Abu Inabah. Dan sesungguhnya ia telah berjasa kepadaku”.  Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Berundinglah kamu atas perkara anak itu”. Maka suaminya berkata,”Siapakah yang berani menghalangi aku dengan anakku ini ?.” Nabi Saw. bersabda (kepada anak itu): “Ini Bapakmu dan ini Ibumu. Maka ambillah tangan di antara keduannya yang engkau kehendaki”. Lalu diambillah tangan Ibunya, maka berjalanlah perempuan itu dengan anaknya. (H.R. Ashabus Sunan).
Hadis ini menunjukkan bahwa anak kecil yang sudah mumayyiz dan mengerti dengan dirinya sendiri, ia boleh memilih siapakah yang akan mengasuhnya. Apakah Ibunya ataupun Ayahnya.
عَنِ الْبَرَّاءِ ابْنِ عَازِبٍ ر.ع. أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. قَضَى فِى اِبْنَةِ حَمْزَ ةَ لِخَا لَتِهَا وَقَالَ: الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْاُ مِّ. (رواه البخارى)
“Dari Al-Barra’ bin Azib r.a. bahwasanya Nabi Saw. telah memutuskan dalam perkara anak perempuan oleh Hamzah (dalam perkara mengasuh) untuk bibinya (adik perempuan Ibunya), dan beliau bersabda,”Bibi itu yang mengambil tempat Ibunya”.(H.R. Bukhari)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa bibi itu lebih utama dari pada Bapak, dan Ibu, dalam perkara mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil apabila keduanya (Bapak dan Ibu) tidak mampu.[7]
Dengan dijelaskannya bahwa yang lebih berhak mengasuh anak itu adalah ibu, maka dalam masalah ini adalah kaum wanita yang diutamakan. Karenanya kerabat Ibulah yang lebih berhak untuk mengasuh anak dari pada kerabat dari ayah. [8]
Dasar urutan orang-orang yang berkah melakukan hadhanah adalah:
a.       Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak, jika tingkatannya dalam kerabat adalah sama
b.      Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak merupakan bagian dari kakek, oleh sebab itu nenek lebih berhak dibanding dengan saudara perempuan.
c.       Kerabat sekandung didahulukan dari saudara bukan sekandung, dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah
d.      Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu lebih didahulukan atas pihak ayah.
e.       Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada, maka hak hadhanah pindah kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram.[9]
Adapun urutan-urutannya sebagaimana dibawah ini:
1.      Ibu
2.      Nenek (ibu dari ibu)
3.      Khalah (bibi) yang sekandung
4.      Khalah (bibi) yang seibu
5.      Khalah (bibi) yang seayah
6.      Nenek (ibu dari ayah)
7.      Saudara perempuan yang sekandung
8.      Saudara perempuan yang seibu
9.      Saudara perempuan seayah
10.  Amah (kakak dari ibu) yang sekandung
11.  Amah (kakak dari ibu) yang seibu
12.  Amah (kakak dari ibu) yang seayah
13.  Anak perempuan dari perempuan yang sekandung
14.  Anak perempuan dari perempuan yang seibu
15.  Anak perempuan dari perempuan yang seayah
16.  Anak perempuan dari laki-laki yang sekandung
17.  Anak perempuan dari laki-laki yang seibu
18.  Anak perempuan dari laki-laki yang seayah
19.  Dan seterusnya dengan mendahulukan kerabat yang sekandung.[10]
Jika tidak ada yang akan melakukan hadhanah pada tingkat perempuan, maka yang melakukan hadhanah ialah pihak laki-laki yang urutannya sama seperti urutan perempuan, jika dari pihak laki-laki tidak ada, maka hal tersebut menjadi kewajiban pemerintah.[11]

D.    Syarat-syarat Hadhanah dan Hadhin
1.      Berakal sehat
2.      Dewasa atau baligh. Hal ini karena anak kecil meskipun sudah mumayyiz, tetap membutuhkan orang lain yang mengurusnya dan mengasuhnya
3.      Mampu mendidik. Bukan orang yang sakit ataupun mempunyai kekurangn pada jasmaninya, seperti orang buta, ataupun oreng yang memiliki penyakit menular
4.      Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik.[12]
5.      Orang yang tetap dalam Negri anak didikannya[13]
6.      Tidak terikat dengan satu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik
7.      Hendaklah ia seorang mukalaf, yaitu orang yang balig, berakal, dan tidak terganggu ingatannya
8.      Hendaklah mempunyai kemampuan untuk melakukan hadhanah
9.      Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti
10.  Hendaklah orang yang melakukan hadhanah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak
11.  Hadhanah hendaklah orang yang tidak membenci si anak
12.  Diharapkan hadhanah memiliki persamaan agama dengan si anak, kerena jika seorang hadhanah orang non muslim, dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama islam.[14]Sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan seorang mukmin dibawah perwalian orang kafir.
Allah SWT. berfirman:
الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“…dan Allah sekali-kali tidak akan member jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (QS. An-Nisa: 141).
Golongan Hanafi, Ibnu Qasim, Maliki serta Abu Saur berpendapat bahwa hadhanah tetap dapat dilakukan oleh pengasuh yang kafir, sekalipun si anak kecil itu muslim, sebab hadhanah tidak lebih dari menyusui dan melayani anak kecil.
Golongan Hanafi meskipun menganggap bahwa orang kafir boleh menangani hadhanah, tetapi mereka juga menetapkan syarat-syaratnya, yaitu bukan orang kafir murtad.hal ini karena orang kafir murtad menurut golongan Hanafi berhak dipenjarakan sampai ia mau bertobat dan kembali kepada islam, atau mati didalam penjara. Karena itu ia tidak boleh diberi kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Tetapi jika ia sudah bertobat dan kembali masuk islam, maka kembali juga ia diperbolehkan untuk melakukan hadhanah.[15]

E.     Masa Hadhanah
Masa berlakunya hadhanah akan berakhir apabila si anak kecil sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti: makan, berpakaian, mandi, dll. Dalam hal ini tidak ada betasan tertentu tentang waktu habisnya. Hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Jika si anak kecil itu dapat membedakan sesuatu yang baik dan tidak baik, tidak membutuhkan pelayanan lagi, dan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri maka hadhanahnya telah habis.[16]
Tidak dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang menerangkan dengan tegas tentang masa hadhanah. Namun, hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Karena itu, para ulama berijtihad masing-masing dalam menetapkan dengan berpedoman kepada isyarat itu. Seperti menurut madzab Hanafi, misalnya, hadhanah anak laki-laki berakhir saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari. Sedangkan masa hadhanah wanita berahkir apabila ia telah balig, atau telah datang masa haid pertamanya.
Pengikut madzab Hanafi generasi akhir yang menetapkan bahwa masa hadhanah berakhir ketika umur 19 tahun bagi laki-lak, dan umur 11 tahun bagi wanita.
Madzab Syafi’i berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak sudah mumayyiz, yakni berumur antara 5 dan 6 tahun, dengan dasar hadist:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :خَيَّرَ غُلاَمًا بَيْنَ أَبِيْهِ وَأُمَّهِ كَمَا خَيَّرَ بِنْتًا بيْنَ أَبِيْهَا وَأُمِّهَا.
”Rasulullah Saw. bersabda: “Anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan ditetapkan antara bapak dan ibunya.”[17]
Adapun lamanya masa mengasuh, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa Imam madzab:
1.      Imam Syafi’i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 atau 8 tahun
2.      Ulama’-ulama’ Hanafiah, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri, sedang anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya (anak perempuan ataupun laki-laki)
3.      Imam Malik mengatakan bahwa ibu berkah mengasuh anak perempuan sampai ia menikah. Sedangkan bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia baligh.[18]

F.     Upah Hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah dan menyusui selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa iddah, karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.
Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah member makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. . . . . (QS Al-Baqarah [2]: 233)
Adapun sesudah masa iddahnya, maka ia berhak atas upahnya itu seperti haknya kepada upah menyusui, Allah Swt, berfirman dalam QS Al-Thalaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
“. . . . .maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS Al-Thalaq [65]: 6)
Perempuan selain ibunya si anak boleh menerima upah hadhanah sejak ia menangani hadhanah-nya. Seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan upah.
 Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah. Ia juga wajib membayar ongkos rumah atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu jika si ibu membutuhkannya, dan jika si ayah mempunyai kemampuan itu. Hal tersebut bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus bagi si anak (makan, minum, tempat tidur, obat-obatan, dan keperluan pokok lain yang sangat dibutuhkannya). Tetapi upah ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu pengasuh mengasuh usahanya. Dan upah ini menjadi utang yang ditanggung oleh ayah serta baru bisa lepas dari tanggungan ini jika dilunasi atau dibebaskan.[19]
Tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz, sedangkan kedua orang tua bercerai, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 105
Dalam hal ini terjadinya perceraian:
a.       Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b.      Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c.       Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya
Pasal 106
1.      Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah perempuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendakinya atau sesuatu kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi.
2.      Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kewajiban tersebut pada ayat (1).[20]



Bab III
Kesimpulan
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal memelihara, mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk).
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya.
Orang yang melakukan hadhanah haruslah mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu menjadi baik (shaleh) dikemudian hari. Disamping itu, ia juga harus mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat itu adalah seorang wanita. Oleh sebab itu yang lebih berhak mengasuh anak adalah ibu. Dan dalam urutan orang yang berhak melakukannya kerabat Ibulah yang lebih berhak dan didahulukan untuk mengasuh anak dari pada kerabat dari ayah.
Adapun Syarat-syarat hadhanah atau hadhin adalah sebagai berikut:
1.      Berakal sehat
2.      Dewasa atau baligh
3.      Mampu mendidik
4.      Amanah dan berbudi
5.      Orang yang tetap dalam Negri anak didikannya
6.      Tidak terikat dengan satu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik
7.      Hendaklah ia seorang mukalaf
8.      Hendaklah mempunyai kemampuan untuk melakukan hadhanah
9.      Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti
10.  Hendaklah orang yang melakukan hadhanah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak
11.  Hadhanah hendaklah orang yang tidak membenci si anak
12.  Diharapkan hadhanah memiliki persamaan agama dengan si anak,
Masa berlakunya hadhanah akan berakhir apabila si anak kecil sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri, seperti: makan, berpakaian, mandi, dll. Dalam hal ini tidak ada betasan tertentu tentang waktu habisnya. Hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Jika si anak kecil itu dapat membedakan sesuatu yang baik dan tidak baik, tidak membutuhkan pelayanan lagi, dan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri maka hadhanahnya telah habis.
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah dan menyusui selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa iddah, karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah. Dan perempuan selain ibunya si anak boleh menerima upah hadhanah sejak ia menangani hadhanah-nya. Seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan upah.

























Daftar Pustaka
Tihami, dan Sahrani, Sohari. 2010. Fiqih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap).  Jakarta: Rajawali Pers.
Abidin, Slamet, Drs., dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahah. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mawahib, Mahdil. 2009. Fiqih Munakahah. Kediri: STAIN Kediri Press.







[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 215
[2] M. Mahdil Mawahib, Fiqih Munakahah, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), 53
[3] Ibid., 54
[4] Tahami dan Sohari Sahrani, Fiqih, 215
[5] Ibid., 216
[6] Ibid., 217-219
[7] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 173-175
[8] Mahdil, Fiqih Munakahah, 55
[9] Tahami dan Sohari Sahrani, Fiqih, 220
[10] Mahdil, Fiqih Munakahah, 55
[11] Tahami dan Sohari Sahrani, Fiqih, 220
[12] Slamet dan aminuddin, Munakahat, 175
[13] Mahdil, Fiqih Munakahah, 56
[14] Tahami dan Sohari Sahrani, Fiqih, 221
[15] Slamet dan aminuddin, Munakahat,179
[16] Ibid., 183
[17] Tahami dan Sohari Sahrani, Fiqih, 224
[18] Slamet dan aminuddin, Munakahat,184
[19] Tahami dan Sohari Sahrani, Fiqih, 226
[20] Ibid., 227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar