HADHANAH
(PEMELIHARAAN ANAK)
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
“Fiqh
Munakahat”
Dosen
Pengampu:
Muh. Nafik, MHI
Disusun oleh :
1.
M. Alfian Dilaga Zen (931100114)
2.
M. Miftahul Alfan M. (931100414)
3.
Ulfah Rodhiah (931100914)
4.
Binti Nur Khamidah (931101514)
5.
Lina Qurrota A’yun (931101914)
6.
Fatkhur Rahman (931102314)
7.
Oanwa Kaseng (931105114)
8.
Moh Badrun Ni’am (9311014)
PROGRAM STUDI
AHWAL AL-SYAKHSIYAH
JURUSAN
SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) KEDIRI
2015
Bab I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Mempelajari bab tentang hadhanah (pemeliharaan
anak) merupakan suatu hal yang sangat penting, oleh sebab itu materi ini
sangatlah penting dibahas dan dipahami secara mendalam. Karena materi tentang
hadhanah (pemeliharaan anak) akan menjadi bekal untuk kehidupan yang akan
mendatang.
Hadhanah hampir sama dengan pendidikan, akan tetapi berbeda maksudnya.
Dalam hadhanah, terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping
terkandung pula pengertian pendidikan, hadhanah dilaksanakan dan dilakukan oleh
keluarga si anak, kecuali jika anak tersebut tidak mempunyai keluarga serta ia
bukan professional, maka dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang
lainnya. Sedangkan pendidikan, yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga
si anak dan mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan iya (pengasuh)
merupakan pekerjaan professional. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu
merupakan hak dari pendidikan.
2.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan hadhanah
(pemeliharaan anak) ?
2.
Bagaiman dasar hukum hadhanah ?
3.
Siapa yang berhak melakukan hadhanah ?
4.
Bagaimana syarat hadhanah atau hadhin ?
5.
Berapa lama masa hadhanah ?
6.
Apakah ada upah untuk hadhin yang telah
melakukan hadhanahnya ?
Bab II
Pembahasan
A.
Pengertian Hadhanah
“Hadhanah”
berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal memelihara,
mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak yang
belum mumayyiz (belum dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk). Hadanah menurut bahasa, berarti
meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Seperti halnya waktu
ibu menyusui anaknya meletakkan anaknya di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat
itu melindungi dan memelihara anaknya.[1]
Sedangkan hadhanah menurut para ulama ialah:
1.
Assayid Ahmed bin Umar Asy-Syatiri dalam
kitabnya Alya Qutun Nafis hal. 174 mengatakan:
“Hadhanah
menurut syara’ ialah memelihara atau menjaga seseorang (anak) yang belum bias
mandiri dengan segala halnya dan mendidiknya (mengajarkan) sesuatu yang
diperbaikinya.”[2]
2.
H. Sulaiman
Rasjid dalam bukunya Fiqih Islam hal. 403 mengatakan:
Hadhanah ialah menjaga,
memimpin dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan
mengatur dirinya sendiri.[3]
Dari sini hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus
dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.”
Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah
besar tetapi belum mumayyis, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani
dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung
jawabnya.[4]
B.
Dasar Hukum Hadhanah
Firman Allah
Swt. QS Al-Tahrim : 6.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ
غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ
“hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS
Al-Tahrim [66]: 6).
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikannya
berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.
Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan
pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam
kaitan ini, terutama ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah. Rosulullah
Saw bersabda, yang artinya: “Engkaulah
(ibu) yang berhak terhadap anaknya”.
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan orang
tuanya, karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan
jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiakan diri anak dalam
menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang. [5]
C.
Yang Berhak Melakukan Hadhanah
Orang yang melakukan hadhanah haruslah mempunyai rasa kasih sayang,
kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu menjadi baik (shaleh)
dikemudian hari. Disamping itu, ia juga harus mempunyai waktu yang cukup untuk
melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat itu adalah seorang
wanita. Sebagaimana disebutkan dalam hadist:
“Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita
berkata:”Ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,
yang mengasuhnya, yang mengawasinya, dan air susukulah yang diminumnya.
Bapaknya hendak mengambilnya dariku.” Maka, berkatalah Rosulullah:”Eangkaulah lebih berhak atasnya
(anak itu) selama engkau belum nikah (dengan laki-laki yang lain).
.هَا لِدِ بِوَ أَحَقُّ هِىَ وَ فُ أَرْاوَ خْيَرُ وَا حْنَىاوَ حَمُ وَارْ الْطَفُ وَ أَعْطَفُ مَّ أَلاُ
“Ibu lebih lembut (kepada anak), lebih halus, lebih
pemurah, lebih baik, dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya (selama
ia belum kawin dengan laki-laki lain).”
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
: مَنْ فَرَ قَ بَيْنَ وَلِدَ ةٌ وَ وَلِدُ هَافَرَ قَ اللّهُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ
أَحْبَتَهُ يَوْ مَ الْقِيَا مَةِ.
“Rasulullah Saw. Bersabda:“barang siapa yang memisahkan antara
seorang ibu dengan anaknya niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu dengan
kekasihnya di hari Kiamat.”
Menurut hadis-hadis di atas dapatlah ditetapkan bahwa si ibu dari seorang
anak adalah orang yang paling berhak melakukan hak asuh selama ia dalam masa
iddah talaq raj’i, talaq ba’in atau
telah habis masa ‘iddahnya, tetapi ia belum kawin atau menikah lagi dengan
laki-laki lain.[6]
Jika ibunya itu menikah dengan orang lain, sedangkan anak itu belum
mumayyiz, maka bapaknya yang lebih berhak mendidik jika ia (bapaknya) meminta
atau bersedia mendidiknya. Jika bapaknya tidak ada maka yang berhak mendidiknya
adalah bibiknya (saudara perempuan dari ibunya).
Rasulullah SAW. bersabda:
“Dari
Abu Hurairah r.a berkata,: Pernah aku bersama-sama Nabi Saw. lalu datang
seorang perempuan dan berkata,”Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi
membawa anakku, dan sesungguhnya ia telah berjasa member minum dari sumur Abu
Inabah. Dan sesungguhnya ia telah berjasa kepadaku”. Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Berundinglah
kamu atas perkara anak itu”. Maka suaminya berkata,”Siapakah yang berani menghalangi
aku dengan anakku ini ?.” Nabi Saw. bersabda (kepada anak itu): “Ini Bapakmu
dan ini Ibumu. Maka ambillah tangan di antara keduannya yang engkau kehendaki”.
Lalu diambillah tangan Ibunya, maka berjalanlah perempuan itu dengan anaknya. (H.R. Ashabus Sunan).
Hadis ini menunjukkan bahwa anak kecil yang sudah
mumayyiz dan mengerti dengan dirinya sendiri, ia boleh memilih siapakah yang
akan mengasuhnya. Apakah Ibunya ataupun Ayahnya.
عَنِ
الْبَرَّاءِ ابْنِ عَازِبٍ ر.ع. أَنَّ النَّبِيَّ ص.م. قَضَى فِى اِبْنَةِ حَمْزَ
ةَ لِخَا لَتِهَا وَقَالَ: الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْاُ مِّ. (رواه البخارى)
“Dari Al-Barra’
bin Azib r.a. bahwasanya Nabi Saw. telah memutuskan dalam perkara anak
perempuan oleh Hamzah (dalam perkara mengasuh) untuk bibinya (adik perempuan Ibunya),
dan beliau bersabda,”Bibi itu yang mengambil tempat Ibunya”.(H.R. Bukhari)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa bibi itu lebih utama dari pada Bapak, dan
Ibu, dalam perkara mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil apabila keduanya
(Bapak dan Ibu) tidak mampu.[7]
Dengan dijelaskannya bahwa yang lebih berhak mengasuh anak itu adalah ibu,
maka dalam masalah ini adalah kaum wanita yang diutamakan. Karenanya kerabat
Ibulah yang lebih berhak untuk mengasuh anak dari pada kerabat dari ayah. [8]
Dasar urutan orang-orang yang berkah melakukan hadhanah adalah:
a. Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak,
jika tingkatannya dalam kerabat adalah sama
b. Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan,
karena anak merupakan bagian dari kakek, oleh sebab itu nenek lebih berhak
dibanding dengan saudara perempuan.
c. Kerabat sekandung didahulukan dari saudara bukan
sekandung, dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah
d. Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan
mahram, dengan ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu lebih
didahulukan atas pihak ayah.
e. Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada, maka
hak hadhanah pindah kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram.[9]
Adapun
urutan-urutannya
sebagaimana dibawah ini:
1. Ibu
2. Nenek (ibu dari ibu)
3. Khalah (bibi) yang sekandung
4. Khalah (bibi) yang seibu
5. Khalah (bibi) yang seayah
6. Nenek (ibu dari ayah)
7. Saudara perempuan yang sekandung
8. Saudara perempuan yang seibu
9. Saudara perempuan seayah
10. Amah (kakak dari ibu) yang sekandung
11. Amah (kakak dari ibu) yang seibu
12. Amah (kakak dari ibu) yang seayah
13. Anak perempuan dari perempuan yang sekandung
14. Anak perempuan dari perempuan yang seibu
15. Anak perempuan dari perempuan yang seayah
16. Anak perempuan dari laki-laki yang sekandung
17. Anak perempuan dari laki-laki yang seibu
18. Anak perempuan dari laki-laki yang seayah
19. Dan seterusnya dengan mendahulukan kerabat yang
sekandung.[10]
Jika tidak ada yang akan melakukan hadhanah pada tingkat perempuan, maka
yang melakukan hadhanah ialah pihak laki-laki yang urutannya sama seperti
urutan perempuan, jika dari pihak laki-laki tidak ada, maka hal tersebut
menjadi kewajiban pemerintah.[11]
D.
Syarat-syarat Hadhanah dan Hadhin
1.
Berakal sehat
2.
Dewasa atau baligh. Hal ini karena anak kecil
meskipun sudah mumayyiz, tetap membutuhkan orang lain yang mengurusnya dan
mengasuhnya
3.
Mampu mendidik. Bukan orang yang sakit ataupun
mempunyai kekurangn pada jasmaninya, seperti orang buta, ataupun oreng yang
memiliki penyakit menular
4.
Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak
dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik.[12]
5.
Orang yang tetap dalam Negri anak didikannya[13]
6.
Tidak terikat dengan satu pekerjaan yang
menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik
7.
Hendaklah ia seorang mukalaf, yaitu orang yang
balig, berakal, dan tidak terganggu ingatannya
8.
Hendaklah mempunyai kemampuan untuk melakukan
hadhanah
9.
Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti
10. Hendaklah orang yang melakukan
hadhanah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si
anak
11. Hadhanah hendaklah orang yang
tidak membenci si anak
12. Diharapkan hadhanah memiliki
persamaan agama dengan si anak, kerena jika seorang hadhanah orang non muslim,
dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama islam.[14]Sebab
hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan seorang
mukmin dibawah perwalian orang kafir.
Allah SWT. berfirman:
الَّذِينَ
يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ
نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ
عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلا
“…dan Allah sekali-kali tidak
akan member jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang
beriman.” (QS.
An-Nisa: 141).
Golongan Hanafi, Ibnu Qasim,
Maliki serta Abu Saur berpendapat bahwa hadhanah tetap dapat dilakukan oleh
pengasuh yang kafir, sekalipun si anak kecil itu muslim, sebab hadhanah tidak
lebih dari menyusui dan melayani anak kecil.
Golongan Hanafi meskipun
menganggap bahwa orang kafir boleh menangani hadhanah, tetapi mereka juga
menetapkan syarat-syaratnya, yaitu bukan orang kafir murtad.hal ini karena
orang kafir murtad menurut golongan Hanafi berhak dipenjarakan sampai ia mau
bertobat dan kembali kepada islam, atau mati didalam penjara. Karena itu ia
tidak boleh diberi kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Tetapi jika ia sudah bertobat
dan kembali masuk islam, maka kembali juga ia diperbolehkan untuk melakukan
hadhanah.[15]
E.
Masa Hadhanah
Masa berlakunya hadhanah akan berakhir apabila si
anak kecil sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah dewasa, dan dapat
berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus kebutuhan pokoknya sendiri,
seperti: makan, berpakaian, mandi, dll. Dalam hal ini tidak ada betasan
tertentu tentang waktu habisnya. Hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz
dan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Jika si anak kecil itu dapat
membedakan sesuatu yang baik dan tidak baik, tidak membutuhkan pelayanan lagi,
dan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri maka hadhanahnya telah habis.[16]
Tidak dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang
menerangkan dengan tegas tentang masa hadhanah. Namun, hanya terdapat
isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Karena itu, para ulama
berijtihad masing-masing dalam menetapkan dengan berpedoman kepada isyarat itu.
Seperti menurut madzab Hanafi, misalnya, hadhanah anak laki-laki berakhir saat
anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya
sehari-hari. Sedangkan masa hadhanah wanita berahkir apabila ia telah balig,
atau telah datang masa haid pertamanya.
Pengikut madzab Hanafi generasi akhir yang
menetapkan bahwa masa hadhanah berakhir ketika umur 19 tahun bagi laki-lak, dan
umur 11 tahun bagi wanita.
Madzab Syafi’i berpendapat bahwa masa hadhanah
itu berakhir setelah anak sudah mumayyiz, yakni berumur antara 5 dan 6 tahun,
dengan dasar hadist:
قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم :خَيَّرَ غُلاَمًا بَيْنَ أَبِيْهِ وَأُمَّهِ كَمَا خَيَّرَ بِنْتًا بيْنَ أَبِيْهَا
وَأُمِّهَا.
”Rasulullah Saw. bersabda: “Anak ditetapkan antara bapak dan ibunya
sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan ditetapkan antara bapak
dan ibunya.”[17]
Adapun lamanya masa mengasuh, ada beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh beberapa Imam madzab:
1.
Imam Syafi’i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa
mengasuh adalah sampai 7 atau 8 tahun
2.
Ulama’-ulama’ Hanafiah, dan Ats-Tsauri mengatakan
bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri,
dan berpakaian sendiri, sedang anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru
bapaknya yang berhak dengan keduanya (anak perempuan ataupun laki-laki)
3.
Imam Malik mengatakan bahwa ibu berkah mengasuh
anak perempuan sampai ia menikah. Sedangkan bapak berhak mengasuh anak
laki-laki sampai ia baligh.[18]
F.
Upah Hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah dan menyusui
selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam
masa iddah, karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai
istri atau nafkah masa iddah.
Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا
وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا
وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا
آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
member makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. . . . . (QS Al-Baqarah [2]: 233)
Adapun sesudah masa iddahnya, maka ia berhak atas
upahnya itu seperti haknya kepada upah menyusui, Allah Swt, berfirman dalam QS
Al-Thalaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ ۚ
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ ۚ
“. . . . .maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS Al-Thalaq [65]: 6)
Perempuan selain ibunya si anak boleh menerima
upah hadhanah sejak ia menangani hadhanah-nya. Seperti halnya perempuan penyusu
yang bekerja menyusui anak kecil dengan upah.
Seorang
ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah. Ia juga wajib membayar ongkos
rumah atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri
sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu
rumah tangga atau menyediakan pembantu jika si ibu membutuhkannya, dan jika si
ayah mempunyai kemampuan itu. Hal tersebut bukan termasuk dalam bagian nafkah
khusus bagi si anak (makan, minum, tempat tidur, obat-obatan, dan keperluan
pokok lain yang sangat dibutuhkannya). Tetapi upah ini hanya wajib
dikeluarkannya saat ibu pengasuh mengasuh usahanya. Dan upah ini menjadi utang
yang ditanggung oleh ayah serta baru bisa lepas dari tanggungan ini jika
dilunasi atau dibebaskan.[19]
Tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz,
sedangkan kedua orang tua bercerai, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan sebagai
berikut:
Pasal 105
Dalam hal ini terjadinya perceraian:
a.
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
c.
Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya
Pasal 106
1.
Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan
harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah perempuan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan
dan kemaslahatan anak itu menghendakinya atau sesuatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari lagi.
2.
Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan dan kewajiban tersebut pada ayat (1).[20]
Bab III
Kesimpulan
“Hadhanah” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara
lain: hal memelihara, mendidik, mangatur, mengurus segala kepentingan atau
urusan anak-anak yang belum mumayyiz
(belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk).
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab
mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya
kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia
membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang
mendidiknya.
Orang yang melakukan hadhanah haruslah mempunyai rasa
kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu menjadi baik
(shaleh) dikemudian hari. Disamping itu, ia juga harus mempunyai waktu yang
cukup untuk melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat itu
adalah seorang wanita. Oleh sebab itu yang lebih berhak mengasuh anak adalah ibu. Dan dalam urutan orang
yang berhak melakukannya kerabat Ibulah
yang lebih berhak dan didahulukan untuk mengasuh anak dari pada kerabat dari ayah.
Adapun
Syarat-syarat hadhanah atau hadhin adalah sebagai berikut:
1.
Berakal sehat
2.
Dewasa atau baligh
3.
Mampu mendidik
4.
Amanah dan berbudi
5.
Orang yang tetap dalam Negri anak didikannya
6.
Tidak terikat dengan satu pekerjaan yang
menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik
7.
Hendaklah ia seorang mukalaf
8.
Hendaklah mempunyai kemampuan untuk melakukan
hadhanah
9.
Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti
10.
Hendaklah orang yang melakukan hadhanah tidak
bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak
11.
Hadhanah hendaklah orang yang tidak membenci si
anak
12.
Diharapkan hadhanah memiliki persamaan agama
dengan si anak,
Masa berlakunya hadhanah akan
berakhir apabila si anak kecil sudah tidak lagi memerlukan pelayanan, telah
dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus kebutuhan
pokoknya sendiri, seperti: makan, berpakaian, mandi, dll. Dalam hal ini tidak
ada betasan tertentu tentang waktu habisnya. Hanya saja ukuran yang dipakai
adalah tamyiz dan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Jika si anak
kecil itu dapat membedakan sesuatu yang baik dan tidak baik, tidak membutuhkan
pelayanan lagi, dan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri maka hadhanahnya
telah habis.
Ibu tidak berhak atas upah
hadhanah dan menyusui selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu,
atau selama masih dalam masa iddah, karena dalam keadaan tersebut ia masih
mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah. Dan perempuan selain ibunya si anak boleh menerima upah
hadhanah sejak ia menangani hadhanah-nya. Seperti halnya perempuan penyusu yang
bekerja menyusui anak kecil dengan upah.
Daftar Pustaka
Tihami, dan Sahrani, Sohari. 2010. Fiqih Munakahat (Kajian Fikih Nikah
Lengkap). Jakarta: Rajawali Pers.
Abidin, Slamet, Drs., dan Aminuddin. 1999. Fiqih
Munakahah. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mawahib, Mahdil. 2009. Fiqih Munakahah. Kediri:
STAIN Kediri Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar